Defisit Neraca Perdagangan Migas Semakin Melebar, Multisektor Terancam Kena Imbas

Senin, 18 April 2022 17:41 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi kilang migas
Ilustrasi kilang migas (ist)

JAKARTA - Neraca Perdagangan bulan Maret 2022 tercatat mengalami peningkatan surplus sebesar 20,89% (month-to-month/mtm) menjadi US$4,63 miliar atau setara Rp66,2 triliun (asumsi kurs Rp14.300 per dolar AS) berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (18/4/2022).

Pada sektor minyak dan gas (migas), tercatat RI terus mengalami peningkatan defisit menjadi Rp29,74 triliun atau naik 8,9% (mtm) dibandingkan pada periode di bulan sebelumnya yakni Februari 2022 yang mengalami defisit sebesar Rp27,31 triliun.

"Nilai impor pada bulan maret 2022 mencapai US$21,97 miliar (Rp315 triliun)  naik 32,02% dibandingkan pada februari 2022. Untuk nonmigas secara month-to-month meningkat sebesar US$18,48 miliar (Rp265 triliun) dan migasnya US$3,49 miliar (Rp50 triliun)," terang Kepala Badan Pusat Statistik Margo Yuwono dalam keterangan pers Senin, 18 April 2022.

Adapun peningkatan defisit pada sektor migas itu sesuai dengan proyeksi pengamat yang mengatakan defisit migas akan semakin melebar pada periode Maret 2022. Hal itu disampaikan sebelumya oleh Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro.

"Semakin defisit karena harganya makin tinggi dan secara volume untuk minyak mentah, produk BBM maupun bahan baku LPG itu impornya masih tinggi ya," kata Komaidi kepada TrenAsia.com Senin pagi 18, Maret 2022.

Baca Juga:

Adapun perbandingkan presentase antara neraca ekspor-impor RI di sektor migas memang cukup memprihatinkan. Beberapa komoditas migas seperti minyak mentah ataupun LPG saat ini masih mayoritas didatangkan melalui impor.

"Presentase dari impor untuk minyak mentah kita itu kan 60%, sedangkan LPG itu 75-80%," terang Komaidi.

Selain meperberat beban bagi APBN (Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara), defisit yang terjadi pada sektor migas berpotensi dapat memberikan dampak yang buruk ke sejumlah sektor industri lainnya.

"Defisit paling berat dampaknya kepada multisektor, harga barang dan jasa di sektor lainnya pun relatif dapat menjadi semakin mahal, apalagi kalau dilihat berdasarkan data input-output kita yang mana komponen bahan baku dan penolongnya itu mayoritas masih cukup tinggi impornya," jelas Komaidi.

Adapun hal tersebut dapat terjadi jika nilai rupiah pun mendapati tekanan di pasar internasional.

Meski begitu, Komaidi memperingatkan agar pemerintah berhati-hati dan melakukan pemantauan lebih lanjut terhadap sejumlah harga pada barang dan jasa di sektor krusial yang berpotensi naik seiring meningkatnya defisit, hal itu untuk mencegah menurunnya daya saing produk lokal dibandingkan asing serta untuk memastikan agar daya beli masyarakat tetap terjaga kedepannya.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Farhan Syah pada 18 Apr 2022