Hadapi 2020, Startup Indonesia Harus Stop “Bakar Uang” Untuk Tetap Bertahan

Ilustrasi Cashback

Palembang - Akhir November tahun ini, kita dikejutkan dengan pengakuan pendiri grup Lippo, Mochtar Riady yang tak lagi kuat “bakar uang” demi memberikan promosi melalui layanan dompet digital OVO (fintech). Grup yang telah dibangunnya ini mengurangi dua pertiga kepemilikan sahamnya di OVO sehingga saat ini kepemilikan Grup Lippo dalam OVO menyusut menjadi 30 persen.

Mengutip dari CNBC Indonesia, OVO setidaknya menghabiskan 50 Juta Dollar AS atau setara 700 Miliar Rupiah setiap bulan dalam kegiatan promosi demi menarik minat dan agar pengguna OVO tak lari menggunakan layanan dompet digital yang sejenis. Terlebih, “bakar uang” ini dinilai sebagai hal yang lumrah dalam model bisnis berbasis digital dan produk yang baru dalam fase introduction. Tujuan dari bakar uang ini dinilai sebagai langkah “edukasi” atau dalam bahasa pemasaran adalah mengakuisisi konsumen mengenai produk yang disediakan perusahaan kepada konsumen.

Teknik bakar uang memang sah-sah saja dilakukan, di Kota Palembang sendiri saya banyak sekali menemui beberapa pelaku usaha yang menerima pembayaran menggunakan dompet digital yang menawarkan cashback atau promosi “uang kembali” yang disubsidi oleh 2 raksasa aplikator Gojek dan Grab. Tak hanya soal makanan, promo menggunakan taksi dan ojek online pun saya rasakan sendiri ketika menggunakan aplikasi jemput-antar untuk keperluan pekerjaan atau pribadi di Palembang. Namun apakah pola “bakar uang” akan terus bertahan hingga selamanya?

Pola bakar uang pada dasarnya adalah untuk sebuah produk atau layanan yang baru memasuki pasar sehingga perlu untuk mengakuisisi konsumen. Pada fase ini perusahaan akan jor-joran mengeluarkan biaya promosi yang sebenarnya memberikan dampak kerugian finansial bagi perusahaan. Ini terlihat dari contoh Gojek dan Grab memberikan promo potongan harga memperkenalkan produknya kepada konsumen, dampaknya adalah para mitra-mitra taksi dan ojek online pun merasakan untung dari “bakar uang” yang dilakukan oleh perusahaan. Setiap harinya mitra menerima bonus atau insentif yang dibayar seluruhnya oleh perusahaan ketika mereka berhasil mencapai target. Pola ini diakui Grab maupun Gojek sebagai salah satu cara memastikan supply dan demand agar tetap stabil, serta mencegah para mitranya “memilih-milih” order yang masuk ke dalam aplikasi mereka.

sumber: msn.com

Namun seiring berjalannya waktu, pada fase pendewasaan produk (product maturity) model bakar membakar uang tidak bisa terus-terusan terjadi, karena apa? Karena perusahaan sudah harus memikirkan kelangsungan bisnisnya ke depan, memperlebar/memperbanyak line business-nya agar mencakup semua kebutuhan konsumen/masyarakat, meningkatkan kinerja kepuasan karyawan dan tentunya mengembalikan business return-nya apabila perusahaan tersebut dimiliki oleh banyak investor seperti Gojek dan Grab atau perusahaan lain yang berbasis teknologi. Perusahaan pun lama-kelamaan tidak akan kuat membayar insentif, promo, dan diskon-diskon lainnya.

OVO adalah pelajaran yang berharga untuk dicermati dalam hal product life cycle. Bakar uang untuk promosi tak bisa lagi diandalkan dan tidak baik juga bagi kedewasaan mitra dan konsumen. Apalagi, situasi ekonomi global diprediksi akan tetap stagnan akibat perang dagang antar negara-negara besar dunia yang mengakibatkan semakin tinggi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, inflasi dan tak kalah menakutkan adalah terjadinya resesi ekonomi. Bahkan, jika tidak dibarengi dengan kebijakan tepat, bukan saja Indonesia yang bisa terkena dampaknya akan tetapi juga akan mengancam keberlangsungan usaha perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Karena itu, perlu kerangka kerja bisnis yang lebih strategis khususnya bagi perusahaan anak bangsa seperti Gojek untuk mulai memprioritaskan keberlangsungan usahanya demi keberlangsungan usaha dan pendapatan jutaan mitra yang telah menjadi bagian “keluarga” perusahaan.

Mengurangi Beban Bakar Uang
Alkisah awal bulan oktober 2019 lalu, perjalanan saya terhambat ketika akan menuju ke jalan basuki rahmat harus memutar dahulu ke kawasan KM 5. Informasi yang saya dapat, ternyata ada ratusan mitra Gocar yang melakukan aksi demo penyampaian aspirasi karena tak terima insentif mereka dipotong 50% dari insentif awal yang mereka terima bila mencapai target yakni 300 Ribu Rupiah.

Dalam sudut pandang saya pribadi kebijakan pemotongan insentif yang dilakukan oleh Gojek tidaklah salah (dalam konteks strategi bisnis atau strategi keberlangsungan usaha/business survival). Pertama adalah Gojek sedang memasuki fase pendewasaan produk, kedua, adanya pemain-pemain baru sehingga alternatif pilihan bagi mitra semakin banyak, ketiga, adalah karena memang tidak selamanya pola bakar uang atau subsidi bisa terus dilakukan. Keempat adalah Gojek pasti juga akan memikirkan keberlangsungan bisnisnya dalam 10 atau 20 tahun bahkan selamanya dan tentu saja membutuhkan pendanaan yang tidak sedikit, mengingat banyak sekali inovasi yang dilakukan oleh Gojek sejak mulai beroperasi online di tahun 2015. Kelima, adalah business return (pengembalian modal). Khusus poin kelima, siapa yang tidak memikirkan business return ketika memiliki suatu usaha? Munafik kalau tidak!

