Sabtu, 15 Juli 2023 08:52 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA, WongKito.co - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) mendesak media massa menaati Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Dewan Pers dalam menulis pertemuan aktivis Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender Asia Tenggara atau ASEAN Queer Advocacy Week.
Pantauan terhadap pemberitaan media online menunjukkan sebagian media daring mengabaikan Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman karena menggunakan kutipan narasumber yang berisi ujaran kebencian, misalnya usir, penyimpangan.
Sebagian pemberitaan juga hanya menggunakan narasumber dari kalangan otoritas resmi, mengabaikan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan gender, dan tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap minoritas LGBT.
Sebagian pemberitaan media online berskala lokal maupun nasional lebih banyak memuat pernyataan politisi, Majelis Ulama Indonesia, dan pejabat pemerintah yang menyerukan anti-LGBT yang berpotensi menguatkan permusuhan, kebencian, diskriminasi, dan persekusi terhadap kelompok tersebut.
Baca Juga:
Penyelenggara pertemuan ASEAN Queer Advocacy Week, forum pertemuan itu memutuskan memindahkan lokasi yang semula di Jakarta karena menerima serangkaian ancaman keamanan dan keselamatan dari sejumlah pihak anti-LGBT.
Penyeleggara acara tersebut, Arus Pelangi mendapatkan ancaman pembunuhan melalui media sosial seperti Twitter dan Instagram secara bertubi-tubi. Para pendengung dan pemengaruh mengobarkan kebencian.
Selain itu, akun medsos organisasi yang fokus pada advokasi hak LGBT tersebut lumpuh total karena serangan massal di dunia maya. Dampak lainnya, akun pribadi pegiat Arus Pelangi dan identitas penyelenggara juga disebarkan secara masif di media sosial.
Forum pertemuan itu bertujuan untuk berdialog dengan kelompok-kelompok yang terpinggirkan, termasuk mereka yang didiskriminasi berdasarkan orientasi seksual, identitas gender, ekspresi gender, dan karakteristik seks mereka (SOGIESC). Mereka memiliki visi bersama tentang kawasan ASEAN yang inklusif dan mengupayakan ruang aman bagi masyarakat sipil.
Sekretaris Jenderal AJI Indonesia, Ika Ningtyas mendesak platform media sosial bertanggung jawab mengatasi ujaran kebencian terhadap minoritas LGBT. Platform media sosial bertanggung jawab menjaga konten yang menghargai keberagaman berbasis SOGIESC dan membangun komunitas online yang aman.
“Saluran media sosial seharusnya berkomitmen menjaga prinsip anti-diskriminasi,” kata Ika.
Ika juga mendorong media massa untuk menulis berita yang inklusif terhadap kelompok minoritas LGBT, menghormati keberagaman, menggunakan perspektif hak asasi manusia sesuai prinsip Deklarasi Universal HAM, dan berpegangan pada Pedoman Pemberitaan Isu Keberagaman Dewan Pers ini.
Manajer Advokasi SEJUK, Tantowi Anwari mengatakan jurnalis dan media massa seharusnya mempelajari latar belakang peristiwa terkait isu keberagaman dan tidak mempertebal suara-suara yang mengajarkan kebencian. Era disrupsi sangat memengaruhi bisnis media yang tidak selalu sejalan dengan prinsip-prinsip jurnalistik.
Perusahaan media massa semestinya mulai mengakui Hak Asasi Manusia sebagai dasar kebijakan bisnis mereka. “Pendekatan HAM tidak hanya berpikir tetang untung. “Penting bertanggung jawab melalui pemberitaan yang tidak meminggirkan minoritas LGBT yang berujung pada kekerasan dan persekusi,” ujar Thowik.
Baca Juga:
Riset Konde.co bekerja sama dengan USAID & Internews bertema Their Story: Riset Media Memandang Keragaman Gender Dan Seksual Non-normatif “LGBT” (2022) menunjukkan media masih melakukan marginalisasi terhadap komunitas gender dan seksualitas (LGBTIQ) dengan penggunaan diksi yang berkonotasi negatif dan pemilihan narasumber yang terbatas pada otoritas resmi.
AJI Indonesia belum lama ini juga mengamati pemberitaan sejumlah media online cenderung diskriminatif terhadap kelompok LGBT menjelang Pemilihan Umum 2024. Dampak pemberitaan itu berpotensi memperparah persekusi dan kekerasan terhadap LGBT.
Temuan itu muncul dari hasil pemantauan media massa oleh AJI,SEJUK, dan Arus Pelangi. Sepanjang Januari dan Februari 2023, hasil pendataan berita media daring yang menunjukkan sebagian besar tidak berperspektif gender dan tidak melindungi hak minoritas LGBT.(ril)