Jalan Unik ke Rumah Baba Boentjit, Cagar Budaya Palembang Tepi Sungai Musi

Minggu, 06 Februari 2022 20:56 WIB

Penulis:Nila Ertina

Rumah Baba Boentjit
Rumah Baba Boentjit (WongKito.co/Nila Ertina)

MENUJU Rumah Baba Boentjit, kediaman saudagar Ong Boen Tjit yang telah berusia sekitar 300 tahun dan menjadi salah satu cagar budaya di Kota Palembang tidaklah mudah saat musim pasang air sungai.

Cagar budaya yang terletak di tepi Sungai Musi tersebut memang akan lebih mudah diakses dengan menggunakan transportasi sungai kapal kayu atau ketek biasa orang Palembang menyebutnya.

Namun, saat musim hujan dan air pasang halaman rumah pun digenangi air sehingga pengunjung harus melepas sandal atau sepatu dan mengulung celana atau menarik rok yang dikenakan.

Pengalaman serupa tidak hanya kita temui saat berkunjung ke rumah saudagar paling terkenal ratusan tahun lalu di Palembang menggunakan "ketek" kondisi serupa juga dialami saat memilih jalan darat.

Baca Juga:

Untuk tiba di Rumah Baba Boentjit melalui jalur darat kita mesti menemukan Jalan Faqih Usman di kawasan 3-4 Ulu dan bisa masuk dari Lorong Jayalaksana, jika memilih jalan ini maka sepanjang lorong sempit berukuran 1 meter sesekali kita menoleh ke kanan akan ada petunjuk menuju Rumah Baba Boentjit.

Bisa juga masuk dari Lorong Saudagar Yucing, tapi hanya orang-orang yang hapal jalan agar lebih mudah menemukan rumah yang kita maksud.

Dua lorong ini berada di perkampungan padat penduduk dengan gang-gang sempit dan saat air Sungai Musi pasang maka permukiman pun digenangi air.

Tak heran saat kita menuju lokasi tersebut, tidak berbeda dengan menyeberang menggunakan transportasi sungai terpaksa membiarkan sepatu dan kaos kaki kita basah jika memang engan melepas alas kaki.

Keunikan jalan menuju Rumah Saudagar Ong Boen Tjit tentu menjadi cerita tersendiri saat kita ingin menikmati suasana yang berbeda di tengah kota.

Sajian Pindang

Tiba halaman Rumah Baba Boentjit, kental dengan suasana Tionghoa karena beragam pernak pernik mulai dari lampion menyambut kedatangan pengunjung.

Rumah kayu setengah tiang tersebut, yang awalnya hanya ditinggali keluarga dari keturunan ke-8 saudagar Ong Boen Tjit kini menjadi destinasi wisata yang patut dikunjungi saat sedang di kota pempek.

Baca Juga:

Halaman yang luas di tepi sungai juga menjadi nilai lebih dari rumah tersebut, dan tepat di depannya telah dibangun dermaga khusus untuk menuju permukiman di daerah tersebut.

Memasuki rumah, bangunan kayu itu interiornya perpaduan antara ukiran khas Palembang dan Tionghoa di ruang tamu. Sedangkan, ruang tengah seperti umumnya rumah orang Tionghoa terdapat tempat peribadatan yang dilengkapi dengan patung-patung para dewa.

Mengeksplorasi rumah dengan akulturasi Palembang dan Tionghoa tersebut tentu membutuhkan sumber yang kompeten agar lebih detail dan mudah memahaminya.

Sekarang yuk, kita menikmati makanan yang bisa dipesan saat berkunjung ke rumah tersebut. Pindang ayam, iya pindang menjadi salah satu dari dua menu yang ditawarkan dalam daftar menu saat kami duduk menikmati suasana tepi sungai itu.

Budayawan yang juga jurnalis senior Palembang, Yudhi Syarofie mengatakan pindang merupakan olahan makanan khas Sumatera Selatan dengan keistimewaan bumbu yang disesuaikan dengan kondisi daerah.

Setiap daerah atau kabupaten/kota di Sumsel memiliki cara pengolahan pindang yang sedikit berbeda meskipun tidak jauh bergeser dari umumnya olahan pindang, kata Yudhi saat dijumpai di rumah Baba Boentjit, Sabtu (5/2/2022).

Ia mengungkapkan ada dua perbedaan pengolahan pindang, dari cara memasaknya saja yaitu bumbu ditumis terlebih dahulu atau dicemplungkan langsung.

"Biasanya, mereka yang bermukim di dataran tinggi menumis bumbu terlebih dahulu dan dataran rendah bumbu langsung dicemplungkan," kata dia.

Kebiasaan memasak pindang masyarakat dataran tinggi karena mereka lebih santai saat memasak, karena pekerjaan mereka tidak membutuhkan mobilitas yang tinggi. Mayoritas masyarakat di dataran tinggi berkebun kopi atau tanaman lain yang pekerjaannya sudah terjadwal.

Sedangkan, pindang dengan bumbu langsung dicemplungkan dalam air yang mendidih dilakukan penduduk di dataran rendah karena umumnya mereka harus cepat saat memasak karena bisa saja sedang menunggu padi di sawah. Analoginya kalau sedang menunggu padi harus cepat memasak, agar tanaman padi yang menguning tidak dimakan burung.

Lalu, masyarakat di dataran rendah juga biasanya berniaga di pasar, contohnya di Kota Palembang kalau harus menumis bumbu terlebih dahulu membutuhkan waktu yang lebih sehingga aktivitas berdagang terganggu, jelas dia.

Yudhi menegaskan olahan pindang sendiri menurut dia merupakan salah satua cara masyarakat Sumatera Selatan mengolah ikan, seperti ikan gabus, toman, lais juga patin.

Sembilan anak Sungai Musi memiliki ikan yang berlimpah dan memadukan ikan dengan bumbu lengkap, mulai dari laos, cabai, bawang merah dan bawang putih, serta bumbu dapur lainnya adalah cara menikmati ikan dengan rasa yang tentunya luar biasa lezat.

Di Rumah Baba Boentjit pengunjung bisa memesan pindang tulang sapi dan pindang ayam kampung. Harganya Rp30 ribu per porsi lengkap dengan secangkir es jeruk siap saji.

Oh ya, bagi yang ingin coba berwisata unik ke Rumah Saudagar Ong Boen Tjit bisa juga mengikuti peta yang bisa diakses dalam aplikasi peta digital ya.(Nila Ertina)