Selasa, 15 Juli 2025 10:52 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
JAKARTA, WongKito.co - Tren kerja hybrid diramal tak akan lama bertahan di kalangan profesional muda. Model kerja yang memadukan work from office (WFO) dan work from home (WFH) ini padahal dianggap jadi jalan tengah untuk mengatasi tantangan kerja jarak jauh, sekaligus tetap menjaga interaksi langsung di kantor.
Hybrid bukan hanya tren sementara, tapi dianggap solusi realistis untuk menyeimbangkan produktivitas, efisiensi biaya, dan kebutuhan sosialisasi. Maulidia (25), Content Writer Radar Bogor mengatakan, opsi hybrid lebih nyaman karena bisa diatur sesuai kebutuhan kerja dari rumah tapi tetap bisa ketemu rekan kantor.
“Aku sudah hampir 4 tahun WFH, lebih nyaman pilih hybrid karena bisa atur jadwal ke kantor dan di rumah. Kalau bosan bisa WFC (work from cafe) sendiri atau sama teman,” ujarnya kepada TrenAsia.id pada Selasa, 15 Juli 2025
Menurutnya jika dibandingkan, kerja remote lebih hemat ongkos transportasi. Meski begitu, kerja remote juga punya tantangan rasa kantuk yang kadang bikin pekerjaan tertunda. Namun, dengan hybrid dia merasakan lebih nyaman.
“Kalau di rumah, kalau ngantuk tinggal tidur. Break sebentar bisa kelamaan. Kendala lain juga kalau laptop error harus service, kadang bikin izin dadakan bisa dilakukan di sela-sela jam kerja,” jelasnya.
Menurut Maulidia, kerja remote sebenarnya lebih tenang dan fokus karena suasananya hening, tanpa rasa diawasi. Namun, dia menekankan pentingnya meeting rutin untuk memastikan pekerjaan tetap berjalan baik. “Perlu juga fasilitas kayak uang internet bagi yang belum ada wifi,” tambahnya.
Cerita lain datang dari Maylisda Eleanor (26), Sekretaris di salah satu perusahaan Bogor. Maylisda juga sudah merasakan kerja di kantor dan remote. Menurutnya, keunggulan WFH jelas di waktu tempuh yang lebih efisien. “Kalau WFA itu hemat waktu, nggak makan waktu PP. Di rumah juga nggak perlu dandan rapi kecuali ada meeting Zoom,” ujarnya.
Ia menilai kerja remote juga membuat lebih produktif karena bebas dari tekanan diawasi atasan atau rekan yang suka “ngerecokin”. Namun WFH juga punya risiko miskomunikasi yang lebih besar. Terkadang harus memastikan berkali-kali, sementara jika di kantor tinggal tanya langsung dan lebih cepat.
Tapi tantangan lain muncul dari distraksi di rumah, apalagi yang tinggal bersama keluarga. “Kadang dianggap santai, disuruh beberes rumah. Pengingat untuk bekerja juga kurang,” katanya.
Maylisda mengaku lebih suka hybrid. “Hemat di perjalanan, nggak perlu dandan, tapi ada saat tertentu enak WFO buat meeting atau tanda tangan dokumen. Kalau pekerjaan admin atau sekretaris enak di kantor,” jelasnya.
Kedepannya Ia berharap aturan kerja lebih fleksibel mengikuti zaman. “Perusahaan sebaiknya atur soal jam kerja dan chat di luar jam. Buat sistem komunikasi sendiri, jangan hanya WA. Saya nggak mau diganggu di luar jam kerja,” tambahnya.
Renna Yavin (25) seorang Content Writer juga mendukung sistem hybrid karena lebih praktis dan menghemat waktu. “Nggak perlu macet-macetan dan bisa pakai waktu untuk hal lain. Nyaman juga,” ujarnya.
Renna menilai kerja remote membuatnya lebih produktif. Tantangan terbesar saat remote, menurutnya, lebih ke teknis. Menurut Renna, hybrid membantu menyeimbangkan kerja dan hidup. “Selama di toko oren aku bisa work life balance. Nggak capek di jalan tapi kerjaan tetap beres. Hybrid bisa bikin karyawan lebih produktif dan seimbang,” tuturnya.
Renna juga menilai kebijakan perusahaan harus menyesuaikan jenis kerja. “Kalau harus ke kantor, perusahaan sebaiknya kasih biaya transport. Kalau WFH, bisa kasih tunjangan internet supaya nyaman,” pungkasnya.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Debrinata Rizky pada 14 Juli 2025.