Cerita Sampai Akhirnya Menteri Edhy Ditahan KPK Tersangkut Gratifikasi Benur

Kamis, 26 November 2020 23:37 WIB

Penulis:Nila Ertina

Edhy Prabowo
Edhy Prabowo

JAKARTA, WongKito.co – Ekspor benih lobster atau benur memang telah menjadi sorotan masyarakat luas pascabergantinya nahkoda Kementerian Kelautan dan Perikatan dari Susi Pujiastuti ke Edhy Prabowo. Apalagi, setelah dilantik Edhy langsung tancap gas dengan menerbitkan regulasi yang dinilai bertentangan dengan kebijakan sebelumnya.

Kekhawatiran masyarakat atas kebijakan menteri baru terjawab pada, Rabu (25/11) dini hari politisi Parta Gerindra tersebut bersama enam tersangka lainnya, termasuk dua Stafsus Menteri KKP Safri Mulis dan Andreu Pribadi Misata dan ditetapkan sebagai tersangka setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Bandara Soekarno Hatta.

Selain itu, ada juga nama Ainul Faqih yang bekerja sebagai staf untuk Anggota Komisi V DPR RI Iis Rosita Dewi, istri Edhy. Lalu Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito, pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi, dan satu lainnya Amiril Mukminin.

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menjelaskan, pengintaian para tersangka ini telah dilakukan sejak Agustus 2020. Saat itu, sambung Nawawi, KPK menerima laporan adanya dugaan kongkalikong dalam penunjukkan eksportir benih lobster alias benur.

Dugaan itu muncul ketika pada 14 Mei 2020, Edy Prabowo menerbitkan surat keputusan Nomor 54/Kep MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidadaya Lobster. Saat itu, Edhy menunjuk Safri Mulis dan Andrue Pribadi sebagai ketua dan wakil ketua pelaksana Tim Uji Tuntas.

“Salah satu tugas dari tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur,” beber Nawawi dalam konferensi pers semi virtual, Kamis, 26 November 2020.

Selanjutnya, pada awal Oktober 2020, Direktur DPP Suharjito datang ke kantor KKP di lantai 16 untuk menemui Safri. Dalam pertemuan tersebut, jelas Nawawi, Suharjito menerima informasi bahwa rupanya ekspor benur hanya bisa dilakukan melalui ekpeditur, yakni ACK.

Penunjukkan ACK sebagai ekspeditur itu sendiri merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin, Andreu Pribadi, dan Siswadi. Keputusan itu juga sekaligus memutuskan biaya angkot benih benur yang ditetapka Rp1.800 per ekor.

“Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp731.573.564,” kata Nawawi.

Dari transfer uang itu, muncul dugaan bahwa Amiril Mukminin dan Ahmad Bahtiar juga turut menerima dana Rp9,8 miliar. Ahmad Bahtiar sendiri diduga merupakan nominee atau perwakilan dari Edhy Prabowo.

Usai aksi gratifikasi tersebut, akhirnya Edhy Prabowo memberikan izin kepada DPP untuk melakukan ekspor benur melalui ACK. Hingga saat ini, tambah Nawawi, terhitung sudah 10 kali DPP melakukan pengiriman benur lewat ACK.

Lalu pada 5 November 2020, KPK melacak adanya transfer dana dari rekening Ahmad Bahtiar kepada Ainul Faqih sebesar Rp3,4 miliar. Uang itulah yang diduga turut mengalir ke kocek Edhy Prabowo dan istrinya Iis Rosita Dewi. Demikian halnya dengan Safri dan Andrue Pribadi yang turut kecipratan.

KPK menduga, uang haram itu telah digunakan Edhy dan istrinya untuk belanja barang-barang mewah di Honolulu, Amerika Serikat (AS) pada 21-23 November 2020. Dana sekitar Rp750 juta diperkirakan habis untuk membeli barang-barang mewah, seperti jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, serta baju bermerek Old Navy.

“Di samping itu, pada sekitar bulan Mei 2020, EP (Edhy Prabowo juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$100.000 dari SJT (Sujiharto) melalui SAF (Safril) dan AM (Amiril Mukminin),” papar Nawawi.

Selain itu, Safril dan Adreu Pribadi juga dikabarkan telah menerima uang Rp436 juta. Uang tersebut diduga ditransfer oleh Ainul Faqih pada pertengahan Agustus 2020 lalu.

Atas dasar kronologi inilah, KPK pun akhirnya menetapkan tujuh orang yang terlibat itu sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi ekspor benur. Saat ini, lima orang telah ditahan. Sementara dua lainnya, yakni, Andreu Pribadi dan Amiril Mukminin masih berstatus sebagai buron.

“KPK mengimbau kepada dua tersangka yaitu APM (Andreu Pribadi Misanta) dan AM (Amiril Mukmin) untuk dapat segera menyerahkan diri ke KPK,” pungkas dia.

Belanja Barang Mewah di AS

Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menduga, ada dana Rp3,4 miliar yang mengalir ke kocek Edhy dan istrinya Iis Rosita Dewi. Uang itu, kata Nawawi, telah digunakan Edhy dan istri untuk belanja barang-barang mewah di Honolulu Amerika Serikat (AS) pada 21-23 November 2020.

“Sekitar Rp750 juta di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy,” ungkap Nawawi dalam konferensi pers semivirtual, Kamis, 26 November 2020.

Uang haram itu diterima Edhy Prabowo lantaran dirinya telah memberikan izin kepada PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) sebagai salah satu eskportir benih lobster. Benih itu diekspor DPP melalui ACK yang merupakan ekspeditur tunggal benih lobster yang ditunjuk oleh Kementerian KKP.

ACK diduga menerima dana Rp731,57 miliar dari DPP untuk memuluskan izin ekspor benur tersebut. Sebagian atau tepatnya Rp9,8 miliar dari uang itu kemudian ditransfer kepada Amri dan Ahmad Bahtira yang merupakan perwakilan Edhy.

Dugaan itu semakin kuat, ketika KPK melacak adanya transfer dana dari rekening Ahmad Bahtiar kepada Ainul Faqih, staf Iis. Nilanya Rp3,4 miliar. Uang itulah yang diduga turut mengalir ke kocek Edhy Prabowo dan istri.

Atas alat bukti yang lengkap ini, KPK pun akhirnya menetapkan Edhy bersama enam orang lainnya sebagai tersangka. Mereka diduga telah melakukan tindak pidana korupsi berupa peneriman hadiah dan janji perizinan tambak, usaha, dan komoditas perairan.

“Disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999,” tutup Nawawi.