PKBI Sumut
Senin, 10 April 2023 23:06 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Nila Ertina
Suatu sore, diakhir bulan Maret 2023, aku akhirnya bisa berjumpa kembali dengan Pak Syahri panggilan akrabnya.
“Sekarang jadi, saya di Sekip, saya tunggu,” kata Syahri menjawab pesan yang kukirim.
“Tunggu ya pak, 15 menit aku tiba di sana,” aku membalas pesan melalui aplikasi percakapan tersebut.
Cepat-cepat ku hidupkan motor dan meluncur, ke kantor Yayasan Intan Maharani yang berjarak sekitar 2 kilometer dari posisiku.
Sebenarnya, sudah sejak dua pekan lalu aku ingin menemui Pak Syahri untuk wawancara tetapi selain sibuk melakukan pendampingan kepada komunitas penyintas HIV, membangun kerja sama dengan organisasi perangkat daerah (OPD) yang tidak hanya di Kota Palembang tetapi juga dengan kabupaten atau kota lain di Sumatera Selatan, salah satunya Kabupaten Banyuasin.
Kesibukan mengajar disalah satu universitas swasta di Kota Palembang juga menjadi kegiatan rutin yang masih dijalani Pak Syahri.
“Saya terlibat aktif sebagai penggiat HIV sejak awal tahun 2000-an,” kata Ketua Yayasan Intan Maharani tersebut.
Saat itu menurut dia, banyak sekali yang harus diperbaiki terkait dengan layanan pengobatan bagi penyandang HIV.
Baca Juga:
Obat antiretroviral atau ARV yang langka dan harganya mahal ketika itu mencapai Rp 2 juta menjadi tantangan yang harus dihadapi bagi penggiat HIV untuk memastikann penyandang HIV bisa tetap mengonsumsi obat.
Kala itu, fasilitas kesehatan untuk melayani penyintas HIV pun masih sangat terbatas, belum lagi ditambah masih rendahnya pengetahuan para tenaga kesehatan terkait dengan penanganan virus yang menyerang kekebalan tubuh tersebut.
Syahri bercerita Yayasan Intan Maharani pada awal pendiriannya secara khusus melakukan pendampingan kepada penyintas HIV yang terinfeksi virus karena mereka pengguna narkoba suntik atau yang dikenal dengan penasun.
Orang dengan HIV saat itu, mayoritas merupakan pengguna narkoba suntik.
Aktivitas mereka menggunakan jarus suntik secara bersamaan menjadi penyebab penularan HIV begitu cepatnya, kata Syahri.
Kehadiran Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Palembang pada masa itu, merupakan lembaga yang sangat penting memfasilitasi pelayanan pada penyintas HIV yang jumlahnya terus bertambah signifikan.
Peran KPA sangat optimal, mendorong pelayanan fasilitas kesehatan yang secara berangsur membaik.
Masuknya program Global Fund juga semakin memudahkan pengobatan bagi penyintas HIV dan AIDS.
ARV yang mesti bayar Rp 2 juta per orang untuk jatah sebulan, sejak adanya program dari lembaga donor dunia tersebut, ARV digratiskan.
Seiring waktu, layanan fasilitas kesehatan di rumah sakit dan Puskesmas pun membaik.
Terkait dengan penangganan HIV/AIDS, Konselor HIV Sumatera Selatan, Khairul S Penjalang bercerita aktif menjadi konselor ketika dirinya masih bekerja sebagai tenaga kesehatan di salah satu rumah sakit di Kota Palembang.
“Tahun 2004, sedang booming-nya penularan HIV melalui jarum suntik,” kata dia dibincangi belum lama ini.
Untuk menjadi konselor bersertifikasi ia mengakui wajib mengikuti pelatihan khusus di Jakarta.
Ketika itu, pelatih berasal dari organisasi non pemerintah atau NGO dari luar negeri.
Ia mengungkapkan peserta dilatih untuk menangani kasus HIV yang diderita oleh pengguna narkoba suntik yang biasanya penggunaan narkoba jenis itu secara bergantian jarum suntik.
