Studi: Masa Depan Pekerjaan di Indonesia, ada Ancaman Ketimpangan

Rabu, 14 Mei 2025 16:59 WIB

Penulis:Nila Ertina

Ilustrasi Pekerja Kantoran - Panji 5.jpg
Ilustrasi pekerja kantoran. (TrenAsia/Panji Asmoro)

JAKARTA – Dunia sedang menghadapi transformasi besar-besaran di dunia kerja akibat disrupsi teknologi, termasuk di Indonesia. Munculnya kecerdasan buatan (AI), big data, platform digital, serta maraknya ekonomi gig telah mengubah cara orang bekerja, berinteraksi, dan menciptakan nilai ekonomi. 

Kini bukan lagi sekadar bagaimana kita menyambut masa depan pekerjaan, melainkan bagaimana kita melindungi yang paling rentan dari dampak perubahan ini.

Studi terbaru dari Achim Kemmerling dan Viddy Ranawijaya, dua peneliti dari Willy Brandt School of Public Policy, University of Erfurt, menyajikan kajian komprehensif mengenai “Masa Depan Pekerjaan di Indonesia”. Dalam penelitian yang dikembangkan melalui observasi, diskusi lokakarya, dan wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan, mereka mengupas bagaimana peluang digital dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa memperlebar jurang ketimpangan sosial-ekonomi.

“Banyak orang bicara tentang masa depan pekerjaan seperti sesuatu yang masih jauh. Padahal, masa depan itu sudah hadir dan terus berkembang,” kata Achim Kemmerling melalui hasil risetnya, dikutip Rabu (14/5/2025).

Baca Juga:

Pernyataan ini menegaskan bahwa perubahan yang dibawa teknologi—baik otomatisasi, AI, big data, maupun platform kerja digital—sudah menjadi bagian dari kehidupan kerja masyarakat Indonesia. Transformasi ini bukan hanya tentang inovasi teknologi, tetapi juga menyentuh struktur ketenagakerjaan secara menyeluruh, mulai dari sektor formal hingga informal.

Sejak 2010, isu digitalisasi mulai mengemuka dalam diskusi publik di Indonesia, terutama dipicu oleh meledaknya layanan transportasi daring seperti Gojek dan Grab. Kini, dengan kehadiran teknologi seperti ChatGPT dan model bahasa besar lainnya, pembicaraan mulai bergeser ke bagaimana AI bisa menggantikan pekerjaan manusia dalam skala yang lebih luas.

Tiga Pendorong Utama Transformasi Pasar Kerja

Kemmerling dalam studinya mengidentifikasi tiga pendorong utama digitalisasi yang tengah membentuk pasar tenaga kerja di Indonesia:

  1. Ekonomi Gig dan Kontrak Jangka Pendek
    Sistem kerja berbasis kontrak jangka pendek menjadi pilihan utama, terutama bagi generasi muda dan pekerja informal. Sektor ini tumbuh pesat dengan kehadiran platform seperti ojek online, pengantar makanan, hingga pekerja lepas digital.
  2. Otomatisasi Proses Kerja, Baik Fisik maupun Virtual
    Mulai dari pabrik hingga layanan perbankan, banyak proses kerja yang digantikan mesin atau software. Pekerjaan yang bersifat rutin dan berulang semakin tergerus.
  3. Kecerdasan Buatan dan Big Data
    Penggunaan AI dan analitik big data mempercepat pengambilan keputusan bisnis dan mendorong efisiensi, namun juga mengancam keberlangsungan sejumlah profesi tradisional.

Ketiga faktor ini menjadi wajah baru dunia kerja yang disebut para peneliti sebagai “digitalisasi yang kompleks”. Lebih dari sekadar adopsi teknologi, digitalisasi menyangkut struktur kekuasaan baru dalam dunia kerja.

Ketimpangan Sosial dan Kerentanan Baru

Dampak dari digitalisasi ternyata tidak merata. Dalam lokakarya yang diselenggarakan Kemmerling dan Ranawijaya di Universitas Indonesia, 38 peserta dari berbagai latar belakang—mulai dari kementerian, serikat buruh, akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat—menyuarakan keprihatinan terhadap potensi ketimpangan sosial yang kian dalam.

“Pertanyaannya bukan hanya pekerjaan apa yang akan hilang, tetapi siapa yang paling rentan terkena dampaknya dan bagaimana kita melindungi mereka,” ujar Viddy Ranawijaya.

Kelompok paling terdampak antara lain:

  • Pekerja informal tanpa jaminan kerja atau perlindungan sosial.
  • Masyarakat pedesaan dengan akses terbatas ke teknologi.
  • Perempuan dan kelompok usia lanjut yang tidak terjangkau pelatihan digital.

Ketimpangan juga muncul antara mereka yang mampu mengakses teknologi dan yang tertinggal secara digital. Tanpa kebijakan inklusif, teknologi justru bisa memperkuat segregasi sosial dan memperluas jurang antara si kaya dan si miskin.

Baca Juga: Ironi Industri Tekstil: Investasi Tumbuh, tapi PHK Menjamur

Pemerintah Belum Siap?

Meski pemerintah Indonesia telah menggulirkan berbagai program, seperti Peta Jalan E-Commerce, Making Indonesia 4.0, dan Peraturan Pemerintah tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), tantangan terbesar tetap terletak pada tata kelola dan kemauan politik.

