PLTU Batu Bara Kontra Produktif Agenda Transisi Energi

Selasa, 22 April 2025 17:54 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

IMG-20250422-WA0036.jpg
Spanduk besar bertuliskan ‘Batu Bara Menenggelamkan Sumatera’ dibentangkan di Benteng Kuto Besak Kota Palembang dalam aksi damai yang digagas STuEB, Selasa (22/04/2025). (ist/STuEB)

PALEMBANG, WongKito.co - Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB), Ali Akbar menyatakan, hingga saat ini belum ada pergerakan yang signifikan dari negara untuk menjalankan agenda transisi energi. Yang muncul justru co-firing, gasifikasi batu bara dan biomas, yang semuanya melanggengkan batu bara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik di Pulau Sumatera.

“Tujuh tahun terakhir STuEB berupaya menekan laju penggunaan energi fosil di Pulau Sumatera dan mempromosikan contoh baik dari transisi energi. Kami mengawasi dan melawan kebijakan yang merusak lingkungan seperti proyek PLTU batu bara,” ungkap Ali Palembang, Senin (21/04/2025).

Berdasarkan hasil pemantauan terhadap sembilan PLTU batu bara di Sumatera dua tahun terakhir, ditemukan 47 pelanggaran pengelolaan lingkungan hidup. Dari total temuan itu, 12 diantaranya telah dilaporkan ke penegak hukum di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) RI. Namun, hal ini belum cukup guna mempercepat penghentian aktivitas PLTU batu bara di Sumatera.

“Pemerintah saat ini masih mendukung proyek-proyek batu bara dan hilirisasinya yang merupakan kebijakan kontra produktif dengan agenda transisi energi,” ulas Ketua Kanopi Hijau Indonesia ini.

Dalam kesempatan yang sama, Wilton Amos Panggabean dari YLBHI-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekan Baru meyakinkan, Riau tanpa PLTU batu bara merupakan langkah tepat mengatasi krisis iklim, karena keberadaan PLTU Tenayan Raya justru menambah derita bagi masyarakat Riau khususnya nelayan di Okura yang tidak lagi bisa mengkonsumsi air dari Sungai Siak. 

Begitu juga di Jambi, Hardi Yuda dari Lembaga Tiga Beradik Jambi menyebut, Candi Muaro Jambi sebagai situs cagar budaya nasional terluas di Asia Tenggara terancam rusak akibat dikepung stockpile batu bara.

Sumaindra dari LBH Lampung menambahkan, penyediaan energi oleh negara yang dihasilkan melalui energi fosil akan terus menimbulkan persoalan, dan setiap persoalan yang terjadi selalu rakyat yang terus menjadi korban. Karena itu menurutnya, penting mendorong dan memastikan negara untuk melakukan transisi energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan sebagai upaya pemenuhan energi yang pastisipatif dan berpihak kepada masyarakat.

Direktur LBH Padang, Diki Rafiqi turut menegaskan, negara telah gagal memenuhi kewajiban menjamin hak asasi warganya. LBH Padang sudah menggugat negara ke PTUN Jakarta Timur terkait sanksi administrasi terhadap PLTU Ombilin sejak 2018. KLHK memenuhi itu, tapi tidak melakukan langkah nyata berupa pembekuan atau pencabutan izin lingkungan terhadap PLTU Ombilin.

“Kami mempertanyakan, sanksi itu serius atau tidak, mengingat angka penderita ISPA di Sawah Lunto menjadi yang tertinggi. Transisi energi diharapkan cepat agar disudahi penderitaan masyarakat membeli obat,” tukasnya.

Perempuan Paling Terdampak

Direktur Eksekutif Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara, Sumiati Surbakti mengatakan, batu bara itu sangat bermasalah dari hulu ke hilir, tapi terus saja dipertahankan. Menurutnya, rakyat sudah banyak yang menjadi korban baik dari hulu ketika batu bara diambil dari perut bumi hingga ketika batu bara digunakan.

“Yang menerima dampak terbesarnya justru perempuan. Mereka mendapatkan beban berlipat ganda. Ketika para suami sebagai nelayan tradisional di Pangkalan Susu sudah sulit mencari ikan, perempuan di sana akhirnya ikut bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Belum lagi air bersih sudah tercemar, harus membeli obat pula untuk penyakit kulit,” ungkapnya dibincangi WongKito.co, Senin.

Sahwan dari Yayasan Anak Padi mengatakan, bentang alam di sekitar Bukit Serelo kini berubah menjadi lubang tambang yang besar. Bukan itu saja, saat musim hujan terancam banjir karena menyempit atau mendangkalnya sungai akibat aktivitas pertambangan. Angkutan batu bara yang hilir mudik juga menyebabkan polusi udara yang mengganggu kesehatan. Petani mengaku penghasilannya menurun sejak PLTU ini beroperasi.

Boni dari Perwakilan Perkumpulan Sumsel Bersih mengatakan, pembangunan PLTU dan tambang baru akan berbanding lurus dengan hilangnya lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber perekonomian masyarakat. Karena itu, pentingnya stop dan evaluasi PLTU batu bara, dan saatnya percepatan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.

“Bauran energi Provinsi Sumsel sebesar 24,14% telah melebihi target baur energi nasional, dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang terpasang saat ini sebesar 989,12 MW. Maka, seharusnya Sumsel dalam mewujudkan transisi energi harus berani mengajukan pengurangan PLTU batubara sebesar pembangkit EBT yang telah terpasang," imbuh Boni.

Arlan dari Perwakilan Koalisi Aksi Penyelamat Lingkungan (KAPL) meminta kepada Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru untuk menginisiasi percepatan pemensiunan PLTU batu bara di Pulau Sumatera, melalui langkah koordinasi dan konsolidasi dengan para gubernur di se-Sumatera. Selain itu ia juga mendesak Presiden Prabowo mewujudkan proses pemulihan lingkungan maupun korban dan mempercepat transisi energi. 

Sumatera Menolak Punah

Dalam rangka Hari Bumi 2025, spanduk besar bertuliskan ‘Batu Bara Menenggelamkan Sumatera’ dibentangkan di Bundaran Air Mancur Kota Palembang dalam aksi damai yang digagas STuEB, Selasa (22/04/2025). 

Setelahnya, spanduk dibawa massa aksi ke pusat keramaian lainnya yaitu Benteng Kuto Besak dan kembali dibentangkan bersamaan dengan lewatnya tongkang batu bara di Sungai Musi. Aksi ini mengingatkan, salah satu ancaman terbesar keberlanjutan hidup adalah sumber energi listrik di Sumatera yang didominasi oleh PLTU batu bara. (yulia savitri)