Jala PRT
Sabtu, 23 September 2023 14:35 WIB
Penulis:Nila Ertina
PALEMBANG, WongKito.co - Hingga kini Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kasus kekerasan terhadap perempuan masih menempati urutan pertama, Data Komnas Perempuan mengungkapkan 61 persen kasus kekerasan di ranah privat, 90 persen merupakan KDRT.
Kementrian PPPA merilis dari bulan Januari – Juni 2023, KDRT adalah kasus yang paling banyak korbannya yaitu 7,649 kasus. Beberapa waktu lalu, kembali mencuat kasus pembunuhan perempuan oleh pasangannya setelah sebelumnya korban melaporkan KDRT yang ia alami ke kepolisian.
Setelah 19 tahun lahirnya UU Penghapusan KDRT pada 22 September 2004, Forum Pengada Layanan, JALA PRT dan Konde.co serta Perempuan Mahardhika menemukan bahwa kekerasan dalam rumah tangga masih menjadi ancaman serius hidup perempuan, hal itu terungkap pada konfrensi pers, Jumat (23/9/2023).
Apalagi jika dihubungkan dengan pekerja perempuan hingga kini belum terlindungi dari KDRT, kata Ketua Jala PRT, Lita Angraini.
Pada tahun 2020 Perempuan Mahardhika melakukan studi Pengalaman KDRT pada buruh perempuan dengan melakukan wawancara kepada 28 buruh perempuan korban KDRT yang bekerja disektor garmen. Dari penelitian tersebut sejumlah temuan penting antaralain, pertama adalah sulitnya korban melepaskan diri dari KDRT dan bertahan dalam KDRT dengan alasan ketidaktahuan tentang UU PKDRT, tidak berani melapor karena masih kuatnya perspektif suami adalah kepala keluarga, dan minimnya dukungan dari keluarga, masyarakat, tempat kerja dan sosial.
Kedua, KDRT sangat berdampak bagi pekerjaan seperti kehilangan kosentrasi kerja, mengalami kecelakaan kerja, produktivitas menurun, hilangnya kemampuan kerja bahkan sampai kehilangan pekerjaan.
Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada dukungan dari perusahaan bagi daya tahan buruh perempuan dalam menghadapi KDRT, bahkan perusahaan mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan buruh perempuan.
Sistem kerja yang tidak ramah perempuan, sarat dengan kekerasan, sarat eksploitasi; menjadikan isu KDRT diabaikan dalam dunia kerja.
Padahal dampaknya terhadap pekerjaan buruh perempuan di tempat kerja, terang benderang. Mengabaikan isu KDRT untuk masuk dalam skema perlindungan buruh perempuan, akan semakin mempersulit perempuan lepas dari jeratan KDRT, demikian ungkap perwakilan Perempuan Mahardhika, Vivi.
Pekerja Rumah Tangga Rentan KDRT
UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. PRT merupakan salah satu subyek hukum dari UU PKDRT karena rumah tangga sebagaimana disebut dalam UU PKDRT adalah semua orang yang berada dalam rumah tersebut, bisa ayah, ibu, anak, nenek, dan orang-orang yang berada di dalam rumah, termasuk PRT.
Namun undang-undang tersebut tidak menjamin hak-hak pekerja rumah tangga sebagai pekerja yang bekerja di wilayah rumah tangga/ domestik, kata Lita menambahkan. Kondisi itu jelas memberi ruang bagi pelanggaran hak-hak pekerja rumah tangga dalam kondisi kerja yang tersembunyi.
Berdasarkan data JALA PRT, penanganan kasus PRT terdapat 2.641 kasus PRT tahun 2018-2023 yang mayoritas berupa kekerasan psikis, fisik dan ekonomi dalam situasi kerja, seperti kasus upah tidak dibayar (2 bulan sampai 11 bulan gaji tidak dibayar), dipecat atau dipotong upah oleh majikan ketika sakit dan tidak dapat bekerja, pekerja rumah tangga tidak dapat mengklaim jaminan kesehatan ketika sakit, tidak ada kenaikan upah meskipun telah bekerja bertahun-tahun (lebih dari 2 tahun), tidak ada pesangon yang terjadi di dalam rumah.
Selain itu, publik dan aparat hukum masih sering mengecualikan dari berbagai bentuk kekerasan pelanggaran UU PKDRT sebagaimana yang dialami oleh PRT.
Kurang terbangun kesadaran masyarakat atas kekerasan terhadap PRT sebagai bagian pelanggaran dan terjadi pembiaran.
Dari proses hukum, hanya 15 persen yang mendapat hukuman sesuai dengan UU PKDRT, selebihnya pelaku mendapat hukuman ringan atau bebas.