“Indonesia membutuhkan strategi kolaboratif yang dipimpin pemerintah dan melibatkan semua pemangku kepentingan,” kata Achim. Namun, ia menggarisbawahi bahwa kemauan politik untuk menciptakan dialog lintas sektor yang inklusif masih belum cukup kuat.

Hal ini terlihat dari absennya beberapa kementerian kunci, seperti Kementerian Ketenagakerjaan, dalam lokakarya strategis yang seharusnya menjadi forum utama menyusun agenda nasional ketenagakerjaan digital.

Sistem Pendidikan Gagal Mengimbangi Perubahan

Digitalisasi membutuhkan keterampilan baru. Namun, sistem pendidikan dan pelatihan kerja Indonesia dinilai belum responsif terhadap perubahan pesat di dunia kerja.

“Masalah terbesar adalah rendahnya kemampuan adaptasi kurikulum terhadap kebutuhan industri,” tegas Viddy.

Sementara kebutuhan tenaga kerja di sektor teknologi informasi meningkat hingga 250.000 orang per tahun, kurikulum pendidikan masih berkutat pada pendekatan konvensional. Akibatnya, banyak lulusan tidak siap menghadapi tuntutan kerja di sektor digital.

Pemerintah dan institusi pendidikan perlu segera mereformasi program vokasi dan pelatihan ulang (reskilling) untuk memastikan tenaga kerja siap bersaing di era digital.

Perlindungan Sosial di Era Pekerja Platform

Transformasi digital juga melahirkan jenis pekerjaan baru yang belum sepenuhnya diakui oleh sistem hukum dan sosial yang ada. Pekerja platform seperti ojek online, pengantar makanan, atau freelancer digital bekerja di bawah sistem kontrak yang fleksibel namun minim perlindungan hukum dan sosial.

“Regulasi kita belum cukup adaptif dalam mengakomodasi dinamika baru di pasar kerja,” jelas Viddy.

Banyak dari pekerja ini tidak mendapatkan:

  • Jaminan sosial (BPJS)
  • Upah minimum
  • Standar waktu kerja yang manusiawi

Diperlukan kerangka perlindungan sosial yang baru dan lebih fleksibel, yang tidak hanya melindungi pekerja tetap, tapi juga pekerja informal dan digital.

Ekonomi Digital: Peluang Besar yang Harus Dimanfaatkan

Meski banyak tantangan, potensi ekonomi digital Indonesia sangat besar. Laporan e-Conomy SEA 2022 dari Google, Temasek, dan Bain & Company memperkirakan nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai US$220–360 miliar pada tahun 2030.

Peningkatan nilai ini mencerminkan perubahan fundamental dalam cara ekonomi bergerak: dari transaksi tradisional ke ekosistem digital yang lebih cepat, efisien, dan skalabel.

Tokopedia, Gojek, dan startup lain menjadi bukti nyata bahwa Indonesia tidak tertinggal dalam inovasi. Bahkan sektor konvensional seperti manufaktur, perbankan, dan pemerintahan mulai mengadopsi model kerja digital yang lebih modern.

Rekomendasi untuk Pemerintah

Berdasarkan temuan dan diskusi yang dilakukan dalam studi ini, Kemmerling dan Ranawijaya memberikan sejumlah rekomendasi strategis:

  1. Menyusun Strategi Nasional Transformasi Digital
    Strategi ini harus inklusif dan berbasis kolaborasi lintas sektor: pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil.
  2. Investasi dalam Pendidikan dan Pelatihan
    Fokus pada peningkatan keterampilan digital melalui program vokasi, pelatihan ulang, dan integrasi teknologi dalam kurikulum.
  3. Reformasi Perlindungan Sosial
    Membentuk sistem perlindungan sosial baru yang melindungi pekerja informal dan digital.
  4. Perkuat Dialog dan Koordinasi Antar Pemangku Kepentingan
    Kementerian, LSM, sektor swasta, dan serikat pekerja perlu terlibat aktif dalam perumusan kebijakan ketenagakerjaan digital.
  5. Tingkatkan Representasi Daerah
    Melibatkan daerah di luar Jakarta, sektor pertanian, dan pelaku UMKM dalam diskusi kebijakan digital agar hasilnya tidak elitis dan Jakarta-sentris.

Menyambut Masa Depan dengan Kesiapan Kolektif

Masa depan pekerjaan di Indonesia tidak bisa ditunda. Teknologi akan terus berkembang, otomatisasi akan terus menggantikan pekerjaan lama, dan jenis pekerjaan baru akan terus bermunculan. Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa transformasi ini tidak menimbulkan korban, melainkan membawa manfaat bagi sebanyak mungkin orang.

Baca Juga:

Untuk itu, dibutuhkan kemauan politik yang kuat, sistem pendidikan yang adaptif, perlindungan sosial yang inklusif, dan kolaborasi lintas sektor yang nyata.

Seperti disimpulkan oleh Achim Kemmerling, “Indonesia adalah laboratorium hidup bagi masa depan pekerjaan. Apa yang terjadi di sini bisa menjadi pelajaran penting bagi negara berkembang lainnya.”

Namun, pelajaran tersebut hanya bisa ditulis jika seluruh pihak terlibat aktif—dan bertindak sekarang, sebelum ketimpangan makin membesar dan masa depan berubah menjadi ancaman, bukan harapan.

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 14 May 2025