hiv
Minggu, 13 Oktober 2024 23:11 WIB
Penulis:Nila Ertina
JUMLAH Anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Kota Palembang kini semakin meningkat. Catatan Dinas Kesehatan Kota Palembang hingga September 2024 sebanyak 46 anak terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang secara rutin melakukan pengobatan di Rumah Sakit Mohammad Hoesin.
Sedangkan Yayasan Sriwijaya Plus, yang merupakan salah satu organisasi masyarakat sipil (OMS) fokus pada isu HIV/AIDS di Kota Palembang mengungkapkan sejak Januari hingga Juni 2024 pihaknya menemukan 66 kasus baru ADHA.
"Anak dengan HIV yang baru teridentifikasi tersebut, tidak hanya berasal dari Kota Palembang, tetapi juga datang dari berbagai daerah kabupaten dan kota lain, di Sumatera Selatan," kata Yuliana, pendamping sebaya dari Yayasan Sriwijaya Plus, dibincangi belum lama ini.
Anak dengan HIV tersebut rentang usianya dari bayi hingga 17 tahun, tetapi untuk kasus baru dipastikan mayoritas usia 14-17 tahun, dan didominasi laki-laki.
Sore itu, berlokasi di kedai kopi yang berada di kawasan Bukit Besar, tepatnya di depan kampus Universitas Sriwijaya (Unsri), salah seorang anak penyintas HIV didampingi ibu angkatnya sedang bercengkrama.
"Mak aku ingin makan donat," kata anak perempuan sebut saja namanya Angel.
Sang ibu dengan lembut meminta menghabiskan makanan yang dibawanya terlebih dahulu. "Habiskan nasi dan ayamnya dulu ya, kan baru pulang sekolah," ucap sang ibu.
Angel yang kini telah berusia 9 tahun lebih dan tampak sehat dengan tubuh yang cenderung gempal, akhirnya menuruti untuk terlebih dahulu menghabiskan nasi ayam geprek yang sebelumnya dibeli tak jauh dari sekolahnya.
Sebelumnya, Angel pada tahun 2019 ditelantarkan keluarga di rumah sakit dengan kondisinya yang kritis dan orang tua sudah meninggal karena HIV/AIDS tersebut, kini pertumbuhannya sangat baik, tak jauh berbeda dengan anak-anak seusianya, ia suka bercoletah, mengkritik, sehat dan tentunya gemar bermain smartphone dan menonton Youtube.
Angel juga tergolong anak yang ramah, menyapa setiap orang yang ditemuinya sehingga mudah sekali akrab.
Sejauh ini, kata ibu angkatnya sejak diasuhnya sekitar 5 tahun lalu perkembangan Angel tentunya secara kasat mata tumbuh sehat dan aktif.
Namun, pastinya ada perbedaan karena riwayat asupan gizi pada 1000 hari pertamanya tidak sesuai standar pemenuhan gizi, ditambah lagi ketika ditemukan saat usia 4,5 tahun Angel dalam kondisi dirawat karena beratnya hanya 5 kg, dengan HIV dan juga kusta.
Untuk kusta atau penyakit kulit yang disebabkan bakteri mycobakterium leprae dideritanya, sudah negatif alias tidak terdeteksi lagi.
Nurul sebut saja nama ibu angkatnya tersebut menambahkan kini tidak terlihat kalau Angel adalah anak penyintas HIV. Karena seperti bayangan umumnya, anak dengan HIV tak bisa hidup sehat dan normal.
Namun, saat belajar dia tergolong anak yang slow learning. "Guru harus berulang kali menyampaikan materi dan mesti diulang di rumah agar pelajaran di kelas bisa bertahap dipahaminya," ujar Nurul.
Berbagai upaya dilakukan Nurul didukung kawan-kawan komunitas untuk memastikan Angel, yang dulu telantar agar tumbuh sehat dan mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya.
"Saya bahkan dibantu ahli gizi dan psikolog secara cuma-cuma untuk mendukung anak tersebut," ungkap dia lagi.
Ia bercerita hingga kini, Angel belum mengetahui penyakit apa yang dideritanya sehingga harus minum obat setiap hari.
Namun, bisa dipastikan treatment dengan obat Antiretroviral (ARV) diminum secara rutin. Bahkan dengan kesadaran harus minum obat setiap hari, dia sering bilang,"Kalau gak minum obat nanti adek meninggoy," kata Nurul.
ARV yang dikonsumsi anak-anak penyintas HIV terdiri dari beragam jenis, seperti Atazanavir, Darunavir, Fosamprenavir, Ritonavir
Tipranavir obat tersebut sama dengan pasien dewasa. Hanya saja, bagi anak-anak dosis obat tersebut disesuaikan dengan berat badannya.
