Dari Sumatera Desakan Pengesahan RUU PKS Terus Disuarakan

ilustrasi

Oleh Nila Ertina

MESKIPUN telah diajukan sejak tahun 2017, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau RUU PKS tetapi sampai kini belum ada progres terkait kapan diselesaikan pembahasan regulasi yang didedikasi untuk perempuan korban kekerasan seksual.

Padahal sejak tahun 2018, RUU PKS telah masuk dalam program legislasi nasional atau prolegnas.

Berbagai upaya dilakukan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang selama ini juga menjadi bagian dari pencetus pengajuan RUU PKS.

Perjuangan panjang itu sampai kini belum ada titik terang, karena meskipun selama periode pengajuan RUU PKS aktivis pro demokrasi bukan hanya yang konsen memperjuangkan hak kesetaraan perempuan tetapi organisasi lainnya yang beririsan dengan isu tersebut juga terlibat aktif mengaungkan tuntutan pengesahan regulasi itu.

Rapat Dengar Pendapatan (RDP) Komisi VIII DPR RI dan Komnas Perempuan, tahun 2018 semakin memperlebar friksi terkait dengan RUU PKS tersebut.

Beragam kalimat-kalimat yang mendiskreditkan isi RUU PKS secara kompak disampaikan wakil rakyat dari sejumlah partai, seperti PKS, PKB dan Nasdem serta Golkar yang duduk di Komisi VIII/

Kalimat yang menyebut RUU PKS mengadopsi gaya barat, mengakomodir LGBT bahkan membuat perempuan tidak lagi patuh pada tatanan pernikahan menjadi isu liar yang bergulir terus menerus sampai akhirnya menjadi viral di media sosial.

Dengan berbagai alasan, Komisi VIII DPR RI menunda pembahasan RUU PKS yang akhirnya sengaja dilupakan padahal semestinya sebelum pergantian dewan baru pascapemilu 2019, idealnya Undang-undang itu sudah mulai disosialisasikan sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap perempuan.

Apa Sebenarnya Isi RUU PKS tersebut

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa RUU PKS Pasal 1 menuntut hak atas penanganan, perlindungan pemulihan bagi korban kekerasan seksual dengan tujuan untuk merubah kondisi korban lebih baik, bermartabat dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan dan partisipatif.

RUU PKS menuntut negara menunaikan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak korban berupa penetapan kebijakan di tingkat nasional dan daerah untuk penanganan, perlindungan dan pemulihan korban dan keluarga yang terintegrasi dalam pengelolaan internal lembaga negara terkait.

Karena sampai kini, sudah rahasia umum penegakan hukum kepada pelaku kekerasan seksual masih sebatas menjerat tersangka menjatuhkan hukumam yang dinilai belum mewakili penderitaan korban akibat tindakan pelecehan seksual atau juga pemerkosaan.

Bahkan, masih sering ditemui korban malah yang disalahkan aparat maupun masyarakat ketika melaporkan kekerasan fisik dan seksual yang dialaminya.

Karena itu, meskipun hanya seorang yang selalu menyambut gembira isu kesetaraan gender dan menuangkannya dalam berita lempang saya sangat mendukung disahkan RUU PKS.

Latar belakang pengajuan RUU PKS tersebut tentunya dengan landasan yang sangat kuat dimana tahun 2017 Komnas Perempuan mengeluarkan catatan tahunnya (Catahu) yang menyebutkan setiap hari sebanyak 35 perempuan mengalami kekerasan. Sehingga gerakan perempuan Indonesia secara solid mengajukan regulasi itu.

Saat itu, Komnas Perempuan bersama jejaring organisasi perempuan dan masyarakat sipil menyebut kondisi "darurat kekerasan seksual" sehingga perlu keterlibatan lembaga negara yang lebih luas lagi untuk mengatasi kedaruratan tersebut.

RUU PKS juga mengategorikan sembilan kekerasan seksual yang dimaksud yaitu pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaaan kontrasepksi, pemaksaan abosri, pemerkosaan dan pemaksaan perkawinan, pelacuran dan perbudakan seksual serta penyiksaan seksual.