“Saya waktu itu masih dinas di rumah sakit khusus menangani masalah kejiwaan milik Pemprov Sumsel atau RS Ernaldi Bahar,” kata pria yang kini berkerja di Dinas Pariwisata Pemprov Sumatera Selatan tersebut.
Tidak sedikit, para pecandu narkoba jenis putaw atau heroin ingin sembuh dari ketergantungan narkoba.
“Mereka rajin berkonsultasi dan kami pun aktif melakukan pendampingan,” ujar dia.
Dulu, setiap hari pasti ada pecandu yang melakukan terapi metadon.
Terapi tersebut dilakukan secara intensif termasuk juga pemberian jarum suntik gratis agar pecandu tidak lagi berbagi jarum.
Sama seperti yang diungkapkan Syahri diawal 2005 terjadi peningkatan fasilitas layanan kesehatan untuk penyandang HIV.
Dua puskesmas mulai melayani rujukan untuk voluntary counseling and testing atau layanan konseling dan tes HIV (VCT), yaitu Puskesmas Merdeka dan Puskesmas Dempo.
Begitu juga di RS Ernaldi Bahar telah diaktifkan klinik khusus terapi metadon, klinik tidak hanya memberikan obat tetapi juga melayani konsultasi kejiwaan pasien HIV yang terpapar karena menggunakan narkoba suntik.
Tahun 2008-2009 terjadi lonjakan jumlah pecandu narkoba yang terinfeksi HIV, sebanyak 89 persen merupakan laki-laki dengan rentang usia 18-30 tahun.
Upaya menangani dan menanggulangi penularan HIV juga terus dilakukan, tidak hanya menyasar kelompok pengguna narkoba suntik tetapi juga memperluas jangkauan hingga ke perempuan pekerja seks.
Saat itu, tahun 2006 bersama Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Provinsi Sumatera Selatan serta penggiat HIV, Khairul mengungkapkan mereka secara aktif menyebarkan kondom di lokasi-lokasi berisiko tinggi terkena virus tersebut.
“Kami rutin mendatangi lokalisasi dan panti pijat,” tutur dia bercerita.
Syahri dan Khairul bersama dengan penggiat HIV lainnya dari berbagai organisasi dan lembaga sejak tahun 2022 menginisiasi wadah khusus menyatukan organisasi, komunitas dan media yang sama-sama berkomitmen untuk menangani dan menanggulangan HIV di Sumatera Selatan.
Hasilnya, telah terbentuk Sriwijaya Forum Care atau SFC TB-HIV-Nafza.
Beragam kegiatan pun telah diselenggarakan SFC TB-HIV-Nafza dengan didukung Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Daerah Sumatera Utara bekerja sama dengan Indonesia Aids Coalition sebagai Principal Recipient (PR) dan Organisasi Perubahan Sosial Indonesia / OPSI sebagai Sub Recipient (SR) melalui program Community System Strengthening Human Rights (CSSHR).
Workshop dan diskusi diselenggarakan membahas berbagai masalah yang dihadapi penggiat HIV dan juga bagaimana cara bersinergi dengan pemerintah setempat.
Tak ketinggalan, pada peringatan Hari AIDS sedunia 2022, puluhan anggota Sriwijaya Forum Care TB-HIV-Nafza melakukan aksi seribu lilin, bergandeng tangan dan saling menguatkan .
Akhirnya, pada akhir Desember 2022, Walikota Palembang , Harnojoyo menandatangani Keputusan Walikota Palembang Nomor 427/KPTS/DINKES/2022 Tentang Tim Satuan Tugas Pencegahan, Pengendalian dan Penanggulangan AIDS, Tuberkulosis dan Malaria (Satgas ATM) Kota Palembang.
Dorong Hidupkan Peran KPA
Syahri melanjutkan cerita, sekitar tahun 2010 dirinya menjadi salah seorang tim ahli untuk menerbitkan regulasi penanggulangan HIV dan AIDS.
Berkat kerja sama semua stakeholder ia mengungkapkan ketuk palu Peraturan Daerah (Perda) Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Sumatera Selatan akhirnya terlaksana, diterbitkan.
