Peningkatan Suhu jadi Pemicu Anak-anak Rentan Terjangkit DBD di Palembang

Selasa, 11 Juli 2023 14:19 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Susilawati

Anak-anak sedang bermain di kawasan permukiman RT 26 Kelurahan 35 Ilir Palembang yang sempat ramai diberitakan karena ada belasan kasus anak terserang demam berdarah
Anak-anak sedang bermain di kawasan permukiman RT 26 Kelurahan 35 Ilir Palembang yang sempat ramai diberitakan karena ada belasan kasus anak terserang demam berdarah (WongKito/Nila Ertina FM)

Perubahan iklim sangat berpotensi meningkatkan risiko serangan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Epidemiolog Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr. Iche Liberty mengungkapkan peningkatan suhu, curah hujan yang tidak teratur, dan pola cuaca ekstrem dapat mempengaruhi keberadaan vektor Aedes aegypti yang menyebarkan virus dengue penyebab demam berdarah.

PALEMBANG, WongKito.co -  Sabtu (17/06/2023) siang, saat matahari tepat di atas kepala, di rumahnya yang sangat sederhana di kawasan padat permukiman, Kelurahan 35 Ilir, Kota Palembang, Intan (33) bercerita bagaimana anak bungsunya meninggal, dan dinyatakan akibat Demam Berdarah Dengue (DBD).

“Aku menyesal karena saat datang untuk kedua kalinya ke puskesmas tidak memeriksakan darah anakku," kenang Intan, sembari melipat pakaian.

Awalnya, Clara, bocah perempuan berusia 3,9 tahun tersebut terkena batuk pilek. Hingga Rabu (10/05/2023), Intan memutuskan untuk membawa anaknya ke salah satu puskesmas. Sebelumnya Intan sempat memberikan obat penurun panas yang dibelinya dari apotek.

Intan (33) (Foto WongKito.co/Nila Ertina FM)

Saat di puskesmas, Clara sempat diperiksa petugas dan diberi obat batuk, obat mencret, vitamin serta penurun panas.

"Anakku saat itu juga mencret dan muntah setelah dua hari mengalami batuk pilek," kata Intan dengan suara yang mulai tertahan.

Berselang tiga hari setelah berobat dari puskesmas, persisnya Sabtu (13/05/2023) siang hingga Senin (15/05/2023), Clara mengalami panas tinggi. Kondisi ini membuat Intan kembali panik dan memutuskan membawa anaknya ke puskesmas.

Namun saat diperiksa petugas, suhu tubuh Clara dinyatakan normal, 37 derajat Celcius. Meskipun sudah diobati, kondisi Clara tak kunjung membaik, sebaliknya bocah periang  tersebut hanya diam, tampak lesu serta lemas.

Hal yang tak terduga terjadi keesokan harinya, Rabu (17/05/2023) sore, Clara kembali mengalami panas tinggi hingga kejang-kejang. Dibantu Ketua RT setempat, Intan langsung membawa Clara ke klinik.

Hitungan jam, Clara langsung dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS AK Gani. Sempat mengalami kejang-kejang selama 2 jam, sekitar pukul 20.00 waktu setempat, Clara hanya tinggal nama. Ia dinyatakan meninggal.  

“Setelah anak saya meninggal, saya baru tahu kalau hasil pemeriksaan laboratorium menunjukan Clara terjangkit DBD,” kenang Intan.

Kasus-kasus DBD kemungkinan akan meningkat seiring dengan semakin panasnya suhu bumi dan seringnya hujan dengan intensitas tinggi. Kondisi seperti itu cukup mempengaruhi kehidupan reproduksi vektor Aedes aegypti yang menyebarkan virus dengue penyebab demam berdarah,

Penderita anak mendominasi kasus DBD

Kementerian Kesehatan RI, per 4 Juli 2023 merilis di Indonesia ada 42.690 DBD, dengan total kematian mencapai 317 kasus, di mana 63 persen kasus kematian terjadi pada anak-anak usia 0-14 tahun.

Dinas Kesehatan Kota Palembang mencatat terjadi perubahan siklus temuan penderita DBD di Kota Palembang. Kurun Januari 2023 hingga Mei 2023, ada 343 kasus DBD ditemukan di Kota Pempek.

Sekitar 80 persen di antara penderita DBD adalah anak-anak dengan usia 0 sampai 18 tahun, dengan kasus kematian mencapai delapan anak. Jumlah tersebut, menurut Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Palembang Yudhi Setiawan, masih tergolong tinggi, karena di atas dua persen.

“Ini dipengaruhi karena terjadi pergeseran waktu, sebelumnya kasus DBD banyak terjadi pada bulan November hingga Maret, kini bahkan Juni pun masih ditemukan kasus demam berdarah menyerang anak-anak,” kata dia.