Lalu, tindakan yang selama ini dianggap hal biasa, misalnya menggoda perempuan ditempat umum dengan cara bersiul masuk dalam kategori pelecehan seksual sehingga RUU PKS dinilai sangat mengakomodir perjuangan perempuan dalam kesetaraan gender.

Terkait kesetaraan gender tampaknya di era globalisasi ini cenderung mundur jauh karena berbagai regulasi yang tidak berpihak kaum perempuan.

Padahal mestinya kita belajar dari sejarah bangsa ini mulai dari jaman feodal kerajaan nusantara yang menempatkan perempuan sebagai pemimpin.

Bahkan di era sebelum kemerdekaan pun, perempuan sudah mengambil bagian dalam perjuangan bukan hanya bertugas di dapur umum atau merawat mereka yang sakit.

Kiprah perempuan Indonesia sangat luar biasa, bagaimana SK Trimurti wartawan tiga jaman berperan aktif di masa pra kemerdekaan sampai ke era pascareformasi.

Sebelumnya juga ada perempuan Minang, Rohana Kudus yang kini juga telah disematkan gelar pahlawam nasional mendedikasikan dirinya sebagai wartawan perempuan pertama yang juga dikenal aktif dalam gerakan melawan penjajahan Belanda.

Saat ini, gerakan perempuan menuntut pengesahan RUU PKS tak surut meskipun berbagai rintangan dihadapi termasuk pembalikan fakta dari pengajuan regulasi tersebut dari kelompok yang tetap melenggangkan patriarki tetap jadi paham utama dalam pemutusan apapun.

Ratusan Kasus Kekerasan Perempuan di Sumatera

Catatan Jaringan Organisasi Masyarakat Sipil Sumatera untuk Advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang disampaikan dalam pertemuan virtual, Kamis (24/9) menyebutkan selama lima tahun ini sejumlah lembaga pendamping mengadvokasi sebanyak 1.571 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Women Crisis Center (WCC) Palembang tercatat paling banyak mendampingi korban kekerasan seksual yang mencapai 494 kasus selama lima tahun ini.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut tersebar dari sejumlah kabupaten/kota dengan didominasi warga Palembang.

Sedangkan catatan LBH Pekanbaru justru paling sedikit mengadvokasi perempuan korban kekerasan seksual sebanyak 21 kasus selama lima tahun ini.

Dalam kesempatan tersebut, sejumlah pendamping korban kekerasan dari delapan provinsi di Sumatera dengan tegas menyampaikan tuntutan kepada negara agar RUU PKS segera menjadi prioritas pembahasan di prolegnas dan disahkan menjadi Undang-Undang.

Penamdamping mengungkapkan praktik victim blaming atau menyalahkan korban kekerasan seksual banyak ditemukan dimana korban diberhentikan sekolah, dihina dan stereotip sebagai manusia yang rendah juga jadi beban berat korban.

Akibatnya, pemulihan korban kekerasan seksual akan lebih sulit dan menjadi trauma yang tak berkesudahan.

Penegakan hukum pun, dalam pertemuan yang diikuti perwakilan aktivis perempuan dan LBH se Sumatera tersebut juga tidak memrioritaskan kepentingan korban, bahkan sampai dipersidangan masih saja ada kasus yang tak bisa dibuktikan padahal korbannya jelas telah menderita sehingga pelaku kerap kali dibebaskan pengadilan dan tidak dituntut impunitas atau pertanggungjawaban.

Minimnya peran negara tersebut, tentunya dampaknya bukan memulihkan psikis maupun ekonomi korban tetapi malah menyebabkan perempuan yang telah jadi korban masuk dalam lingkaran kekerasan seksual, prostitusi dan terganggu secara mental.

Penutup perjumpaan virtual tersebut juga kembali menyuarakan tuntutan pengesahan RUU PKS sebagai campur tangan pemerintah dalam menyelamatkan korban kekerasan, dan menyelamatkan anak bangsa.

Mendorong pengesahan RUU PKS, kata Direktur WCC Palembang Yeni Izi terus akan diperjuangkan dengan melibatkan jaringan masyarakat sipil.

"Kami tidak akan lelah, berjuang untuk diketoknya palu RUU menjadi Undang-Undang PKS," sebut dia.

Bagikan

Related Stories