Sumsel Dalam Kepungan Bencana Ekologis

Direktur Walhi Sumsel

Oleh : Muhammad Hairul Sobri

Alih fungsi lahan  gambut menjadi kawasan perkebunan serta eksploitasi sumber daya alam, semakin merongrong deforestasi dan hilangnya keberagaman hayati. Bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dan bencana alam (banjir, longsor) akan menjadi ancaman setiap tahunnya.

Walhi pada 2019 merilis sejumlah kerusakan lingkungan hidup dan bencana ekologis di Indonesia khususnya di Sumatera Selatan (Sumsel), bahwa kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria dan bencana ekologis bersumber dari ketimpangan penguasaan dan ekploitasi sumber daya alam bersumber dari aktivitas legal atau mendapatkan izin dari pemerintah.

Karhutla dan banjir merupakan bencana ekologis, yaitu suatu peristiwa alam atau bencana yang disebabkan oleh keikutsertaan manusia secara sistemik, destruktif dan masif menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian ekonomi, konflik agrarian, pelanggaran HAM dan timbulnya korban jiwa.

Jika kebakaran hutan terjadi disebabkan oleh tindakan langsung secara destruktif, adapun banjir bandang diakibatkan oleh suatu tindakan sistemik dan destruktif. Namun kedua tindakan tersebut merupakan pengabaian dan kelalaian serta ketidak tegasan pemerintah dalam melindungi kedamaian dan keamanan hidup warganya dari ancaman, kekurangan dan gangguan atas sumber-sumber kehidupanya.

Ironisnya, kejahatan lingkungan hanya dianggap kejahatan biasa berupa administrasi, perdata dan pidana ringan. Bahkan terkesan lebih berat kejahatan pencurian yang dijatuhkan kepada Nenek Minah, Banyumas, Jawa Tengah, karena memetik tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) pada 2009 silam. Nenek Minah dihukum 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.

Padahal kejahatan lingkungan yang terjadi di Indonesia sudah mengarah pada tindakan kejahatan ekosida, dimana suatu tindakan kejahatan terhadap lingkungan hidup dilakukan secara sistimatis dan masif, berdampak luas dan jangka panjang serta menyebabkan kedamaian dan keamanan hidup manusia terancam.

Laporan tahunan Wetlands International “The Source: 2019 Annual Review of Wetlands International” (2019) mengemukakan, hutan rawa gambut yang terhampar di dataran rendah tropis Indonesia menjadi target alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri bubur kertas dalam skala besar dan cepat. Parahnya, alih fungsi lahan marak dilakukan tanpa mementingkan kualitas ekosistem gambut jangka panjang dan justru memicu kebakaran lahan gambut. Hampir setiap tahun, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang mengakibatkan kerusakan lahan gambut menimpa Indonesia.

Memprihatinkan

Ekosistem gambut di Sumatera Selatan, saat ini sangat memprihatinkan. Setidaknya 70 persen dari luasan lahan gambut di Sumsel, yaitu 1,2 juta ha telah menjadi kawasan konsesi. Dengan rincian, perusahaan perkebunan kelapa sawit mencapai 400 ribu ha, perkebunan kayu mencapai 600 ribu ha, dan pertambangan mencapai 21 ribu ha.

Lahan gambut yang merupakan ekosistem terestrial yang paling efisien dalam menyimpan karbon, kini telah dikapling demi sebuah investasi perkebunan. Di mana para rezim saat ini dikepemimpinan jilid duanya, menggaungkan program Food estate (lumbung pangan), yang hanya akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia. Tentunya akan menjadi persoalan baru pada isu lingkungan, sementara yang sudah ada tidak bisa diselesaikan. Ini semakin menegaskan muka jahat program food estate.

Dalam ranah hidrologi, lahan gambut memainkan peran kunci dalam pengelolaan sumber daya air dan menyimpan 10 persen air tawar global. Lahan gambut berlaku seperti spons yang dapat menyerap air saat musim hujan dan mengeluarkan air kala kemarau. Kerusakan lahan gambut dapat mengganggu pasokan air, menyebabkan banjir dan kekeringan. Rusaknya ekosistem gambut akan membuatnya kehilangan fungsi hidrologi dan ekologi yang penting bagi alam.

Food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani. Terkait program food estate Sumatera Selatan, menjadi salah satu daerah sasaran dengan sebaran terdiri dari 7.404 ha Hutan Lindung (HL), 20.819 ha Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi di Konversi (HPK) 1.969 ha, dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) 265 ha. Total seluas 30.457 ha dan panjang batas 1.011,24 kilometer.

Disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dan munculnya aturan pelaksana di antaranya Permen yang menyokong food estate tersebut, akan semakin mempercepat eksploitasi lingkungan hidup dan deforestasi di Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bernomor  P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Menurut Pasal 3 ayat (1) dan (2), kawasan hutan diperbolehkan untuk diubah menjadi pembangunan food estate guna mendukung ketahanan pangan melalui mekanisme Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan (PPKH) yang ditetapkan oleh menteri.

Permohonan penetapan PPKH dapat diajukan oleh menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, hingga kepala badan otorita, yang ditugaskan khusus oleh Pemerintah. Peraturan itu diteken oleh Menteri Siti Nurbaya pada 26 Oktober 2020 dan diundangkan pada 2 November. Permen tersebut akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia.

Waspada!

Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan musim kemarau yang lebih kering bakal melanda Sumatera Selatan. Hal ini bakal mengancam munculnya titik api penyebab kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) terutama di kawasan ekosistem gambut. Peristiwa Karhutla telah membuat masyarakat menderita. Apalagi jika sampai terjadi di tengah Pandemi COVID-19 ini tentunya juga menambah beban yang dirasakan masyarakat.

Bukan hanya menjadi korban akibat bencana ekologis yang terjadi tetapi juga harus mengalami krisis pangan. Gagalnya hasil panen, hilangnya akses perekonomian dan hilangnya mata pencaharian. Bukan hanya itu, saya ambil contoh dampak Karhutla 2019 silam, setidaknya ada 500 sekolah di Sumsel, terpaksa diliburkan karena kabut asap.

Di tahun yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka penderita ISPA dalam kurun waktu tiga bulan terus mengalami peningkatan, yakni Juni 2019 di angka 39.683 penderita, Juli naik menjadi 40.874 penderita, lalu pada Agustus kembali melonjak menjadi 50.682 penderita.

Maka dari itu, jika pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, tidak meninjau ulang izin-izin lingkungan korporasi-korporasi yang berada di wilayah rawan bencana banjir, maka hal (bencana) lebih besar mungkin terjadi. Semakin maraknya proses penghilangan gambut dan hutan, di tahun-tahun berikutnya pasti akan terjadi bencana ekologis yang lebih banyak.

Krisis ekologis makin hari semakin dalam, kemungkinan akan jadi lebih buruk jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh. Eksploitasi sumber daya alam akan jadi ancaman keamanan hidup manusia akan lebih cepat daripada restorasi terhadap ekosistem alam.

Pemerintah harus memastikan bahwa tidak ada lagi proses pembangunan di Sumatera Selatan, dilakukan tanpa ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Bukan hanya sebagai dokumen persyaratan saja tetapi harus melihat secara garis besar kesatuan ekologis di wilayah tersebut.

*Direktur Eksekutif Walhi dan Koordinator Pantau Gambut Sumatera Selatan

Bagikan

Related Stories