Ragam
Menilik Potensi Child Grooming, Eksploitasi dalam Industri K-pop
JAKARTA – Minimnya upaya dalam memberantas kejahatan seksual terhadap perempuan di Korea Selatan terlihat jelas dari terungkapnya kasus kejahatan siber Nth Room.
Nth Room adalah salah satu skandal pelecehan seksual yang paling menghebohkan di Korea Selatan pada tahun 2020. Puluhan perempuan, termasuk anak-anak di bawah umur, menjadi korban dalam kejahatan keji ini.
Menurut laporan dari Korea Herald, sedikitnya 74 orang menjadi korban, termasuk 16 gadis di bawah usia legal. Otak di balik aksi kriminal ini adalah seorang pria berusia 24 tahun bernama Cho Ju-bin.
Dia dan beberapa pelaku lainnya melakukan pemerasan dan penyebaran konten seksual yang melibatkan anak perempuan di bawah umur, melalui Telegram.
Dilansir dari asiaglobalonline.hku.hk, kasus ini merupakan yang terbaru dalam serangkaian kejahatan dunia maya serupa, termasuk skandal Burning Sun tahun 2019 di mana sejumlah bintang K-pop ternama terlibat.
Menurut pengamatan Kim Hyun-kyung, dosen di Seoul National University of Science and Technology, kasus yang telah menarik perhatian dunia internasional ini, tampaknya tidak mungkin kasus Nth Room akan menjadi kasus terakhir di Korea Selatan.
Kim Hyun-kyung menyoroti bahwa hukum di Korea Selatan cenderung lebih permisif terhadap kasus kejahatan yang berkaitan dengan cybersex.
Pada tahun 2018, rata-rata hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang terbukti bersalah atas kejahatan cyber yang dilakukan terhadap anak-anak dan remaja hanya dua tahun. Lebih jauh lagi, tingkat penyelesaian kasus kejahatan seksual secara keseluruhan juga masih tergolong rendah.
Pembahasan mengenai lemahnya sistem hukum dalam menangani kejahatan seksual berkaitan erat dengan risiko gangguan kesehatan mental dan fisik, serta pelanggaran privasi yang mengancam anak-anak yang bekerja di industri hiburan Korea Selatan.
Di sisi lain, membiarkan anak-anak terlibat dalam industri yang memiliki regulasi perlindungan dan keamanan yang lemah adalah meningkatnya risiko terjadinya child grooming oleh orang dewasa di lingkungan sekitar.
Secara garis besar, child grooming merujuk pada situasi di mana seseorang berusaha membangun hubungan kepercayaan dengan seorang anak yang bukan anggota keluarganya. Tujuan utama dari tindakan ini, bagi pelaku, adalah agar ia dapat melakukan pelecehan seksual terhadap anak tersebut.
Child grooming bisa terjadi dalam berbagai bentuk dan dilakukan oleh siapa saja. Selain manipulasi untuk kepentingan seksual, pelaku seringkali juga memanfaatkan emosi anak atau melakukan kekerasan psikologis. Dampaknya, anak dapat mengalami gangguan mental yang serius.
Pada tahun 2016, grup SISTAR tampil dalam sebuah acara bersama Kim So Hye dan memberikan nasihat kepada idola muda tentang hal yang paling penting untuk diwaspadai.
“Hati-hati engan laki-laki. Saat kamu masih rookie (pendatang baru), senior pria biasanya akan mendekatimu. Tidak semuanya punya niat baik. Lebih baik menghindar. Tetap di rumah saja dan jangan sering bertemu laki-laki,” tutur para member SISTAR dilansir dari Koreaboo.
Bahkan baru-baru ini acara audisi K-pop menuai kritik dari penggemar di seluruh dunia, dengan banyak yang mengecam premisnya dalam merekrut gadis-gadis berusia di bawah 15 tahun—untuk bersaing memperebutkan tempat di grup idola baru. Para ahli berpendapat acara tersebut mengekspos anak di bawah umur terhadap potensi eksploitasi dan seksualisasi dengan kedok hiburan.
Program yang sedang dikritik, UNDER15 dari stasiun penyiaran MBN, menampilkan 59 gadis muda yang lahir setelah tahun 2009 sebagai kontestan, dan menyebut dirinya sebagai proyek penemuan bakat K-pop pertama di dunia untuk kontestan di bawah usia 15 tahun.
Dilansir dari The Korea Times, acara ini mengikutsertakan kontestan berusia 8 tahun, dengan lima kontestan termuda lahir pada tahun 2016.
Pertunjukan ini dipelopori oleh Seo Hye-jin, CEO Crea Studio, yang dikenal karena memproduksi waralaba pertunjukan trot populer, Miss Trot dan Mister Trot.
“Kami bermaksud untuk memilih anggota yang dapat memimpin dunia K-pop, dipilih langsung oleh pemirsa kami,” kata Seo saat mengumumkan peluncuran acara tersebut. “Saya mungkin akan dikritik karena mengatakan ini, tetapi tujuan kami adalah untuk menciptakan BLACKPINK di bawah umur.”
Berita peluncuran program tersebut dengan cepat menuai kecaman keras di media sosial, di mana pengguna internasional menyuarakan kekhawatiran atas tindakan acara tersebut yang mendiskriminasi anak di bawah umur.
