Kemenkumham: Permohonan Izin Prakarsa Wajib Penuhi 4 Kriteria

Dissenting opinion (Pexels)

JAKARTA — Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menegaskan pengajuan mekanisme izin prakarsa dalam penyusunan kebijakan harus memenuhi empat syarat, yaitu urgensi dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan jangkauan serta arah pengaturan.

Pelaksana tugas (Plt) Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan I Kemenkumham, Roberia menjelaskan bahwa mekanisme izin prakarsa perlu ditempuh dalam proses pembentukan rancangan peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah ataupun Peraturan Presiden yang belum tercantum dalam Program Penyusunan Pemerintah. Permohonan izin prakarsa diajukan oleh kementerian teknis atau lembaga nonkementerian kepada Presiden.

"Persyaratan untuk mengajukan izin prakarsa kepada Presiden harus menaati ketentuan dalam Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu membuat surat permohonan dengan disertai penjelasan yang memuat syarat-syarat yang harus dipenuhi," ungkap Roberia.

Berkenaan dengan itu, terdapat rencana revisi peraturan yang sedang digodok Pemerintah melalui izin prakarsa yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Rencana revisi PP 109/2012 ini tengah menjadi polemik lantaran menuai pro dan kontra antar Kementerian/Lembaga, mengingat revisi beleid ini dinilai akan memiliki dampak negatif terhadap mata rantai Industri Hasil Tembakau (IHT).

Roberia menambahkan untuk melihat urgensi perubahan suatu peraturan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu pertama faktor filosofis yang berkaitan dengan nilai-nilai yang dianut oleh suatu negara. Kedua, faktor yuridis yang berkaitan dengan norma hukum menurut prosedur pembentukannya. Ketiga, faktor politis yang didukung oleh kekuatan politik atau dukungan kekuasaan dan terakhir faktor sosiologis.

Berkenaan dengan itu, Sosiolog Universitas Gadjah Mada, AB Widyanta berharap, dalam membuat suatu gerakan atau kebijakan, pemerintah perlu mempertimbangkan kepentingan penghidupan banyak warga. Kebijakan harus selalu memberikan pengawasan dan tatanan kepada warganya.

“Kebijakan pemerintah tidak bisa bebas nilai, tapi kebijakannya yang harus ke publik dan seberapa rasional kebijakan diterbitkan,” terang AB Widyanta.

Untuk kebijakan yang berkaitan dengan IHT. Ia menilai bahwa adanya kebijakan-kebijakan anti tembakau akan memukul IHT. Menurutnya, dalam situasi yang sedang sulit seperti dampak dari pandemi Covid-19 seharusnya Pemerintah memikirkan kehidupan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di IHT.

“Jangan kemudian di masa ini, kebijakan makin dipersulit yang semakin meminggirkan sektor marjinal.  Ini harus dipikirkan jauh dan jangan berpikir jangka pendek,” ungkap AB Widyanto.

Bagikan

Related Stories