Kamis, 29 Juli 2021 17:06 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA, WongKito.co – Kekinian pemerintah menglaim sedang menyiapkan peta jalan untuk mengurangi penggunaan energi berbasis fosil pada 2025-2060. Melalui PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, ada dua skenario yang akan diterapkan.
Pertama, energi berbasis fosil akan mulai dihilangkan dari bauran energi mulai 2056. Tahapannya dimulai dari penghentian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara secara bertahap.
“PLTU yang dihentikan mulai dari yang menggunakan teknologi konvensional, sampai yang paling mutakhir,” mengutip keterangan resmi PLN, Kamis, 29 Juli 2021.
Melansir TrenAsia.com, jejaring WongKito.co diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah membuat strategi perencanaan secara bertahap.Pada 2025, penghentian PLTU batu bara akan dimulai dengan membangun Pembangkit Listrik berbasis EBT (PL EBT) sebesar 1,1 Giga Watt (GW).
Selanjutnya retirement PLTU subcritical tahap I sebesar satu GW dilaksanakan pada 2030, dilanjutkan tahap II sebesar sembilan GW pada 2035. PLTU ini terdapat di Muarakarang, Tambaklorok, dan Gresik.
Lima tahun berikutnya atau 2040,PLTU supercritical 10 GW, PLTU ultrasupercritical tahap I sebesar 24 GW dan tahap II sebesar 5 GW juga akan dipensiunkan.
Sementara pada skenario kedua, pemanfaatan teknologi Carbon Capture, Usage and Storage (CCUS) akan diterapkan mulai 2035 sembari PLN menurunkan porsi energi berbasis fosil dari bauran energi.
Terkait model bisnis pada masa depan, PLN akan melakukan eksekusi proyek EBT dari hulu ke hilir. Di sisi midstream, perseroan sebagai operator atau pemilik dari jaringan transmisi dan distribusi akan memberi pelayanan kepada pelanggan skala besar atau industri. Sementara di sisi hilir, PLN akan melayani kelistrikan untuk semua pelanggan.
Terkait hal ini, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, upaya pemerintah merupakan salah satu strategi yang bagus.
Meskipun dilakukan secara bertahap, hal ini sudah menunjukkan concern terhadap efek PLTU yang berhubungan dengan emisi gas buang.
“Memang sekarang ini, shifting sudah terjadi di beberapa negara karena ke depannya akan menggunakan EBT,” ujarnya saat dihubungi TrenAsia.com.
Selain itu, komitmen ini juga terkait dengan Paris Agreement. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia diwajibkan untuk mencapai penurunan emisi CO2 sebesar 880 juta ton pada 2020.
Meskipun demikian, Mamit mengakui transisi energi dari fosil menuju EBT memang tidak mudah. Menurutnya, permasalahan EBT berhubungan dengan tingginya tarif yang harus dikeluarkan. Dampaknya, harga jual di pasaran pun akan mengikuti.
Oleh karena itu, sambil terus berinovasi, diharapkan tarif EBT ke depan jadi lebih murah dan terjangkau sehingga tidak memberatkan masyarakat.
“Jika biaya produksinya tinggi, maka nilai jual ke masyarakat pun akan tinggi,” ungkapnya.