Kisah Marsinah, Simbol Perjuangan Kaum Buruh, Dibunuh dan Dibuang kini Dinobatkan jadi Pahlawan Nasional

Selasa, 11 November 2025 10:22 WIB

Penulis:Nila Ertina

Marsinah
Marsinah (Foto LBH-Jakarta)

MARSINAH lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur.  Ketika masih kecil sang ibu meninggal,  ia dan saudaranya kemudian diasuh oleh neneknya.   Saat remaja, Marsinah memiliki mimpi untuk kuliah di fakultas hukum, namun terbentur biaya sehingga ia memilih bekerja.  

Pada tahun 1990, ia mulai bekerja di pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo,   Jawa Timur,  sebuah perusahaan manufaktur yang saat itu menggantungkan banyak tenaga kerja perempuan.  

Di lingkungan kerja itulah Marsinah kemudian mengetahui secara langsung kondisi pekerja yang jauh dari layak,  upah dibayar rendah, jam kerja panjang, hak pekerja yang terbatas.  

Sebagai kader buruh, ia aktif dalam unit kerja Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) di perusahaan tersebut.    

Baca Juga:

Salah satu pemicu perjuangan yang lebih intens adalah ketika Gubernur Jawa Timur mengeluarkan imbauan kenaikan upah pokok sebesar 20 % untuk pekerja  dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250,  namun perusahaan CPS menolak ikut menaikkan.  

Marsinah, bersama pekerja lainnya, kemudian mengorganisir aksi mogok kerja pada awal Mei 1993, dengan tuntutan selain upah, juga perbaikan kondisi kerja dan penghentian praktik yang merugikan buruh.  Pada tanggal 3-5 Mei 1993, pekerja di CPS melakukan pemogokan besar.  

Komando Rayon Militer (Koramil) setempat ikut turun untuk “menertibkan” aksi tersebut; sekitar 13 pekerja ditahan, dipaksa menandatangani surat pengunduran diri, atau di­PHK.  

Marsinah mendatangi Koramil/ Kodim untuk mempertanyakan nasib rekan-rekannya yang ditahan. Pada malam hari tanggal 5 Mei 1993, Marsinah menghilang. Empat hari kemudian, pada 8 Mei 1993, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di Desa Wilangan, Nganjuk — dengan tanda-tanda kekerasan berat.  

Kasusnya hingga kini menjadi simbol pelanggaran hak asasi pekerja dan perempuan di era Orde Baru.

Perlawanan Buruh Perempuan

Seorang pekerja yang berasal dari kelas rakyat kecil, yang berani menuntut hak bekerja yang layak dan upah yang adil.  

Ia juga menjadi simbol bahwa perjuangan pekerja tidak bisa cukup hanya lewat panas aksi, tetapi juga lewat keberanian mengangkat suara yang selama ini dibungkam.

Kematian tragisnya mengingatkan betapa dalamnya ketimpangan sosial dan bagaimana kekuatan negara-aparat bisa disalahgunakan dalam hubungan industrial.  

Ia menegaskan bahwa nilai “buruh” bukan hanya tenaga kerja yang pasif, tapi juga agen perubahan—dan bahwa hak buruh adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.

Golongan pekerja dan serikat buruh terus memperjuangkan agar Marsinah mendapatkan gelar resmi sebagai, Pahlawan Nasional dari pemerintah.

Pada peringatan Hari Buruh Internasional 2025, Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap usulan tersebut, asal seluruh pimpinan serikat buruh sepakat.

Reaksi buruh di Jawa Timur menyambut baik penetapan Marsinah sebagai pahlawan dari kaum buruh, dengan harapan bahwa perjuangannya tidak sekadar simbolik.  

Namun, kritik juga muncul bahwa pengakuan simbolik tanpa keadilan substantif, seperti penyelesaian hak atas kematiannya bisa menjadi “pengalihan” narasi daripada mengubah realitas.

Perjuangan Marsinah mengingatkan kita bahwa kondisi kerja yang “normal” bisa tersembunyi di balik stabilitas produksi — namun jika pekerja tidak memiliki suara, maka kemapanan dapat menutupi ketidakadilan.

Suara perempuan pekerja sangat penting: Marsinah sebagai pekerja perempuan menunjukkan bahwa tantangan bukan hanya soal upah, tetapi juga soal diskriminasi gender, hak-cuti hamil, haid, kondisi kerja yang layak bagi perempuan.

Baca Juga:

Kasusnya mengajarkan bahwa hak buruh dan hak asasi manusia saling terkait: ketika hak berserikat, hak mogok, hak mendapatkan upah layak, dan hak perlindungan seperti aspek kerja perempuan diberangus, maka yang tersisa adalah narasi korban tanpa perubahan sistemik.

Peringatan perjuangannya bukan semata mengenang masa lalu, tapi menjadi undangan agar hari ini kita memperkuat  aksi kolektif, kepedulian terhadap kerja layak, dan transparansi dalam proses penyelesaian pelanggaran.

Marsinah bukan sekadar nama dalam catatan sejarah buruh Indonesia, ia adalah simbol perlawanan dan membuktikan   bahwa dari sudut tersempit pabrik, dari suara yang dianggap “biasa” di lantai produksi, bisa muncul keberanian luar biasa yang mengguncang sistem.

Untuk menjadikannya benar-benar pahlawan nasional bukan hanya soal gelar, tapi soal memastikan bahwa nilai yang ia perjuangkan keadilan sosial, kesejahteraan pekerja, pengakuan terhadap perempuan pekerja benar-benar dijalankan dalam realitas kehidupan kerja hari ini.(Resume AI dari berbagai sumber)