Eksistensi Sastra Tutur di Tengah Lahan Basah yang Semakin Terdesak

Senin, 25 Maret 2024 10:28 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Redaksi Wongkito

Eksistensi Sastra Tutur di Tengah Lahan Basah yang Semakin Terdesak
Eksistensi Sastra Tutur di Tengah Lahan Basah yang Semakin Terdesak (Ist)

"Kami hidup dari sungai, kami bergantung pada sungai sehingga kami pun menjaga sungai," kata Maestro sastra tutur, Betembang, Moksan, di Palembang, Minggu (24/3/2024).

Selain Moksan, hadir juga maestro sastra tutur, Nidi Hartono, Mat Sardin dan M.Sarkati semuanya berasal dari Desa Beringin, Lubai, Kabupaten Muara  Enim, Sumatera Selatan.  

Mat Sardin bercerita sastra tutur yang kini telah mereka himpun dan dikenalkan kembali kepada masyarakat Desa Beringin merupakan warisan budaya dari nenek moyang atau leluhur.

Selama ini, seni bertutur ciri masyarakat lokal Lubai, atau yang disebut Betembang itu sempat hilang karena memang tidak ada yang menampilkan kepada masyarakat.

Baca Juga:

Namun, sejak beberapa waktu ini, Betembang kembali dihadirkan.

"Kami tampil pada perhelatan pesta-pesta pernikahan warga desa," kata Mat.

Empat orang maestro asal Lubai tersebut seorang diantaranya, Nidi masih berusia belum 50 tahun, sedangkan tiga orang sudah memasuki usia sepuh atau 65 tahun lebih.

Nidi maestro yang paling muda mengungkapkan tergerak hatinya ikut melestarikan sastra tutur tersebut karena erat hubungannya dengan pekerjaannya sebagai penambang pasir di Sungai Lubai.

"Saya setiap hari mencari pasir di sungai, pasir-pasir tersebut menjadi sumber pencaharian utama, setiap berada di sungai kami biasanya sahut-menyahutan betembang," kata dia.

Aktivitas di sungai menambah khasanah dalam sastra tutur yang dihimpun para maestro karena diksi-diksi yang disampaikan bercerita tentang alam, tentang kekayaan sungai dan juga tentang kehidupan.

Moksan menambahkan banyak makna yang terkandung dalam bait-bait sastra tutur tersebut.

"Nenek moyang kami mengajarkan bagaimana menjaga hubungan manusia dan alam, diajarkan juga bagaimana adab dalam pergaulan dan banyak makna lainnya," ujar dia.

Sebelumnya, Teater Potlot dalam program yang mengambil tema "Bersenandung di Perahu Kajang: Menjaga Pesan-Pesan Luhur" juga menghadirkan maestro sastra tutur, Incang-Incang dari Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI) dan Senjang dari Musi Banyuasin.

Para maestro hadir di Panggung Conie Sema, Kopi Mibar, kawasan Plaju, Kota Palembang, Sabtu dan Minggu (23-24 Maret 2024).

Diksi lokal

Masyarakat yang hidup di lahan basah Sungai Musi sangat beragam multi etnis, yang berasal dari berbagai suku dan bangsa tak hanya Nusantara tetapi juga Asia.

Kehadiran masyarakat yamng multi etnis melahirkan beragam tradisi dan budaya bahari yang khas. Mulai dari teknologi, ritual, kuliner bahkan pengobatan.

Secara khusus sastra tutur juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat yang bermukim di kawasan lahan basah baik di bantaran sungai dan rawa.

Eksistensi para maestro sastra tutur juga menjadi bukti keberagaman budaya di wilayah lahan basah.

"Kami juga menemukan diksi-diksi lokal yang tentunya menarik untuk dikaji," kata salah seorang tim peneliti, Muhammad Nasir.

Ia mengungkapkan sastra tutur yang dilestarikan maestro menjadi kaya akan diksi lokal yang maknanya tentu sangat tinggi.

Apalagi, sastra tutur yang kembali dilestarikan para maestro tersebut dihimpun dari warisan lelulur yang tentunya telah lama menjadi bukti kekayaan budaya dan seni lokal di Sumatera Selatan, secara khusus bagi mereka yang bermukim di kawsan lahan basah.


Lahan Basah

Data BPS tahun 2021 menunjukan luas wilayah Sumatera Selatan mencapai 9.1 juta hektare lebih dengan didominasi kawasan lahan basah.

Namun, kekinian lahan basah mulai terdesak keberadaannya akibat dari perkebunan sawit yang masif dan pembangunan infrastruktur maupun permukiman yang juga tak kalah masifnya.

Di sisi lain, keberadaan lahan basah menjadi salah satu instrumen penting dari lestarinya sastra tutur, kata peneliti yang juga jurnalis senior, Taufik Wijaya.

Ia menjelaskan kaitan sastra tutur dengan keberadaan lahan basah sangat erat. 

Baca Juga:

Mengingat diksi demi diksi yang kemudian menjadi bait demi bait akan tercipta dengan lingkungan yang mendukung, ada bentang alam, ada aktivitas masyarakat yang menyatu dengan alam, ujar dia.

"Mempertahankan lahan basah artinya melestarikan sastra tutur dan tentunya melawan dampak perubahan iklim," kata seniman yang juga aktif di Teater Potlot ini.

Teater Potlot didukung Kemendikbud Ristek melalui Dana Indonesiana dan LPDP melaksanakan proyek penelitian terkait dengan sastra tutur Sungai Musi.

Rangkaian proyek penelitian dilakukan dengan melibatkan maestro sastra tutur, penyair muda dan juga masyarakat di lahan basah. Selanjutnya, akan diterbitkan Buku Maestro Sastra Tutur Sungai Musi dan ditutup dengan forum diskusi terbatas atau FGD dengan durasi berlangsung pada Januari hingga September 2024.(Nila Ertina)