Selasa, 03 Agustus 2021 15:37 WIB
Penulis:Nila Ertina
Meskipun pandemi COVID-19 sudah memasuki tahun ke dua tetapi rasa gelisah dan susah hati atau biasa disebut galau oleh anak muda tentunya kerap menghantui kita. Mungkin hal itu normal, hanya saja hendaknya jangan berlarut-larut.
Karena Islam tentunya mempunyai solusi. Banyak hikmah dan pelajaran dari ajaran Islam yang bila direnungkan, ternyata merupakan solusi dari permasalahan kehidupan manusia di dunia hingga akhirat nanti.
Perubahan situasi saat pandemi menimbulkan dampak pada fisik maupun mental. Baik orang tua, dewasa, remaja, maupun anak-anak tentu merasakannya. Penyakit fisik sudah pasti juga berdampak kepada kesehatan jasmani seseorang.
Sedikit atau banyak, hal itu juga berpengaruh kepada kesehatan mental atau rohani seseorang. Penelitian terbaru menunjukkan, anak-anak yang semula ceria, pada masa pandemi ini bisa menjadi murung secara tiba-tiba karena perubahan emosi dan psikologisnya. Demikian pula dengan orang dewasa.
Bagaimana kita menyikapi hal tersebut? Adakah contoh teladan dari para sahabat radiyallahu ‘anhum yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana menerapkannya dengan pandemi COVID-19 saat ini?
Pandemi atau wabah penyakit bukan baru terjadi sekarang saja. Sejak zaman dahulu, bahkan sejak masa para Nabi, umat manusia sudah pernah mengalaminya. Pada masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam baru hijrah ke Madinah, ternyata kota Madinah itu adalah kota yang berwabah penyakit. Wabah di Madinah dicirikan dengan demam tinggi yang dapat mengancam jiwa.
Imam Jalauddin As-Suyuthi mengisahkan dalam kitabnya tentang kondisi Madinah yang berwabah: Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Aisyah,
“Kami datang ke Madinah, sedangkan pada saat itu Madinah paling banyak wabahnya.” Juga disebutkan dari hadits al-‘Uraniyyin bahwa mereka berkata, “Wilayah ini berwabah.
Pada masa pemerintahan Umar, wilayah ini telah dilanda wabah dan banyak orang meninggal. Namun, wabah yang melanda bukanlah thaun.” (Imam Suyuthi, Ma Rawahu al-Waun fi Akhbar ath-Tha’un [Damaskus: Darul Qalam], tanpa tahun: 149).
Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitab Ar-Rahîqul Makhtûm yang terkenal menceritakan: Aisyah berkata, “Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah tiba di Madinah, sementara Abu Bakar dan Bilal merintih kesakitan (karena merasakan demam tinggi akibat wabah di sana), aku segera menemui keduanya dan bertanya, ‘Wahai Ayah, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?”.(nu.or.id)
Biasanya jika Abu Bakar terkena demam tinggi, maka dia menjawab dengan sebuah syair: “Kala pagi setiap orang bisa berkumpul dengan keluarga, Padahal kematian lebih dekat daripada tali terompahnya.”
Bilal juga menjawabnya dengan cara bersyair. Ketika demamnya agak mereda, ia pun melantunkan syair yang isinya berbeda dengan Abu Bakar.
Bilal lebih memilih meluapkan kerinduannya pada Kota Mekkah. Suasana kota Mekkah yang memiliki Rumput Idkhir (sejenis rumput beraroma wangi dan berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit), sejenis serai wangi serta tanaman Jalil membuat Bilal merasa memiliki harapan akan sembuh dari sakitnya.
Luapan kerinduan dalam bait-bait syairnya merupakan pelepaskan kecemasan dan meningkatkan motivasi agar kelak setelah sehat Beliau bisa melihat Kota Mekkah kembali.
Beliau pun bersyair: “Masih adakah kemungkinan bagiku tinggal semalam saja di sebuah lembah di Mekkah sana dikelilingi oleh Idkhir dan Jalil?, Masih mungkinkah aku meneguk air di Majannah atau memandang Bukit Syamah dan Thafil?” (Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiiqul Makhtuum, Dar Ihyait Turats, 1976: 157).
Setelah mendapatkan respons tersebut, Aisyah mengerti bahwa kedua sahabat Nabi itu memang mengalami keadaan sakit yang parah, tetapi mereka justru berusaha meringankan penderitaannya dengan bersyair.
Bagi orang Arab, bersyair tidak hanya menunjukkan keterampilan berbahasa dan intelektual, tetapi juga menjadi penyaluran ekspresi isi hati dan jiwa. Ungkapan yang keluar dari syair kedua sahabat Nabi itu mengandung seni dan kreativitas berpikir yang positif.
Syair tersebut mengandung kepasrahan dan tawakal sekaligus pengharapan akan keadaan yang lebih baik. Syekh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam Kitab Ar-Rahiiqul Makhtuum melanjutkan kisahnya sebagai berikut: Aisyah berkata, “lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan mengabarkan keadaan itu. Maka Beliau bersabda, “Ya Allah, buatlah kami mencintai Madinah ini seperti cinta kami kepada Mekkah atau bahkan lebih banyak lagi.
Sebarkanlah kesehatan di Madinah, berkahilah ukuran dan timbangannya, singkirkanlah sakit demamnya dan sisakanlah air padanya.” (Hadits Riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim).
Komunikasi antara Aisyah dengan Nabi menunjukkan adanya upaya mencari pengobatan untuk ketenangan jiwa maupun kesehatan fisik. Saat itu, Aisyah menyadari bahwa kondisi genting seperti demam tinggi akibat wabah penyakit bisa diobati dengan doa Nabi.
