Laba BRI Syariah (BRIS) 2020 Meroket, BNI Justru Terjungkal Hingga Rp3,28 Triliun

Ilustrasi

JAKARTA, WongKito.co – Sampai akhir 2020, PT BRI Syariah Tbk (BRIS) melaporkan laba bersih meroket senilai Rp248 miliar atau tumbuh 235,14% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan BNI Justru terjungkal hingga Rp3,28 triliun.

Bukan hanya meroketnya laba bersih, Direktur Utama BRI Syariah Ngatari mencatat aset perseroan tahun lalu juga meningkat 33,8% menjadi Rp57,7 triliun dibandingkan dengan 2019.

Tak sampai di situ, penyaluran pembiayaan bank yang kini menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) juga mencapai Rp40 triliun, tumbuh 46,24% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Penyumbang utamanya berasal dari segmen ritel yakni SME, mikro dan konsumer.

“Alhamdulillah menjelang legal merger tanggal 1 Februari 2021 BRIsyariah tumbuh positif dari sisi laba, aset, pembiayaan,” kata Ngatari mengutip dalam siaran pers, Jumat, 29 Januari 2021.

Dari total pembiayaan, segmen mikro tercatat paling mendominasi dengan capaian Rp10,7 triliun atau tumbuh 163% secara tahunan.

Adapun penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) tahun lalu telah tersebar senilai Rp4,5 triliun. Dari total tersebut, 40% penyaluran KUR terserap oleh sektor ekonomi produksi. Sedangkan 37,7% terserap oleh sektor ekonomi perdagangan, dan 22% di sektor jasa.

Di sisi lain, perusahaan juga menyalurkan Rp7,4 triliun pembiayaan untuk segmen kecil dan menengah yang tumbuh sebesar 65%.

Kendati penyaluran pembiayaan meningkat, BRISyariah berhasil menurunkan rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) hingga di level 1,7% di akhir tahun lalu.

Dari segi pendanaan, dana pihak ketiga (DPK) BRIS tumbuh 44,61%. Pertumbuhan DPK didorong oleh pertumbuhan dana murah (giro dan tabungan) sejalan dengan strategi pengendalian beban biaya dana.

“Peningkatan dana murah yang mencapai mendorong penurunan biaya dana atau cost of fund,” tambah Ngatari.

Sementa PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BNI) tercatat mengalami kontraksi laba bersih cukup dalam yakni 78,7% menjadi Rp3,28 triliun per 31 Desember 2020.

Padahal, bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini masih mampu mencetak laba bersih sebesar Rp15,28 triliun pada 2019. Usut punya usut, anjloknya laba bersih perseroan salah satunya dipicu oleh peningkatan provisi atau pencadangan.

Pada 2020, pencadangan emiten bersandi saham BBNI ini mencapai Rp22,59 triliun, melesat 155,6% secara tahunan dibandingkan dengan posisi 2019 sebesar Rp 8,83 triliun. Pencadangan ini menyumbang pertumbuhan coverage ratio sebanyak 48,9% dari 133,5% di 2019 menjadi 182,4% pada 2020.

Selain itu, penerimaan bunga kredit juga loyo terkoreksi 4% menjadi Rp56,17 triliun. Akan tetapi, total net interest income (NII) BBNI masih tercatat tumbuh 1,5% menjadi Rp37,15 triliun. Ini lantaran penurunan beban bunga (interest expense) sebesar 13,3% menjadi Rp19,02 triliun.

Di tengah masa sulit, BBNI berhasil melakukan upaya efisiensi. Hasilnya, rasio dana murah (CASA) perseroan naik sebesar 160 basis poin (bps) secara tahunan menjadi 68,4%. Rasio CASA tersebut berdampak pada penurunan biaya dana (cost of fund/ CoF) BNI sebanyak 60 bps menjadi 2,6%.

Dari segi penyaluran kredit, BBNI telah menyalurkan sebanyak Rp586,2 triliun, naik 5,3% secara tahunan. Hingga 31 Desember 2020, penyaluran kredit pada segmen korporasi meningkat 7,4% menjadi Rp309,7 triliun.

Sedangkan kredit kepada segmen bisnis kecil masih mampu tumbuh sebesar 12,3% secara tahunan menjadi Rp84,8 triliun. Serupa, kredit konsumer juga masih tumbuh 4,7% menjadi Rp89,9 triliun.

Adapun BBNI telah merestrukturisasi kredit dalam rangka program pemulihan ekonomi nasional sebesar Rp102,4 triliun atau 18,6% dari total pinjaman.

Dilihat dari segmennya, segmen korporasi menerima restrukturisasi kredit sebesar Rp 44,2 triliun, segmen menengah Rp 21 triliun, segmen kecil Rp 28 triliun, dan segmen konsumer Rp 9,2 triliun. (SKO)

 

 

Bagikan

Related Stories