Pemprov Sumatera Selatan memiliki regulasi yang secara khusus mengatur penanggulangan HIV dan AIDS.
Bahkan beberapa waktu kemudian, juga diterbitkan peraturan gubernur untuk mengimplementasikan penanggulangan HIV dan AIDS secara komprehensif.
Namun, faktanya meskipun telah terbit Perda dan Pergub, program penangganan dan penanggulangan HIV pun tidak berjalan optimal.
Keberadaan Komisi Penanggulangan AIDS atau KPA menjadi satu-satunya wakil Negara yang hadir untuk melakukan penanganan dan penanggulangan HIV /AIDS, tambah dia.
Namun, sayang peran strategis KPA harus berakhir, pascaterbitnya Peraturan Presiden Nomor 124 tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2006 Tentang Komisi Penanggulangan AISD Nasional.
“Bubarnya KPA nasional tentunya berdampak langsung pada KPA di daerah, termasuk Kota Palembang,” kata dia.
Dampaknya, program-program yang telah diselenggarakan sejak tahun 2005 untuk mengefektifkan penanggulangan HIV/AIDS tidak lagi berlangsung optimal.
Namun, di sisi lain peran KPA terpaksa diambil alih oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil tetapi tidak terlibatnya pemerintah membuat penggiat HIV hanya mengantungkan pada kebaikan lembaga donor.
Padahal peran pemerintah sangat krusial dalam penangganan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Terbentuknya Satgas ATM, diharapkan secara bertahap dapat mengantikan peran KPA.
“Sejauh ini, kami terlibat aktif dalam melaksanakan program Satgas ATM,” ujar Syahri.
Sejak disosialisasiknya Satgas ATM, ia menjelaskan telah melakukan sosialisasi penanggulangan HIV di dua kecamatan yaitu Kecamatan Bukit Kecil dan kecamatan Sukarame,
Penyuluhan dilakukan dengan melibatkan pihak pegawai kecamatan dan kelurahan, walaupun di lapangan masih banyak petugas atau pegawai belum mengetahui adanya Satgas ATM.
Adapun peserta yang menjadi sasaran program Satgas ATM tersebut berasal dari masyarakat yang berisiko tinggi terpapar HIV, diantaranya pekerja seks perempuan dan ibu hamil serta ibu rumah tangga.
“Targetnya, Satgas ATM bisa menjadi wadah bersama OMS dan pemerintah serta stakeholder lainnya untuk mengantisipasi penyebaran dan menanggulangi HIV,” kata Syahri.
Edukasi sejak ini, terkait dengan upaya mengantisipasi penularan HIV tentunya menjadi sangat penting di era kekinian di tengah disrupsi informasinya berkembang sangat cepat.
Kekinian, penularan HIV tidak hanya terjadi terhadap kelompok berisiko tinggi saja, tetapi ibu rumah tangga dan anak-anak pun sudah ditemukan positif HIV.
“Urgen sekali menjadikan pencegahan penularan HIV sebagai salah satu isu penting yang menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat,” ujar Dosen Ilmu Politik Universitas Taman Siswa ini.
Stigma masih Melekat
“Saya kecewa, masih ada oknum Nakes di Puskesmas yang menstigma orang yang terinfeksi HIV,” kata Leo salah seorang penggiat HIV di Palembang.
Belum lama ini, Leo mengungkapkan seorang kelompok dampingan menyampaikan kalau dirinya menangis saat tahu hasil VCT menunjukan positif HIV.
Bukannya bersimpati tetapi seorang Nakes di salah satu Puskesmas Palembang justru menyampaikan kata-kata yang tidak pantas terhadap penyintas HIV, dikaitkan dengan pekerjaannya sebagai pekerja seks perempuan.
“Masalah serupa seharusnya, tidak adalagi karena mereka sudah dibekali ilmu dan pengetahuan luas terkait penularan serta pengobatan HIV,” ujar Leo belum lama ini.
