Setara
Kalyanamitra-INFID: May Day 2025, Kondisi Buruh Perempuan Makin Parah di Tengah Krisis Global
JAKARTA, WongKito.co – Kalyanamitra dan INFID menyoroti kondisi buruh perempuan pada perayaan May Day 2025 di tengah krisis ekonomi global dan ancaman PHK massal, semakin parah.
Hal itu, diperparah di tengah upaya negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kerja perawatan yang menjadi fondasi bagi Pembangunan negara masih diabaikan.
Ika Agustina dari Kalyanamitra mengungkapkan perang dagang dan ketidakpastian ekonomi global mendorong negara-negara, seperti Indonesia untuk menurunkan biaya produksi dengan cara deregulasi tenaga kerja.
"Akibatnya, banyak perusahaan beralih ke bentuk pekerjaan tidak tetap, kontrak jangka pendek, atau alih daya tenaga kerja (outsourcing), sehingga menyebabkan informalisasi sistem ketenagakerjaan," kata dia dalam siaran pers yang diterima, Jumat (2/5/2025).
Baca Juga:
- YTI Racing Team Siap Menggebrak Lintasan Kompetisi Downhill Nasional
- Inflasi April 2025 di Sumsel sebesar 2,74 Persen
- Jamin Pemenuhan Hak dan Ruang Aman Perempuan Pekerja
Dia menegaskan dalam kondisi tersebut, buruh perempuan menjadi kelompok yang paling rentan karena sering kali ditempatkan di posisi marjinal, tanpa perlindungan hukum maupun jaminan sosial.
Perusahaan cenderung mengurangi buruh perempuan karena stereotip bahwa perempuan memiliki tanggung jawab pada kerja-kerja domestic, ujar dia.
Gelombang PHK menghasilkan peningkatan jumlah buruh perempuan yang beralih ke sektor informal yang menurut BPS Februari 2024 dari 59.59% buruh informal mayoritas adalah perempuan.
Meskipun TPAK nasional mencapai 68,73% pada Februari 2024, angka tersebut masih didominasi oleh partisipasi laki-laki. Partisipasi angkatan kerja perempuan (TPAKP) berada di level sekitar 55–57%, jauh lebih rendah dibanding laki-laki.
"Ini bukan karena perempuan tidak produktif, melainkan karena mayoritas dari mereka tidak tercatat sebagai angkatan kerja karena bekerja di sektor informal atau menjalankan kerja perawatan tak berbayar," sambung Siti Khoirun Ni’mah dari INFID.
Menurut dia, peluang untuk pekerjaan formal bagi perempuan sangat terbatas kerap kali prasyarat dan kualifikasi yang secara tidak langsung mendiskriminasikan perempuan.
Dampaknya, memaksa perempuan untuk masuk pada sektor informal, seperti buruh harian lepas, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga bahkan melakukan pekerjaan yang tidak menghasilkan upah dengan melakukan kerja perawatan tidak berbayar di keluarga, tambah dia.
Data dari BPS pada 2022 menunjukkan bahwa rata-rata perempuan di Indonesia menghabiskan 4-5 jam/hari untuk pekerjaan domestik dan perawatan, sementara laki-laki hanya sekitar 1-2 jam/hari.
Sedangkan berdasarkan studi internasional, kontribusi kerja perawatan perempuan di Asia bisa mencapai 30–40% dari PDB jika dinilai secara ekonomi (UNDP, 2021).
Padahal, kerja perawatan adalah fondasi dari reproduksi tenaga kerja dan keberlangsungan hidup ekonomi nasional.
Tanpa ada yang melakukan kerja perawatan maka tidak ada buruh, tidak ada produsen, tidak ada pembangunan.
Jika dinilai secara ekonomi, nilai kerja perawatan yang dilakukan perempuan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp 20 triliun per tahun, menurut studi feminis ekonomi dari Katadata Insight Center (2022). Hal ini juga membuat kebijakan publik dan investasi sosial abai terhadap kerja-kerja perawatan yang mayoritas dilakukan oleh perempuan, bahkan dianggap sebagai hambatan untuk perempuan lebih produktif.
Baca Juga:
- Ketika AI Bertemu Kesiapsiagaan Bencana, Dorong Pelaporan Warga Real Time
- Rayakan Ulang Tahun, ICA Palembang Beri Makanan pada100 Kucing Liar
- Bandara SMB II Palembang Kembali Berstatus Bandara Internasional
Berdasarkan data tersebut, Kalyanamitra dan INFID mengungkapkan perempuan memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian.
Namun model ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi belum secara sungguh-sungguh mengakui kontribusi perempuan.
Di sisi lain, perempuan juga tidak mendapatkan perlindungan kerja yang semestinya. Perempuan pekerja rumah tangga atau perempuan yang bekerja di sektor informal tidak mendapatkan perlindungan kerja karena ketiadaan pengakuan bahwa pekerja perawatan adalah kerja.
Bertepatan dengan momentum Hari Buruh Sedunia ini, pemerintah sudah seharusnya melakukan upaya berikut:
1. Mengakui kerja perawatan sebagai bentuk pekerjaan yang berkontribusi besar pada pembangunan sosial dan ekonomi;
2. Menjamin adanya regulasi untuk penyediaan fasilitas dan layanan kesehatan universal yang memastikan redistribusi beban kerja domestik;
3. Menyegerakan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai payung hukum pengakuan dan perlindungan bagi pekerja rumah tangga;
4. Memastikan adanya penghargaan yang layak bagi care giver komunitas yang telah berkontribusi besar pada kerja-kerja perawatan bagi kelompok rentan di masyarakat.(ril)