Dukungan
Yuliana mengungkapkan banyak suka dukanya menjadi pendamping sebaya, terutama ketika berhadapan dengan anak-anak dan remaja.
"Banyak yang belum tahu, mereka sebenarnya sakit apa, sehingga harus minum obat setiap hari," kata dia.
Untuk menjelaskan kondisi mereka, ia mengatakan biasanya pendampingan kepada orang tua menjadi langkah awal yang paling penting, karena setiap penyintas anak dalam pengobatan harus ada walinya, yaitu orang tua.
Hal itu, terjadi terutama kepada remaja yang terinfeksi HIV bukan diturunkan orang tua, tetapi akibat kesalahan dalam bergaul sehingga mereka menjadi pasien HIV.
Data menunjukan pada semester I tahun ini saja, dari 66 kasus temuan baru anak HIV tersebut di Sumatera Selatan, diketahui sejumlah remaja terinfeksi virus karena pergaulan bebas atau melakukan seks sesama jenis dan tidak aman, atau bukan terjangkit karena orang tua mereka adalah penyintas.
Penyintas HIV anak yang baru ditemukan tersebut, menurut Yuliana mayoritas berjenis kelamin laki-laki.
"Hasil assesment kami, pergaulan bebas tersebut terjadi karena dipicu oleh akses internet yang tidak terkontrol, juga minimnya perhatian dari orang tua, akibatnya anak-anak yang masih dalam masa pencarian jati diri tersebut mencari perhatian dari orang dewasa yang salah," ujar dia.
Sementara Pengurus Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Sumatera Selatan, Sari Palupi mengakui kalau kini upaya melakukan pendampingan terhadap anak penyintas HIV memang harus dilakukan lebih optimal.
Belum lama ini, ia mengungkapkan menemukan seorang remaja putri di Kota Palembang yang teridentifikasi HIV dan sang anak awalnya tidak mengetahui kondisi tersebut.
"Kedua orang tuanya penyintas AIDS dan telah meninggal dunia," tutur dia.
Kini ia diasuh saudara dari ibunya, sang tante mesti melakukan pengawasan agar remaja yang sedang aktif-aktifnya di sekolah tersebut melakukan terapi ARV secara intensif.
Anak dengan HIV, menurut Sari tak hanya membuat mereka harus melakukan terapi sepanjang hidup, tetapi banyak masalah lainnya yang mereka hadapi, terutama jika kurang perhatian dari orang tua atau orang dewasa yang jadi wali mereka.
Dengan berlimpah perhatian, dan pengobatan yang optimal memungkinkan virus HIV yang menyerang antibodi tubuh sang anak dapat dijinakkan, bahkan anak terbebas dari keganasan HIV.
Hal sebaliknya, jika anak tidak melakukan terapi secara rutin, maka virus di dalam tubuhnya akan semakin ganas dan dapat penyebabkan timbulnya berbagai penyakit yang berbahaya, kata dia.
Yuliana pun mengungkapkan perhatian dan dukungan keluarga jadi kunci bagi anak-anak penyintas HIV.
Selama ini, ia mengakui menjadi tempat bagi keluarga dan anak penyintas untuk berkeluh kesah.
Bahkan, ketika ada anak atau remaja yang memberontak melakukan terapi ARV, akhirnya dia harus melakukan pendekatan kepada sang anak atas keinginan orang tua mereka.
"Saya menganggap mereka sebagai anak sendiri, karena itu biasanya anak-anak akan kembali meminum obat secara rutin," kata dia.
Di sisi lain, tak hanya pengobatan yang harus dilakukan secara intensif oleh orang tua, perhatian juga mestinya lebih karena kondisi emosional anak-anak masih sangat labil.
Apalagi, jika anak-anak tersebut mengalami stigma dan diskriminasi akibatnya mereka akan membiarkan kondisinya, bahkan bisa jadi memperparah kondisi kesehatan mereka.
Ia mencontohkan anak dengan HIV yang terparah ditanganinya adalah menderita Infeksi Menular Seksual (IMS), dan penderitanya merupakan anak laki-laki.
Tingkat keparahan anak dengan HIV tentunya dapat diantisipasi dengan pengobatan yang teratur dan sekali lagi perhatian dari orang tua, juga edukasi dari lembaga terkait.
Tak hanya itu, peran dari pemerintah sampai ketingkatan terendah dalam memberikan ruang edukasi kesehatan reproduksi dan menjaga kesehatan anak, dengan berbagai regulasi yang diterapkan menjadi cara untuk mendukung generasi yang sehat dan memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan dan kecukupann gizi serta fasilitas pendukung .(Nila Ertina FM)