Penanganan Kasus KDRT masih Menemui Banyak Hambatan
Sepanjang tahun 2022, Forum Pengada Layanan telah melakukan pendampingan kasus KDRT dengan kategori kasus kekerasan psikis sebanyak 1.248 kasus, kekerasan fisik sebanyak 559 kasus, penelantaran sebanyak 526 kasus, dan kekerasan seksual sebanyak 855 kasus.
Hambatan implementasi UU PKDRT dari tahun 2004 hingga saat ini masih sama yaitu persoalan perlunya perkawinan yang dicatatkan sebagai salah satu syarat UU ini bisa diterapkan. UU PKDRT sulit diterapkan pada perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama maupun di Catatan Sipil.
Persoalan selanjutnya adalah kurangnya kebijakan operasional dalam UU sehingga pada saat ini masih terdapat perbedaan tafsir pada aparat penegak hukum mengenai kasus penelantaraan rumah tangga dan perintah pelindungan yang susah sekali didapatkan oleh korban.
Proses pembuktian juga tak kalah pelik. Keharusan untuk adanya 1 orang saksi ditambah dengan 1 alat bukti masih menjadi kendala dalam pembuktian kasus KDRT di tingkat kepolisian. Selain itu, kriminalisasi korban KDRT juga masih terjadi, dimana ketika istri dilaporkan proses hukumnya selalu lebih cepat dibandingkan ketika dia melapor sebagai korban.
Pentingnya Media dan Media Sosial Menjadi Bagian dari Perjuangan Stop KDRT
Media mempunyai peran penting dan signifikan dalam mengajak publik dan mendorong perubahan kebijakan secara cepat. Sejak diundangkannya UU PKDRT, media turut mendorong pelaksanaan dengan menuliskan suara-suara korban.
Demikian juga dengan media sosial yang bisa menjadi salah satu rujukan untuk suara korban. Tulisan tentang suara korban ini menjadi magnitude penting agar korban yang dulu tidak berani bersuara, jadi berani bersuara.
Namun pemetaan yang dilakukan Konde.co juga menyebut tentang pentingnya literasi bagi publik dan media agar mendukung korban untuk bersuara, tidak melakukan penghakiman bagi korban dan tidak menjadikan korban jadi terpojok di media sosial.
Literasi media menjadi kata kunci agar media dan publik secara konsisten menyuarakan suara korban, tidak melakukan sensasionalisme yang menjadikan korban takut dan berhenti untuk bersuara.
Karena kebebasan menyatakan pendapat dan berekspresi lebih-lebih pada korban, menjadi bagian penting dari perjuangan untuk stop KDRT.
19 Tahun: Alarm Bagi Pemerintah untuk Bersungguh-sungguh Mengimplementasikan UU PKDRT
Kesulitan dan hambatan yang dialami korban dalam 19 tahun perjalanan UU PKDRT ini adalah alarm bagi pemerintah. Penanganan korban masih terkendala dengan minimnya pemahaman APH tentang KDRT dan budaya hukum yang belum sensitif gender.
Mengakibatkan terhentinya proses hukum dan penyelesaian kasus yang belum berorientasi pada pemenuhan hak korban. Minimnya dukungan dari keluarga, tempat kerja dan lingkungan terdekat membuat korban sendirian menanggung kasusnya. Menjadi semakin terbebani dengan stigma sosial sehingga tak jarang yang kemudian mencabut laporan
Kami Menuntut Pemerintah untuk:
1. Melakukan sosialisasi dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang KDRT dan UU tentang Pencegahan KDRT. Lemahnya pengetahuan masyarakat akan hal ini menjadi 103 hambatan untuk mencegah dan melindungi korban KDRT.
2. Mengintegrasikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementrian Kesehatan, Kemenkum Hukum dan HAM, Kepolisian, dan Rumah Sakit dalam satu jaringan kerja untuk pencegahan dan perlindungan dari KDRT
3. Memastikan aparat penegak hukum mulai dari struktur yang paling bawah untuk menggunakan UU tentang Pencegahan KDRT dalam menangasi kasus-kasus KDRT.
4. Memasukkan KDRT dalam skema perlindungan buruh perempuan dan kesehatan dan keselamatan kerja (K3).
5. Segerakan mensahkan RUU PPRT agar PRT bisa mendapatkan perlindungan yang menyeluruh.
6. Mengajak berbagai pihak seperti publik dan media untuk melakukan sosialisasi stop penghapusan KDRT karena KDRT masih mengancam hidup perempuan.
2 tahun yang lalu