"Palelintangan", Ilmu Horoskop Bali yang Paparkan Cara Meramal Kelahiran Manusia

Rabu, 16 Juni 2021 07:03 WIB

Penulis:E. Ariana

Lintang.jpg
Seminar palelintangan di Museum Bali, Selasa (15/6/2021)

Denpasar, Balinesia.id - Ahli wariga, I Made Suatjana, mengatakan bahwa ilmu palelintangan (astrologi atau horoskop) Bali merupakan salah satu ilmu yang penting dalam bangunan kebudayaan Bali yang kompleks. Ilmu palelintangan dapat dimanfaatkan manusia dalam mengungkap ramalan-ramalan dari kelahiran seseorang.

Hal tersebut dinyatakan penyusun kalender Bali ini ketika menjadi narasumber di Seminar Palelintangan yang digelar UPTD Museum Bali di Denpasar, Selasa (15/6/2021). Seminar tersebut digelar sebagai salah satu upaya mengungkap koleksi-koleksi palelintangan di Museum Bali dan diinformasikan kepada masyarakat.

Ia menjelaskan, dalam praktiknya untuk meramal kelahiran manusia, ilmu palelintangan Bali menerapkan konsep wewaran (konsep hari-hari). "Ramalan kelahiran manusia mengikuti sistem wewaran, yakni Panca Wara dan Sapta Wara, dengan membedakan nasib manusia menjadi 35 tipe, hal ini terjadi karena pengaruh 35 rasi bintang," katanya.

Sementara itu, menyinggung koleksi palelintangan di Museum Bali, ia menjelaskan bahwa di museum tersebut ada delapan buah koleksi. Koleksi-koleksi yang terbuat dari kain blacu ini berisi lukisan dewa-dewa, wayang, kayu, dan burung. "Koleksi tertua tercatat tanggal 17 Juli 1933 atau setahun setelah Museum Bali diresmikan. Ada juga yang koleksi tahun 1940, 1945, dan 1986," katanya.

Ia menjelaskan, saat ini kondisi koleksi tersebut masih tersimpan rapi, namun masih minim penjelasan dari setiap koleksi. "Saya melihat palelintangan ini lebih banyak sebagai hiasan, bukan sebagai simbol informasi. Contohnya, untuk hari Rabu, dewanya Dewa Wisnu, dalam lukisan dewa-dewanya tidak berisi simbol senjata cakra dan maupun tidak berisi warna spesifik yang membedakan dewa satu dengan yang lainnya," ucapnya.

Sementara itu, narasumber lainnya, Ida Bagus Budayoga, mengatakan bahwa sifat manusia sangat dipengaruhi oleh kelahirannya. Sifat-sifat baik-buruk itu pun bisa saling mempengaruhi. Jika ada kelahiran yang sifatnya panas, dapat dilakukan untuk menetralisirnya dengan mabayuh atau ruwatan. "Namun, upacaranya tentu harus dilakukan oleh orang yang tepat dengan banten (serana upakara, red) yang tepat," katanya dalam kegiatan yang juga menghadirkan ahli wariga, Gede Marayana.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Prof I Gede Arya Sugiartha, berharap kegiatan tersebut dapat memberikan gambaran museum sebagai ruang belajar. Hal ini penting dilakukan, sebab selama ini, museum cenderung hanya dilihat sebagai tempat penyimpanan barang kuno.

"Harus mulai diubah cara berpikir kita melihat museum. Dulu seolah-olah museum itu sebagai tempat yang kuno, masa lampau dan tidak ada fungsinya," katanya.

Menurut mantan Rektor ISI Denpasar ini, museum adalah salah satu tempat literasi peradaban. Oleh karenanya, ia dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar dan tempat belajar, sekaligus sebagai tempat bersemayamnya sastra kearifan lokal dan nilai-nilai tradisi yang adiluhung. "Peradaban dari zaman ke zaman tersimpan di museum. Melalui kajian dan seminar ini, kami mencarikan jalan agar koleksi bisa dicerna dengan cara kekinian dan diserap dengan mudah, terutama oleh generasi muda," jelasnya didampingi Kepala UPTD Museum Bali, Gusti Agung Ayu Cipta Dewi. jpd