Ketiga Kali Tersangka, Akar Masalahnya Ada di Tata Kelola Anggaran

Kondisi bangunan terbengkalai bekas pasar cinde, Palembang Sumatera Selatan, Jumat (10/05/2025). (Foto Nabil Putrawardana.)

Oleh: Elizabeth Kusrini*

KABAR tentang penetapan Alex Noerdin kembali sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembangunan Pasar Cinde di Palembang menyita perhatian publik. Ini merupakan ketiga kalinya mantan Gubernur Sumatera Selatan tersebut menjadi tersangka kasus korupsi, setelah sebelumnya terjerat dalam perkara Masjid Raya Sriwijaya dan distribusi gas bumi.

Pertanyaan penting yang perlu diajukan bukan hanya mengapa Alex kembali tersandung kasus hukum, melainkan mengapa proyek publik dengan nilai hampir Rp1 triliun bisa gagal total, merugikan warga, dan lolos dari pengawasan sejak awal? Jawabannya terletak pada keroposnya tata kelola anggaran dan lemahnya akuntabilitas dalam pelaksanaan proyek strategis daerah.

Dua Perspektif yang Sama Penting

Dalam menyikapi kasus Pasar Cinde, penting untuk melihat dua sisi secara berimbang. Di satu sisi, penegakan hukum oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan perlu diapresiasi.

Baca Juga:

Penetapan tersangka terhadap empat orang, termasuk Alex Noerdin, serta pemeriksaan terhadap lebih dari 70 saksi menunjukkan komitmen serius untuk menuntaskan kasus ini. Transparansi dan kecepatan proses hukum menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik.

Di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan dampak nyata dari kegagalan proyek ini bagi warga. Sejak pasar ditutup dan dibongkar pada 2018, ratusan pedagang kehilangan tempat berjualan.

Pusat ekonomi rakyat ini berubah menjadi lahan mangkrak, dan nilai cagar budaya yang terkandung dalam bangunan asli pasar hilang tak berbekas. Publik mengalami kerugian ekonomi dan sosial yang jauh lebih besar dari sekadar angka dalam laporan audit.

Tata Kelola Proyek yang Bermasalah

Pasar Cinde dibangun dengan skema bangun-guna-serah (BGS), sebuah mekanisme yang sebenarnya memungkinkan kolaborasi antara pemerintah dan pihak swasta untuk pembangunan infrastruktur publik. Skema ini juga rentan disalahgunakan jika tidak diawasi secara ketat.

Dalam kasus Pasar Cinde, sejumlah kejanggalan bisa ditelusuri sejak awal: nilai proyek yang tidak transparan, minimnya pelibatan masyarakat, lemahnya studi kelayakan, hingga pengabaian terhadap status cagar budaya bangunan lama.

Semua ini mencerminkan betapa rapuhnya sistem perencanaan dan pengendalian anggaran di tingkat daerah, terutama untuk proyek-proyek bernilai besar. Jika proyek sebesar ini bisa berjalan tanpa alarm dari pengawas internal, legislatif, maupun lembaga pengawas eksternal seperti BPK, maka ada yang salah dengan sistem kita.

Tiga Rekomendasi untuk Pemerintah Daerah

Sebagai pelajaran dari kasus ini, ada sejumlah hal penting yang perlu segera dibenahi dalam kebijakan anggaran dan pengawasan proyek strategis.

Setiap proyek besar wajib memiliki dokumentasi yang bisa diakses publik, mulai dari studi kelayakan, kontrak BGS, hingga laporan keuangan dan progres fisik. Pemerintah daerah sebaiknya membuka portal informasi proyek strategis secara daring yang dapat dipantau siapa pun.

Pengambilan keputusan untuk proyek publik juga harus melibatkan warga yang terdampak langsung. Dalam kasus Pasar Cinde, suara pedagang dan sejarawan yang menolak pembongkaran pasar tua seolah diabaikan, padahal proyek publik bukan sekadar urusan birokrat dan investor.

Di saat yang sama, skema pembiayaan seperti BGS atau KPBU juga perlu dievaluasi secara menyeluruh, terutama dari sisi tata kelola dan akuntabilitasnya. Diperlukan pedoman teknis dan mekanisme pengawasan yang ketat, baik dari pemerintah pusat maupun provinsi, agar tidak menjadi celah bagi praktik korupsi terselubung.

Mendorong Pemerintah Lanjutkan Proyek dengan Akuntabilitas

Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan melalui Gubernur Herman Deru telah menyatakan komitmennya untuk melanjutkan pembangunan Pasar Cinde setelah proses hukum selesai, bahkan akan menganggarkannya kembali pada 2026.

Baca Juga:

Niat ini patut diapresiasi, tetapi harus disertai dengan perbaikan mendasar dalam perencanaan dan pelaksanaannya. Apakah pemerintah daerah siap membangun ulang Pasar Cinde dengan cara yang lebih transparan, partisipatif, dan bebas dari konflik kepentingan?

Keadilan bagi Warga, Bukan Sekadar Vonis

Masyarakat tentu berharap bahwa proses hukum terhadap Alex Noerdin dan pihak terkait bisa berjalan adil, sesuai asas praduga tak bersalah. Namun keadilan tidak hanya berbentuk vonis pengadilan. Keadilan juga berarti kembalinya hak warga atas fasilitas publik yang semestinya mereka nikmati sejak bertahun-tahun lalu.

Opini ini tidak hendak menyalahkan satu pihak, tapi mendorong semua elemen: pemerintah, legislatif, penegak hukum, dan masyarakat sipil, untuk memutus rantai kegagalan proyek publik di masa depan. Kita butuh sistem anggaran yang berpihak pada rakyat, bukan elite yang menjadikannya ladang kuasa.

*Pengamat Kebijakan Anggaran, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center 2022 – 2025

Bagikan

Related Stories