Food Estate dan MBG Bukan Jawaban, Reforma Agraria Jalan Keluar Krisis Pangan

Rabu, 01 Oktober 2025 09:48 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

Copy of DSC01812.JPG
Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang digelar secara rutin menjelang COP30. (ist/laporiklim)

JAKARTA, WongKito.co – Diskusi dua mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang diselenggarakan Lapor Iklim, CELIOS, dan Justice Coalition for Our Planet (JustCOP) menegaskan kembali bahwa proyek food estate maupun MBG (Makanan Bergizi Gratis) tidak mampu menjawab persoalan mendasar krisis pangan di Indonesia. 

Sebaliknya, kedua program tersebut dinilai memperdalam ketidakadilan struktural, merugikan petani kecil, serta mengancam hak masyarakat rentan, perempuan, anak, kelompok marginal, dan masyarakat adat.

Guru Besar IPB University, Prof. Dwi Andreas Santosa, menekankan bahwa kedaulatan pangan berbeda dengan ketahanan pangan. Menurutnya, ketahanan pangan bisa dicapai dengan memproduksi pangan dari manapun, tetapi kedaulatan pangan hanya mungkin terwujud jika petani memiliki kendali atas tanah, benih, dan kebijakan yang berpihak.

“Seluruh proyek food estate melanggar empat pilar utama pembangunan pangan, mulai dari kelayakan tanah hingga aspek sosial-ekonomi. Jika dipaksakan, food estate hanya akan melahirkan krisis baru,” ujarnya. 

Ia juga mengingatkan tentang kriminalisasi petani benih dan turunnya jumlah rumah tangga petani yang kian menambah beban bagi generasi muda yang enggan terjun ke sektor pertanian.

Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata, menyebut bahwa food estate bukan hanya gagal secara teknis, tetapi juga merupakan pelanggaran hak asasi manusia atas pangan dan gizi. 

“Sejak 2018, kasus kelaparan berulang di Papua menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban dasarnya. Hingga kini, 17,7 juta orang mengalami kelaparan dan lebih dari 123 juta jiwa tidak mampu mengakses pangan bergizi. Ironisnya, konsumsi makanan ultra-proses seperti mie instan justru terus meningkat,” ungkap Marthin. 

Menurutnya, jalan keluar bukanlah mega proyek baru, melainkan reforma agraria yang melibatkan petani kecil dan masyarakat adat sebagai produsen pangan utama.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menegaskan bahwa pangan adalah hak asasi manusia yang wajib dipenuhi negara. Ia menyoroti bahwa proyek food estate maupun MBG sering kali mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi, bahkan membuka ruang pelanggaran baru.

“Masyarakat adat, perempuan, anak, petani kecil, dan kelompok marginal adalah pihak yang paling rentan, tetapi justru paling sering dikorbankan. Pembangunan pangan tidak boleh melanggengkan penggusuran, pencemaran, atau kriminalisasi. Negara berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas pangan bagi semua warga,” katanya.

Dalam sesi tanya jawab dengan jurnalis, muncul pertanyaan mengapa Indonesia tetap terjebak dalam dominasi beras meski sejak lama ada wacana diversifikasi pangan. Menjawab hal ini, Prof. Andreas menjelaskan bahwa politik pangan sejak era Orde Baru sengaja diarahkan untuk menjadikan beras sebagai simbol stabilitas, sehingga pangan alternatif seperti sorgum, sagu, dan umbi-umbian tersingkir. 

Dampaknya, pasar domestik semakin bergantung pada beras, sementara ketahanan pangan non-beras terus melemah.Diskusi menghasilkan kesimpulan bahwa krisis pangan tidak bisa diatasi melalui food estate atau MBG yang hanya mengulang pola gagal masa lalu. 

Satu-satunya solusi adalah reforma agraria yang nyata, perlindungan menyeluruh terhadap petani kecil, masyarakat adat, perempuan, anak, kelompok marginal, serta keterlibatan publik luas dalam kebijakan pangan. 

Seruan “tanah untuk rakyat, bukan food estate” yang mengemuka menjadi penegasan bahwa kedaulatan pangan hanya dapat terwujud apabila negara benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada proyek skala besar yang menguntungkan segelintir pihak.

Acara ini merupakan bagian dari Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet yang digelar secara rutin menjelang COP30, dengan tujuan menghadirkan ruang kritis untuk membedah keterkaitan krisis iklim, agraria, dan hak asasi manusia. (*)