Selama 10 tahun terakhir, jumlah kasus DBD di Kota Palembang mengalami fluktuatif. Total kasus DBD mencapai 6.527, dengan incident rate (IR) berkisar 40/100.000 penduduk dan kematian atau CFR rata-rata satu persen.

“Memang tidak terjadi lonjakan yang drastis tetapi kini terjadi perubahan atau bergeser dari waktu sebelumnya. Umumnya, masa berkembangbiaknya nyamuk penyebab Aedes aegypti pada akhir dan awal tahun saat musim hujan, tapi akhir-akhir ini bergeser,” kata Yudhi Setiawan.

(Canva/Nila Ertina FM)

Secara klinis gejala demam berdarah sering terlambat diketahui, jika tidak segera dilakukan pemeriksaan sampel darah. Dikutip dari artikel "Manifestasi klinis dan penanganan demam berdarah dengue grade" yang ditulis Desak Putu Rendang Indriyani dan I Wayan Gustawan (Intisari sains medis 2020), ada empat fase gejala klinis demam berdarah.

Fase pertama diawali dengan demam tinggi yang berlangsung selama 2-7 hari. Biasanya dikenal dengan Siklus Pelana Kuda, di mana penderita mengalami fase demam tinggi, fase kritis (demam turun), dan fase penyembuhan (demam naik lagi).

Kemudian di fase kedua terjadi perdarahan mikro ditandai dengan bercak atau memar kehitaman pada bagian tubuh, binti-bintik merah dan peradangan pembuluh darah kecil di kulit. Hidung berdarah, perdarahan pada mukosa, perdarahan pada gusi, muntah dan feses berwarna kehitaman.

Memasuki fase ketiga, organ hati juga mengalami pembesaran.  Sedangkan fase keempat, nadi cepat (takikardia), perfusi jaringan buruk (penurunan suplai nutrisi dan oksigen) ditambah dengan nadi lemah, penurunan tekanan nadi (< 20 mmHg), hipotensi dengan akral dingin dan atau tampak gelisah.

(Canva/Nila Ertina FM)

Direktur Medik dan Pelayanan RS Siloam Sriwijaya Palembang, dr Anton Suwindro mengatakan secara umum gejala demam berdarah pada bayi dan balita adalah batuk, pilek, timbulnya ruam merah kecil, suhu tubuh naik mendadak dan demam tinggi serta muntah.

Sedangkan tanda demam berdarah pada anak usia remaja yaitu terlihat lemah, lesu dan letih, terasa nyeri persendian, demam tinggi bisa lebih dari 40 derajat Celcius, sakit kepala, gampang memar, mimisan, muntah dan keluar bintik merah, kata dia dihubungi, Minggu (9/7/2023).

Anton menjelaskan selama penanganan medis dilakukan dengan cepat maka anak-anak yang terjangkit demam berdarah akan segera pulih.

Namun, jika penanganan dilakukan saat kondisi pasien sudah sangat lemah, gelisah, dan pasokan nutrisi dan oksigen menurun dengan nadi lemah dan tekanan nadi juga menurun, situasi ini masuk dengue shock syndrome (DSS) yang menyebabkan pasien meninggal, ujar dia.

Tren kenaikan suhu di Palembang 0,3 derajat Celcius

Ahli Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi (Staklim) Sumatera Selatan, Raga Ramanda, S. PMG menjelaskan, selama 30 tahun terakhir kurun tahun 1981-2021, ada tren peningkatan suhu di Kota Palembang. Tren peningkatan suhu bergeser 0,3 derajat Celcius baik secara anomali dengan suhu rata-rata minimum 0,4 derajat Celcius dan maksimal 0,2 derajat Celcius.

Sumber: BMKG Klimatologi Sumatera Selatan

“Saat ini, perubahan cuaca sangat terasa dimana suhu lebih panas, hujan berkurang, musim kemarau lebih panjang dan intensitas hujan lebat meningkat,” ujarnya.

Awal musim kemarau juga terjadi pergeseran, biasanya pertengahan atau akhir Juni, lebih awal menjadi akhir Mei atau awal Juni sehingga kemarau lebih panjang. Musim hujan juga cenderung lebih cepat, dan sebaliknya lebih pendek karena musim kemarau cenderung lebih lama.

Raga menambahkan hujan pun mengalami perubahan yang signifikan, di mana hujan di bawah 1 milimeter kini menurun tetapi di atas 20 mm frekuensinya cenderung naik. Begitu juga dengan 50-100 mm meningkat lebih tajam sehingga kerap kali terjadi hujan lebat.

“Situasi tersebut menunjukan betapa pergeseran cuaca menjadi paling nyata dampak dari perubahan iklim akibat pemanasan global,” kata Raga.

Perubahan cuaca berkontribusi terhadap peningkatan vektor DBD

Risiko terserang demam berdarah makin tinggi karena pengaruh perubahan iklim yang ditandai suhu makin panas dan hujan makin sering dengan curah hujan yang tinggi. Epidemiolog Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr. Iche Liberty mengungkapkan kondisi cuaca sangat erat hubungannya dengan peningkatan vektor DBD. Pasalnya, curah hujan yang tinggi dan periode hujan yang panjang dapat menciptakan genangan air yang ideal bagi nyamuk Aedes aegypti untuk bertelur dan berkembang biak.

