JATAM: Kewenangan Pertambangan yang Sentralistik Makin Sengsarakan Rakyat

Ilustrasi area pertambangan

JAKARTA, WongKito.co – Kewenangan pertambangan mineral dan batubara yang terpusat atau sentralistik oleh pemerintah pusat dinilai Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) akan semakin menyengsarakan rakyat, karena itu menolak keras penerbitan dua surat dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mencabut kewenangan pemerintah daerah (pemda) untuk mengawasi dan membina perusahaan tambang di wilayahnya.

"Terbitnya surat Kementerian ESDM itu bukan hanya mengambilalih peran pemda tetapi akan mempersulit akses warga yang terdampak pertambangan karena selama ini saja mereka kesulitan menyampaikan permasalahan ke provinsi, kata Kepala Divisi Hukum dan Advokasi JATAM Nasional, Muhammad Jamil, melansir TrenAsia.com, Kamis (17/12).

JATAM menilai dalam perumusan pengambilalihan kewenangan pertambangan mineral dan batu bara yang sentralistik ini tidak didasari oleh kajian komprehensif. Sehingga keputusan desentralisasi hingga sentralisasi kewenangan tak pernah menjawab masalah sesungguhnya.

“Seharusnya, setiap perumusan kebijakan berangkat dari analisis masalah yang ilmiah dan empirik di lapangan,” tegasnya.

Tak Selesaikan Konflik di Lapangan

Menurut Jamil, permasalahan-permasalahan sesungguhnya di wilayah lingkar tambang adalah gagalnya alokasi ruang tambang yang melampaui batas daya dukung dan beban ekologi di suatu wilayah. Tidak adanya hak veto rakyat.

Sulitnya akses mendapatkan informasi karena manipulasi, kriminalisasi & pengusiran warga oleh pertambangan. Korupsi perizinan tanpa penegakan hukum hingga industri pertambangan yang menjadi sumber pembiayaan politik.

Kedua surat tersebut bernomor 1481/30.01/DJB/2020 dan 1482/30.01/DJB/2020 yang ditandatangani oleh Ridwan Djamaludin. Di dalam surat tersebut terdapat sejumlah hal yang telah dialihkan terhitung dari 11 Desember 2020.

Per 11 Desember, layanan perizinan pertambangan minerba akan kembali di tangan pemerintah pusat melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Aturan baru ini juga dinilai mengancam inisiatif daerah yang berupaya melindungi wilayahnya melalui kewenangan daerah, misalnya melalui moratorium perizinan.

Padahal moratorium dilakukan untuk membendung laju krisis lingkungan hidup. Selain itu juga sebagai upaya mitigasi krisis iklim akibat alih fungsi lahan tak terkendali dan obral izin batubara selama ini.

“Pemerintah seharusnya memperkuat inisiatif daerah ini dengan menindaklanjutinya melalui moratorium dan audit pertambangan dengan skala nasional, bukan justru kembali membuka ‘keran’ pemberian izin.”

Dalam catatan JATAM, di Provinsi Kalimantan Timur saja terdapat 320 izin usaha pertambangan (IUP) minerba yang tak ditemukan dalam sistem basis data (database) Mineral One Data Indonesia (MODI) Kementerian ESDM.

Sebanyak 320 izin ini diduga tidak tercatat, namun perusahaan masih beroperasi di lapangan. Salah satunya adalah PT Kencana Wilsa di Kutai barat, Kaltim.

“Perusahaan ini hendak menggusur lebih dari 5 desa dan sekarang sedang diprotes keras warga. Walaupun tidak dicatat di MODI, tapi ancamannya nyata di kampung.”

Bagikan

Related Stories