Indonesia Perkuat Narasi Nasional Jelang COP30 di Belem Brasil

Jumat, 17 Oktober 2025 14:30 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

IMG-20251017-WA0006.jpg
Agenda Green Editor Forum yang digagas oleh SIEJ di Jakarta, Kamis (16/10/2025). (ist/SIEJ)

JAKARTA, WongKito.co – Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-30 (COP30) yang akan digelar di Belem, Brasil, pada November 2025, Indonesia memperkuat koordinasi lintas lembaga, masyarakat sipil, dan media untuk menyatukan langkah serta memastikan narasi tunggal Indonesia tersampaikan kuat di forum global. 

Humas Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Yulia Suryanti menegaskan pentingnya strategi komunikasi terpadu agar isu perubahan iklim dapat dipahami secara luas oleh publik. 

“Kami sedang berupaya menyederhanakan penyampaian informasi agar tidak terjadi salah persepsi. Isu perubahan iklim ini sangat teknikal, jadi penting memastikan publik dan pemangku kepentingan memahami dengan benar,” ujarnya dalam agenda Green Editor Forum yang digagas oleh SIEJ di Jakarta, Kamis (16/10/2025). 

Yulia menambahkan, COP30 menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinan dalam memperjuangkan komitmen iklim nasional. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai National Focal Point (NFP) berperan memastikan seluruh pihak berbicara dengan satu suara. 

“COP30 bukan hanya forum negosiasi, tapi juga ajang menunjukkan bahwa isu iklim bisa menjadi peluang pembangunan berkelanjutan. Kami ingin memperlihatkan bahwa Indonesia mampu memanfaatkannya untuk mendorong ekonomi hijau,” jelasnya. 

BPLH bersama KLHK kini tengah menyiapkan strategi komunikasi terpadu dengan melibatkan jurnalis dan mitra media. “Lucu kalau kita berdebat di luar negeri tapi tidak satu suara di dalam negeri. Karena itu, kami dorong pemahaman bersama dan penguatan kapasitas komunikasi, baik di pusat maupun daerah,” tambah Yulia. 

Dari sisi masyarakat sipil, Torry Kuswardono dari Yayasan Pikul menegaskan pentingnya partisipasi publik dalam posisi Indonesia di COP30. Menurutnya, isu iklim tidak bisa dilepaskan dari aspek keadilan sosial dan kebijakan nasional. “Krisis iklim adalah persoalan struktural. Kalau akar ketimpangan tidak diatasi, kebijakan iklim hanya akan melahirkan ketidakadilan baru,” ujarnya. 

Torry menjelaskan, sebanyak 36 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim kini aktif mengadvokasi kebijakan yang berpihak pada kelompok rentan. 

Aliansi ini mendorong agar setiap kebijakan iklim berlandaskan konstitusi, termasuk pengakuan terhadap masyarakat adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B dan 28 UUD 1945. “Kami ingin negara setia pada konstitusi, bukan hanya pada target iklim di atas kertas,” tegasnya. 

Ketua Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Joni Aswira Putra menilai media memiliki peran strategis dalam memperkuat narasi iklim Indonesia di COP30. “Liputan iklim harus berbasis sains, berpihak pada keadilan, dan mengangkat solusi nyata di tingkat lokal. Editor memegang peran penting memastikan hal ini terjadi di ruang redaksi,” katanya. 

Menurut Joni, kolaborasi antara media, pemerintah, dan masyarakat sipil menjadi kunci agar pemberitaan mengenai komitmen iklim Indonesia semakin transparan dan berdampak. “Dengan keterlibatan aktif media, komitmen iklim Indonesia di COP30 diharapkan tidak berhenti pada retorika, tapi diwujudkan dalam kebijakan nyata yang berpihak pada masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” ujarnya. 

Dengan sinergi lintas sektor tersebut, Indonesia diharapkan mampu membawa narasi iklim yang kuat, inklusif, dan berkeadilan dalam perundingan global di COP30 Belem 2025. (*)