Selain cuaca, suhu hangat juga dapat mempercepat siklus hidup nyamuk sehingga memungkinkan nyamuk berkembang biak lebih cepat.

"Suhu yang tinggi juga dapat meningkatkan aktivitas nyamuk dan memperpendek waktu yang diperlukan untuk virus berkembang di dalam tubuh nyamuk," ujar dia.

(Canva/Nila Ertina FM)

Iche mengutip hasil penelitian tentang kelembapan udara juga menyatakan kelembapan yang tinggi berperan dalam perkembangan nyamuk Aedes aegypti. Kelembapan yang tinggi menciptakan kondisi yang lebih menguntungkan bagi nyamuk dalam hal kelangsungan hidup dan reproduksi.

“Masa inkubasi virus dalam tubuh nyamuk, iklim tropis dengan suhu yang hangat semakin mempercepat menginfeksi manusia secara bersamaan dalam waktu sangat singkat. Seekor nyamuk Aedes aegypti dapat menyebarkan virus dengue kepada semua anggota keluarga saat hidup dengan waktu yang tentunya juga singkat,” paparnya.

Edukasi dampak perubahan iklim

Akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya (Unsri) Najmah Ph.D menjelaskan edukasi pentingnya mewaspadai dampak perubahan iklim menjadi isu krusial  yang harus disampaikan secara berkelanjutan.

Perubahan iklim yang tidak bisa dihindari membuat masyarakat pun harus bisa beradaptasi dengan kondisi alam yang terus menerus mengalami pergantian musim.

Menurutnya, anak-anak paling rawan terpapar DBD karena biasanya satu orang terjangkit, maka akan menularkan ke anak lain.

Ia mencontohkan misalnya di sekolah ada anak yang digigit nyamuk Aedes Aegypti, anak-anak lain pun dipastikan juga akan terjangkit DBD, tetapi untuk tingkat kesakitannya akan bergantung dengan kekebalan tubuhnya.

Mengubah cara pikir, untuk hidup sehat dengan menjaga kebersihan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Sehingga dapat mendorong masyarakat bahu membahu memerangi faktor pencetus penyakit. Misalnya dengan membersihkan sarang nyamuk Aedes aegypti tanpa memaksakan keterlibatan langsung dari pemerintah.

(Foto/Nila Ertina FM

Di sisi lain, ada kabar yang menggembirakan, tambah Najmah, saat ini sudah diciptakan nyamuk untuk menjadi lawan nyamuk penyebab demam berdarah. Melalui bioteknologi modern atau rekayasa genetika, kultur jaringan, DNA rekombinan, pengembangbiakan sel induk dan kloning telah diciptakan nyamuk untuk memangsa nyamuk penyebab DBD.

“Nama nyamuknya adalah Wolbachia telah dilepas di seluruh Yogyakarta sejak akhir 2020, diciptakan, peneliti kesehatan masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang dipimpin  Prof Utarini,” kata Najmah.

Tentunya, temuan nyamuk pemangsa vektor demam berdarah tersebut menjadi kabar gembira dalam upaya melakukan penanganan nyamuk Aedes aegypti di tengah terus memburuknya dampak perubahan iklim, termasuk yang memicu perkembangbiakan nyamuk.

Sementara itu, masih tingginya angka DBD khususnya pada penderita anak, dikatakan pengamat lingkungan sekaligus Direktur Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, Yuliusman karena permasalahan lingkungan di Kota Palembang belum menjadi perhatian serius pemkot setempat.

"Program gotong royong masih sekedar gimmick," katanya.

“Buktinya hingga kini gotong royong yang dimaksud belum menyasar hingga ke level mikro, termasuk harusnya memastikan tidak ada genangan air di permukiman sebagai tempat berkembang biaknya vektor demam berdarah," tambahnya.

Masih tingginya kasus DBD, di antaranya akibat masifnya tutupan lahan rawa, kini resapan air pun sangat minim, drainase pun kerap kali tidak berfungsi sehingga menyebabkan genangan air yang kemudian menjadi tempat berkembangbiaknya jentik nyamuk.

Krisis iklim dan kesehatan masyarakat sangat erat kaitannya. Karena itu keterlibatan pemerintah dalam mengantisipasi timbulnya penyakit, penanganan penyakit maupun bahaya lain dari dampak pemanasan global menjadi penting masuk dalam program strategis pemerintah.

Termasuk bagaimana pemerintah bertanggung jawab memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat, mulai dari kecukupan gizi anak hingga lingkungan yang sehat, bukan hanya sekedar memberikan pengobatan pada pasien yang sakit.(Nila Ertina FM)