pailit
Senin, 23 Desember 2024 15:09 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Nila Ertina
JAKARTA, WongKito.co - Gagasan Presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan maaf saat koruptor mengembalikan uang negara yang dicuri, dinilai bentuk kesesatan cara berpikir dalam memberantas korupsi.
Pendiri Indonesian Climate Justice Literacy Firdaus Cahyadi, dalam siaran per, Senin (23/12/2024) mengatakan rencana pemberian maaf terhadap koruptor bukan hanya memberikan pertanda ketidakseriusan pemerintah memberantas korupsi, namun juga akan makin membuka lebar peluang korupsi di sektor sumber daya alam (SDA).
Ketika berkunjung ke Universitas Al-Azhar Mesir beberapa waktu yang lalu, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa pemerintah akan memberikan maaf kepada koruptor bila mereka mengembalikan uang yang pernah dicurinya. Pengembaliannya pun bisa dilakukan secara diam-diam.
Menurut Firdaus Cahyadi, Prabowo terlalu sempit dalam melihat korupsi.
"Kerugian dari tindakan korupsi tidak sekedar hilangnya uang negara," tegasnya.
Baca Juga:
Ia mencontohkan korupsi di sektor SDA misalnya, kerugiannya juga berupa kerusakan alam dan meningkatkan konflik sosial. Jika kemudian koruptor di sektor SDA dimaafkan hanya karena telah mengembalikan uang, lantas bagaimana dengan kerusakan alam dan konflik sosial yang ditinggalkannya?
Menurut di, rencana memberikan maaf kepada koruptor semakin memperkuat bahwa arah pembangunan di era Prabowo Subianto didasarkan pada ekonomi ekstraktif, yang berpotensi merusak alam dan menimbulkan banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
"Pemberian maaf kepada koruptor adalah insentif bagi pembangunan berbasis ekonomi ekstraktif yang merusak alam itu," ujarnya, “Kerentanan pembangunan berbasiskan ekonomi ekstraktif dari sisi ekologi dan sosial membuat para elite politik dan ekonomi menggunakan cara-cara ilegal untuk menabrak atau bahkan mengubah aturan yang ada.
Pembangunan berbasis ekonomi ekstraktif itu, lanjut Firdaus Cahyadi, disamarkan dengan menggunakan jargon nasionalisme sempit, seperti swasembada pangan, energi dan melanjutkan hilirisasi mineral kritis seperti nikel.
"Swasembada pangan yang implementasi di lapangannya adalah proyek food estate, sangat berpotensi menghancurkan tata ruang akan berdampak buruk bagi lingkungan hidup," ujarnya.
"Begitu pula proyek swasembada energi berbasiskan biofuel, panas bumi dan batu bara," katanya.
Terkait swasembada energi misalnya, penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan potensi konflik kepentingan antara pebisnis energi dengan elite politik yang sedang berkuasa. Pada 2024, ICW merilis laporan yang berjudul, “Siapa yang akan Diuntungkan? Bisnis Ekstraktif dan Energi Terbarukan di Balik Prabowo-Gibran”.
Laporan itu mengungkapkan, pemain di bisnis energi terbarukan skala besar saat ini adalah pebisnis yang sebelumnya bergerak di sektor ekstraktif dan mereka juga dekat dengan kekuasaan.
"Dari laporan ICW, kita dapat secara jelas melihat potensi korupsi sangat terbuka lebar di program swasembada energi," jelasnya.
Baca Juga:
Rencana pemberian maaf kepada koruptor akan semakin memperlebar potensi korupsi di program swasembada energi.
Terkait dengan itulah, menurut Firdaus Cahyadi, publik haru mulai bersuara. “Publik, yang uang pajaknya digunakan membayar gaji beserta tunjangan para elite politik, termasuk gaji dan tunjangan Presiden Prabowo Subianto sendiri, harus mulai berani mengatakan tidak pada gagasan memberikan maaf kepada koruptor,” tegas dia.
Publik harus mulai mengingatkan para elite politik bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan politik tertinggi. Seorang presiden hanyalah pelayan yang dibayar dengan uang pajak rakyat sehingga tidak selayaknya kebijakannya justru merugikan kepentingan rakyat.(*)