Hal senada diungkapkan Khairul, masih ditemukan oknum aparat yang mengungkapkan status penyintas secara gamblang, seperti terjadi belum lama ini yang berhubungan dengan kasus kekerasan di panti asuhan Palembang.
Semestinya, tidak perlu diungkapkan status pelaku sebagai penyandang HIV meskipun di sisi lain anak-anak panti asuhan tersebut tidak satu pun tertular virus tersebut.
Sebagai konselor HIV, ia mengatakan sudah berulangkali menyampaikan kepada masyarakat dan kelompok rentan penularan HIV hanya bisa terjadi karena adanya hubungan seks tanpa pengaman alias menggunakan kondom.
Lalu, penularan HIV bisa terjadi karena penggunaan jarum suntik yang tidak steril atau digunakan secara bersama-sama dan pemberian air susu ibu dari perempuan yang terinfeksi virus tersebut.
“Jadi penularan HIV hanya bisa terjadi, pada tiga cairan yaitu sperma, darah dan ASI,” tegas Khairul.
Dengan demikian, tidak betul kalau penyintas HIV harus dijauhi atau distigma bahkan sampai terjadi diskriminasi.
Apalagi, selagi mereka rutin mengonsumsi ARV biasanya virus yang bersarang dalam tubuhnya secara bertahap akan berkurang bahkan hilang.
Stigma dan diskriminasi terjadi karena memang masih belum optimalnya sosialisasi program penanganan dan penanggulangan HIV.
Sebab itu, penting sekali mengoptimalkan sinergi OMS dan pemerintah daerah untuk memastikan hak asasi manusia orang dengan HIV juga sama dengan masyarakat lainnya alias setara.
Dampak dari masih tingginya stigma terhadap penyintas HIV, Advokasi Officer Program Community System Strengthening Human Rights (CSSHR) Palembang Sari Palupi menuturkan pada dua kali pertemuan Satgas ATM di dua kelurahan masih mengangkat isu stunting.
“Sungguh disayangkan, tapi itulah strategi kami agar tetap bisa menyosialisasikan cara penanganan dan penanggulangan HIV meskipun belum langsung ke isu utama,” kata Sari belum lama ini.
Faskes mendukung tapi tarif naik
“Tidak bisa dipungkiri Universal Health Coverage di Kota Palembang sudah sangat baik,” kata Sari Palupi.
“Mayoritas Nakes juga sudah sangat memahami bagaimana melayani orang dengan HIV, meskipun masih ada saja oknum,” kata dia lagi.
Ia bercerita bagaimana kini hampir setiap Puskesmas dan rumah sakit memiliki layanan VCT, yang tentunya memudahkan populasi kunci untuk memeriksakan diri secara berkala.
Begitu juga penyintas HIV, bisa memilih Faskes terdekat dari kediamannya atau sesuai dengan lokasi yang diinginkannya untuk menjalani pengobatan.
Namun, sejak 1 Maret 2023 telah berlaku kenaikan tarif pascaterbitnya Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Tarif Layanan Kesehatan pada Badan Layanan Umum Daerah Pusat Kesehatan masyarakat Palembang.
Setiap Puskesmas yang telah berstatus Badan Layanan Umum Daerah atau BLUD menerapkan tarif baru kepada pasien, termasuk populasi kunci dan penyintas HIV.
Leo kembali menuturkan kalau kini tarif pendaftaran di Puskesmas BLUD mencapai Rp 10 ribu per pasien, padahal sebelumnya hanya Rp 4 ribu per orang.
Pun begitu dengan layanan VCT yang selama ini gratis kini sudah mesti membayar.
Perwali tersebut menetapkan tarif pelayan VCT/HIV diantara pemeriksaan fisik Rp 20 ribu. Sedangkan pemeriksaan laboratorium juga tergolong mahal yaitu dibenderol Rp 150 ribu untuk anti HIV (Ravid) dan TPHA Imunologi Rp 90 ribu serta TPHA Imunologi ( 3 bahan) Rp 550 ribu per orang.
Leo mengungkapkan naiknya tarif layanan di Puskesmas tersebut, tentunya sangat memberatkan karena mayoritas kelompok dampingan merupakan masyarakat berpenghasilan rendah.