Sebagai anak dari Abu Bakar, Aisyah tentu khawatir dengan kondisi ayahnya. Namun, pikiran positif mengarahkannya untuk berikhtiar optimal dengan menyampaikan kondisi tersebut kepada Nabi.
Doa merupakan salah satu media pengobatan islami dan bisa dimintakan dari Nabi maupun orang saleh. Orang yang didoakan oleh nabi terjamin mendapatkan ketenangan jiwa dengan sebab optimisme pengabulan doa sebagai berkah dari keterlibatan nabi yang mulia. Inilah salah satu peran Nabi sebagai thibbil qulub wa dawaiha atau pengobat hati dan jiwa serta penawar penyakitnya.
Itulah gambaran sebagian sahabat-sahabat Nabi yang merupakan orang dewasa yang terkena wabah di Madinah. Penyakit dan tempat yang baru ditambah wabah yang melanda membuat fisik dan jiwa mereka tertekan.
Nabi mendoakan agar penduduk seluruh kota diberikan kesehatan dan keberkahan. Bahkan secara khusus beliau mendoakan agar para sahabat yang baru hijrah tidak saja dikaruniai kesehatan dan sembuh dari demam, melainkan juga diberi kecintaan kepada kota tersebut.
Hal itu dilakukan karena di kota itulah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam bersama para sahabat akan tinggal dan berjuang. Kecintaan para sahabat yang selalu menyertai Nabinya berbalas doa agar mereka mencintai Madinah sebagai tempat tinggal baru sebagaimana Mekkah sebagai tempat tinggal yang lama.
Setelah dipanjatkannya doa itu, mereka pun optimis akan dilimpahi dengan ketenangan dan akhirnya mendapatkan kesehatan jasmani maupun rohani di Madinah sebagai tempat tinggal yang baru.
Bagaimana dengan kondisi anak-anak pada waktu itu? Secara umum, anak-anak punya dunia sendiri yang penuh dengan keceriaan dan permainan, mereka tetap bermain dengan kawan-kawannya meski wabah melanda.
Kedatangan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam seolah menjadi magnet bagi anak-anak. Tidak lupa, Nabi juga menyapa mereka dengan bahasa yang lembut sehingga anak-anak kecil juga merasa senang dengan kehadiran Beliau.
Sebagaimana yang dikisahkan oleh para sejarawan Muslim, ketika Nabi datang ke Madinah. Rumah yang akan ditinggali oleh Beliau adalah rumah sahabat Abu Ayyub Al-Anshari. Sebelum masuk, Nabi menyapa gadis-gadis cilik Bani Najar, yang tak lain adalah kerabat-kerabat dekat Beliau. Mereka bersenandung merayakan kedatangan Beliau, menabuh rebana dengan riang.
Baginda Nabi tampak bahagia dengan sambutan ini. Beliau menebar senyum kepada gadis-gadis cilik itu. “Apakah kalian menyukaiku?” tanya Baginda Nabi. “Ya, demi Allah, Wahai Rasulallah” suara mereka jernih dan polos. “Allah Maha Mengetahui hatiku sangat mencintai kalian,” Nabi menimpali (Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqih Sirah Nabawiyah, [Damaskus: Darul Fikr], 1991: 199)
Demikianlah, cinta anak-anak kecil di Kota Madinah yang tulus kepada Nabinya berbuah balasan cinta dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.
Kegembiraan itu menutupi kesedihan akibat duka dari dampak penyakit wabah yang sedang melanda. Dengan kegembiraan yang didasari rasa cinta yang suci kepada Nabi, kehidupan mereka pun berubah menjadi ceria berbalut keberkahan.
Aisyah pun yang saat itu masih anak-anak tidak luput dari demam tinggi setelah berada di Madinah. Tingginya demam yang dialami oleh Beliau mampu membuat rambutnya rusak. Sebagai anak-anak, Beliau bermain kembali bersama kawan-kawannya setelah kondisi kesehatannya membaik yang ditandai dengan tumbuhnya rambut yang semula rusak di kepala.
Namun, berkat pengalaman spiritualnya yang terdahulu ketika mengabarkan sakit ayahandanya maupun sahabat Bilal, Beliau yakin, tetap tenang dan ceria karena merasakan mendapatkan bagian dari doa nabi.
Hari ini pandemi COVID-19 belum usai di dunia kita. Banyak orang yang merasa tertekan dengan pembatasan kegiatan masyarakat di berbagai tempat. Anak-anak yang seharusnya bersekolah juga masih banyak yang berada di rumah sebagai bentuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan.
Bagi masyarakat yang sehat dengan waktu di rumah lebih banyak, marilah kita berusaha meneladani kehidupan para sahabat nabi yang mulia. Bagi yang sedang sakit maupun menjalani isolasi mandiri, marilah tetap menumbuhkan pikiran yang positif untuk menyikapi keadaan penyakit disertai kecintaan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam agar mempercepat kesembuhan.
Kita mungkin saat ini tidak tinggal di Madinah dan tidak pernah bersua secara langsung dengan Nabi, tetapi kemampuan berpikir positif dan kecintaan kita sebagai umat Nabi tidak terbatas ruang dan waktu.
Masih banyak ulama sebagai pewaris nabi di sekitar kita yang mengajak berdoa untuk mengangkat wabah dan patut kita sambut seruannya. Meskipun kita juga bukan penyair yang pandai merangkai kata-kata, banyak amalan-amalan saleh lainnya sesuai bakat dan minat masing-masing yang bisa menumbuhkan semangat dan jiwa optimis.
Marilah kita tumbuhkan upaya-upaya itu sebagai bentuk ikhtiar serta keimanan kita dalam berislam di manapun dan kapanpun, khususnya di masa pandemi ini.(nu.or.id)