Pada sejarahnya, Gojek mulai beroperasi sejak 2015 dengan bisnis awal ride-sharing, Gojek kini berkembang menjadi 'Super App' atau aplikasi super yang menyediakan sebuah layanan ekosistem lengkap bagi pengguna mereka dari mulai transportasi, pesan antar makanan bahkan layanan jasa pembersihan.

Guna menjamin keberlangsungan inovasi yang Gojek lakukan, tentu tidak setiap hari atau bulan aplikator ini akan membakar uang demi menarik minat konsumen atau memanjakan mitranya dalam mencari penumpang. Ditambah lagi saat ini sudah ada 2 Peraturan Menteri yang didalamnya terdapat aturan mengenai komponen tarif, yaitu PM 118 bagi angkutan sewa khusus atau taksi online, kemudian PM 12 melalui KPM 348 yang mengatur tarif ojek online.

Dalam 2 regulasi tersebut, komponen tarif telah naik dari tarif awal aplikator ride sharing berdiri, bila dulu aplikator seperti Gojek bisa mengatur sendiri tarif mereka di setiap daerah, kini dengan adanya regulasi tersebut para aplikator tidak bisa lagi untuk mengatur tarif sendiri. Hal ini pun menimbulkan reaksi dari sisi konsumen atau masyarakat yang merasa tarifnya menjadi mahal.

Reaksi masyarakat terhadap kenaikan tarif ojek daring ini terungkap pada sebuah survei berjudul “Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia”. Penelitian ini dilakukan oleh lembaga riset sosial-ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, RISED. Salah satu hasil yang berhasil didapatkan adalah 75% konsumen ojek daring menolak adanya kenaikan tarif ini.

Tentu hal ini menjadi buah simalakama bagi aplikator. Demi menjaga agar pendapatan tambahan mitra tetap ada dan konsumen tetap menggunakan aplikasi dan tidak lari menggunakan kendaraan pribadi akhirnya para aplikator seperti Gojek akhirnya memutuskan untuk mengurangi subsidi insentif mitra untuk kemudian dialihkan menjadi promosi bagi konsumen atau memberikan pendidikan kewirausahaan bagi para mitranya agar juga memiliki pendapatan tambahan melalui sektor usaha lainnya. Dengan kata lain “bakar uang” yang selama ini banyak dikeluarkan berupa insentif dan bonus kepada mitra driver, sekarang dialihkan menjadi “biaya promosi” kepada konsumen agar tetap menggunakan layanan di aplikasi yang konsumen rasakan “mahal”, sehingga keberlangsungan demand dan supply antara konsumen dan mitra driver tetap terjaga.

Startup sudah harus mulai “survive”
Presiden Direktur SoftBank Masayoshi Son, yang sempat bertemu Presiden RI Joko Widodo pada Juli lalu juga turut merasakan efek “kebakaran” pada investasinya di perusahaan rintisan WeWork. Kerugian yang dialami SoftBank sebagai investor tidak kecil, 4,6 miliar Dollar Amerika. Son mengakui kerugian ini terjadi karena kesalahan penilaian dan keputusannya yang buruk.

Strategi bakar uang yang akhirnya membuat “kebakaran” seperti yang terjadi pada WeWork harusnya menjadi early warning system bagi para Startup di Indonesia untuk mulai bertahan dan pelan-pelan mengurangi bakar uang.

sumber:kumparan.com

Situasi ini juga terjadi di tengah industri transportasi online. Awalnya layanan transportasi online menjadi booming karena minimnya angkutan umum yang memadai di perumahan-perumahan atau perkampungan. Ketika Gojek datang dengan konsep ojek onlinenya, hal ini langsung menumbuhkan rasa penasaran masyarakat untuk mencoba layanan ini dan satu hal yang disukai konsumen adalah harga yang telah memiliki patokan tersendiri berdasarkan data harga di aplikasi. Inilah yang membedakan antara transportasi online dengan transportasi konvensional lainnya seperti harga/tarif yang ditentukan sepihak oleh pemilik kendaraan (ojek pangkalan) atau oleh taksi argometer yang dikenal dengan sebutan argo kuda.

Sebagai salah satu pelaku ekonomi, Gojek juga memahami perlunya mengenalkan masyarakat mengenai kehadirannya. Siapapun yang baru membuka lapak, mesti menawarkan produknya dengan harga yang menarik dan kompetitif. Dari sisi konsumen, harga sudah tidak menjadi perdebatan lagi, karena telah terjadi penyeragaman tarif secara resmi oleh pemerintah saat ini.

Pada akhirnya disinilah yang dimaksud dengan beban bakar uang harus dikurangi untuk menjaga keberlangsungan perusahaan, atau dengan kata lain, menjaga Gojek untuk tetap ada sebagai rumah bagi jutaan driver dalam mencari nafkah. Termasuk juga ratusan ribu UMKM yang bergabung ke dalam GoFood. Ilustrasi ini juga telah dibuktikan secara gamblang lewat ucapan Mochtar Riady yang saya sampaikan di awal tulisan ini. Bakar uang adalah sebuah langkah strategis yang dilakukan perusahaan pada jangka pendek, namun pada akhirnya juga perlu dikurangi untuk membuat perusahaan tetap survive.

Bagikan

Related Stories