Bahkan kerap kali kesulitan untuk datang ke Faskes karena tidak punya biaya transportasi, sedangkan untuk mendapatkan BPJS Kesehatan mereka terkendala kepemilikan kartu identitas.
“Kebijakan pemerintah untuk memudahkan pelayanan bagi penyintas dan populasi kunci sangat kami harapkan,” kata dia.
Menanggapi kenaikan tarif layanan di Puskesmas, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Palembang, Yudhi Setiawan mengakui kalau mayoritas dari 42 Puskesmas di Kota Palembang kini berstatus BLUD.
Dengan status tersebut, Puskesmas memiliki kewenangan untuk mengembangkan layanan kesehatan termasuk mencari dana, salah satunya dengan menerapkan tarif bagi pasien non BPJS Kesehatan sesuai kepantasan yang ditentukan, kata dia.
Sejauh ini, dari 42 puskesmas di Kota Palembang tinggal tiga Puskesmas yang belum melayani VCT yaitu Puskesmas Talang Jambe, Punti Kayu dan Keramasan.
Ketiga Puskesmas tersebut memang tergolong baru beroperasi dibandingkan 39 unit Puskesmas lainnya, namun tahun ini ditargetkan siap melayani VCT.
Yudhi menjelaskan bagi pasien HIV atau populasi kunci yang melakukan pemeriksaan di Puskesmas tentunya akan diberi kemudahan dan gratis.
Upaya penanganan dan penanggulangan HIV tersebut tentunya perlu dukungan oleh stakeholder lainnya, karena itu ia memastikan akan menjelaskan kepada pengelola di Puskesmas untuk tetap memberikan layanan kepada penyintas sesuai dengan ketentuan sebelum Perwali diterbitkan, ujar dia.
Kekinian, laporan data capaian standar pelayanan minimal (SPM) orang berisiko HIV Kota Palembang tahun 2022 dari target sebanyak 38.542 orang namun terealisasi lebih tinggi yaitu mencapai 45.934 orang atau 119%.
Dengan risiko terinfeksi HIV tertinggi adalah ibu hamil yaitu mencapai 34.415 orang.
Sedangkan capaian SPM orang berisiko terinfeksi HIV hingga akhir Februari 2023 sebanyak 7.474 orang.
Menurut dia, data mengungkapkan berdasarkan populasi pasien menderita penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan Lelaki Seks Lelaki (LSL) paling tinggi yaitu mencapai 44 persen, lalu transgender 28 persen dan pengguna jarum suntik 27 persen, lalu ada wanita pekerja seks dan pasien tuberkolusis 22 persen serta ibu hamil 18 persen dan terakhir adalah warga binaan permasyarakatan 5 persen.
Tercatat juga dalam data base, tambah Yudhi orang dengan HIV yang rutin mengonsumsi ARV sebanyak 1.720 orang.
“Kami juga masih menemukan kasus baru selama Januari dan Februari 2023 sebanyak 27 HIV dan enam pasien AIDS,” ujar Yudhi.
Melihat kondisi terkini, tentunya penting sekali sinergi program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, untuk menangani dan menanggulangi HIV di kota pempek secara bersama-sama.
Eksistensi Satgam ATM menjadi harapan baru bagi penanganan dan penanggulangan HIV di daerah tersebut, sehingga sudah sewajarnya program berjalan optimal dan pelayanan kepada penyintas tidak hanya pemeriksaan atau pengobatan.
Kolaborasi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil juga diharapkan berdampak luas sampai memberikan dukungan kepada penyintas untuk memberikan bantuan kebutuhan dasar pangan terhadap kelompok yang tidak mampu.
Hak dasar lainnya, seperti kebutuhan identitas sebagai warga Kota Palembang, seperti KTP dan BPJS Kesehatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga sangat penting untuk direalisasikan.
Karena sesungguhnya hak dasar warga Negara Indonesia, harus dipenuhi tanpa stigma apalagi diskriminasi sehingga terwujudnya kesetaraan.(Nila Ertina)