Cara Perempuan Desa Protes Debu Batubara dengan Menutup Jalan Lintas Sumatera

Aksi protes truk batubara dengan tutup jalinteng

SEKELOMPOK perempuan Desa Gunung Kembang, Kecamatan Merapi Barat Kabupaten Lahat Sumatera Selatan memrotes truk batubara yang melintasi desa mereka dengan menutup jalan lintas Sumatera.

Tepatnya, Jalan Lintas Bagian Tengah (Jalinteng) Sumatera yang selama ini menjadi jalur angkutan umum, baik bus kota antar provinsi di Sumatera maupun bus kota antar kabupaten/kota di Sumetara Selatan selain jalintim yang melintasi Provinsi Jambi.

Diinformasikan, ibu-ibu Desa Gunung Kembang telah menutup jalan lintas tersebut, sejak Senin (28/9) malam. Kaum perempuan yang juga membawa anak mereka tersebut mengangkut tempat duduk berbahan bambu atau balai-balai ke tengah jalan.

Akibatnya, lalu lintas terhenti terutama truk batubara yang memang jadi sasaran protes perempuan dan warga desa lainnya.

Mala salah seorang perempuan warga Desa Gunung Kembang mengatakan selama ini telah melakukan berbagai upaya memrotes mobilitas truk batubara yang melintasi kampung tersebut.

Namun, tidak ada dampaknya bahkan kini truk yang melintas semakin banyak dan debu-debu berterbangan semakin pekat, kata dia.

Ia mengungkapkan, lalu lintas kendaraan pembawa batubara yang kerap menganggu aktivitas warga terutama mulai sore sampai pagi hari.

Akibat batubara tersebut, banyak warga kini yang terkena gangguan pernapasan. Bukan hanya anak-anak tetapi orang tua juga mudah sekali terinspeksi pernapasan, seperti batuk dan tenggorakan sakit, ungkap dia.

Hal itu, juga disampaikan warga lain, yang mengikuti aksi blokir jalan tersebut jadi pilihan, karena protes yang selama ini disampaikan terkesan tidak didengar pemerintah yang membiarkan truk batubara tetap berlalu lalang.

"Kami menuntut pemerintah juga memperhatikan dampak aktivitas truk batubara tersebut terhadap rakyat, dengan memastikan tidak ada debu di jalan-jalan yang dilintasi," katanya.

Bupati Janjikan Pekerjakan Warga

Pemblokiran jalinteng Sumatera tersebut berdampak pada kemacetan panjang yang terjadi sampai, Selasa (29/9) siang. Warga bersikukuh tidak akan menghentikan aksi tutup jalan tersebut sampai Bupati Lahat Cik Ujang datang ke desa mereka.

Cik Ujang bersama jajarannya akhirnya menemui warga di Balai Desa Gunung Kembang Lahat.

Bupati menjanjikan akan secepatnya menyelesaikan permasalahan tersebut, tetapi memang belum bisa langsung dieksekusi karena harus dibicarakan lebih dulu dengan stakeholder lainnya yang berada di Palembang.

Pemimpin Kabupaten Lahat tersebut, mengatakan akan memperkerjakan warga desa untuk mengatur lalu lintas jalan di desa tersebut.

"Ia, tadi bupati menyebutkan akan memperkerjakan warga desa di jalan, tapi kami tidak tahu pasti siapa saja yang akan berkerja," kata seorang ibu yang berunjukrasa.

Selain itu, belum juga bisa dipastikan siapa yang akan mengaji warga yang bekerja untuk mendukung lancarnya lalu lintas truk batubara.

"Kami tetap menuntut agar bupati berpihak kepada masyarakat, bukan hanya demi kepentingan pengusaha batubara," tuturnya.

Bupati Lahat Cik Ujang mengimbau agar masyarakat tetap aman dan damai dalam menjalankan protesnya.

"Kita juga akan segera berkoordinasi dengan pihak terkait agar masalah ini bisa segera diselesaikan tidak ada lagi yang merasa rugi," kata dia.

Energi Kotor Batubara Susahkan Masyarakat

Penolakan terhadap energi batubara saat ini tidak hanya disuarakan lembaga non pemerintah yang peduli lingkungan bersih.

Kesadaran akan pentingnya udara bersih tanpa menggunakan energi berbahan bakar fosil tersebut juga disampaikan dalam beragam forum-forum baik antar NGO, kelompok jurnalis lingkungan bahkan masyarakat.

Lalu bagaimana kesadaran masyarakat yang terdampak lingkungan mereka yang terkena langsung efek pertambangan batubara dan PLTU yang berbahan bakar emas hitam tersebut.

Adalah Syahwan salah seorang pemuda dari Desa Muara Maung Lahat yang sampai kini bersama warga di desanya terus melakukan perlawanan menolak energi kotor batubara.

"Kami sudah merasakan dampak langsung akibat eksploitasi batubara bukan hanya pencemaran udara yang kini jadi bagian hidup sehari-hari warga desa," kata dia ketika dihubungi melalui whatsApp, Selasa (29/9).

Warga Desa Muara Maung yang menolak tambang batubara dan PLTU telah lama berjuang tetapi sampai kini usaha mereka tetap belum berhasil.

Syahwan mengungkapkan perjuangan untuk menolak tambang batubara terus disuarakan.

Selain itu, menuntut ganti rugi dari empat perusahaan yang beroperasi di kawasan desa terus diperjuangkan.

Kerusakan desa kini semakin parah, sungai yang beberapa tahun lalu menjadi sumber penghidupan masyarakat kini tercemar dan sama sekali tidak lagi bisa digunakan untuk konsumsi warga desa.

Kebun dan sawah-sawah warga pun kini tidak lagi bisa menjadi sumber penghasilan karena lahan sudah tidak produktif lagi, tutur Syahwan.

Bahkan, akhir tahun 2019 menjadi hari kelabu bagi warga desa karena rumah dan halaman juga kebun dan ladang disapu banjir lumpur.

Lumpur itu, Syahwan menambahkan berasal dari aktivitas tambang batubara, tetapi sampai kini ganti rugi yang sepandan belum diberikan perusahaan.

"Kami akan terus berjuang, karena hak kami telah diambil paksa perusahaan tambang batubara dan setiap hari juga kini terpaksa menghirup asap dari PLTU yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari dusun. Semakin banyak gelombang protes sudah saatnya pemerintah daerah maupun pusat memperhatikan kebutuhan rakyat terkait dengan energi tanpa mengabaikan kesehatan dan ruang kehidupan rakyat, " kata Syahwan.(Nila Ertina)

 

 

 

Bagikan

Related Stories