“Acara survival yang disebut UNDER15 sudah heboh sejak awal. Saya harap tidak ada yang menonton atau mendukung acara ini karena tidak mungkin acara ini ada!” tulis seorang pengguna di X, yang dulunya Twitter.
Pengguna lain mengecam acara tersebut, menyebutnya sebagai acara yang dijalankan oleh para pedofil untuk para pedofil.
Reaksi keras juga terjadi di Korea, dipicu oleh skandal yang melibatkan aktor Kim Soo Hyun, yang merayu mendiang aktris Kim Sae Ron saat ia masih di bawah umur. Waktu terjadinya kedua skandal tersebut memperburuk kekhawatiran publik tentang tidak adanya perlindungan bagi artis di bawah umur dalam UNDER15.
Dilansir dari Financial Express, klaim bintang Hallyu Kim Soo Hyun yang diduga merayu mantan aktris cilik tersebut, yang diyakini telah bunuh diri pada hari ulang tahun aktor Queen of Tears pada bulan Februari 2025 tidak hanya membuat marah publik Korea Selatan, tetapi juga khalayak global.
Bintang drama Korea itu langsung dicap sebagai pedofil. Ketika masyarakat umum menyaksikan reputasi aktor yang dulu dicintai itu hancur, orang-orang maju untuk meminta pertanggungjawabannya atas dugaan pelanggaran tersebut.
Celah Hukum
Berdasarkan Undang-Undang Pengembangan Industri Budaya Populer dan Seni di Korea, anak di bawah usia 15 tahun diperbolehkan bekerja di industri hiburan dengan batas maksimum 35 jam per minggu, dan dilarang tampil antara pukul 10 malam hingga 6 pagi.
Namun, Korea belum memiliki regulasi khusus yang melarang seksualisasi anak di bawah umur dalam media, berbeda dengan sejumlah negara lain. Di Amerika Serikat, undang-undang perlindungan anak melarang penggambaran seksual terhadap anak di bawah usia 18 tahun baik di media maupun internet. Negara seperti Inggris, Prancis, dan Tiongkok juga menerapkan larangan serupa.
Pandangan terhadap pelaku pedofilia jauh lebih keras di luar negeri. Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) bahkan mengklasifikasikan gangguan pedofilia sebagai penyakit mental.
Meskipun kesadaran tentang perlindungan anak di Korea semakin meningkat, sejumlah kritikus menilai bahwa budaya patriarki yang masih mengakar kuat turut menjadi hambatan dalam pengenalan dan pemahaman masyarakat terhadap kejahatan seksual terhadap anak, sehingga menimbulkan sikap yang lebih permisif terhadap pedofilia.
Saat ini, Komisi Standar Komunikasi Korea (KCSC) menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki kewenangan meninjau dan mengatur konten secara kasus per kasus. Menjelang penayangan UNDER15 yang dijadwalkan pada 31 Maret, banyak pihak menyerukan agar KCSC segera turun tangan dan menghentikan penayangan acara tersebut.
Kritikus budaya Kim Hern-sik membandingkan perlakuan terhadap entertainer muda di Korea dengan negara-negara lain melalui sebuah artikel opini yang dimuat di media lokal.
“Di Inggris dan Jerman, anak-anak yang bekerja di dunia hiburan dijamin haknya atas pendidikan, kesehatan, dan waktu tidur yang cukup. Di Amerika Serikat, artis cilik dan wali mereka harus melalui proses peninjauan ketenagakerjaan. Partisipasi mereka juga harus disetujui oleh kepala sekolah, serta didampingi oleh orang tua, guru, dan perawat di lokasi syuting,” ujar Kim.
Ia menyoroti sisi gelap industri K-pop, dengan menekankan bahwa sistem trainee yang ada saat ini berkembang di masa ketika hak-hak anak sering diabaikan. Kim menegaskan bahwa jika industri K-pop ingin mempertahankan pengaruh globalnya, evaluasi menyeluruh terhadap perlakuan terhadap anak-anak sangatlah penting.
“Korea adalah satu-satunya negara yang secara sistematis melatih anak di bawah umur sebagai bagian dari strategi industri hiburan. Jika praktik ini ingin diteruskan, maka masalah mendasar terkait hak asasi manusia harus diselesaikan. Jika tidak, hal ini bisa menjadi hambatan besar bagi nilai merek K-pop di masa depan,” kata Kim.
Ia menambahkan, “Jika K-pop—yang identik dengan anak muda—didasarkan pada sistem yang tidak adil, maka sangat mungkin akan menjadi sasaran boikot global di kemudian hari.”
Proses Produksi Idola K-pop
Dilansir dari The Business Standard, industri hiburan Korea berupaya menciptakan barisan idola K-pop yang seragam, sempurna secara visual, dan dapat saling menggantikan sebagai produk yang memiliki daya tarik global seluas mungkin.
Sayangnya, cara paling efektif untuk memproduksi idola-idola tersebut adalah dengan merekrut anak-anak yang masih polos dan mudah dipengaruhi, lalu menempatkan mereka dalam pelatihan seni dan media yang ketat agar menjadi bintang pop yang patuh, mudah dipasarkan, dan bisa digantikan kapan saja.
Grup K-pop biasanya terdiri dari 4 hingga 20 anggota. Jumlah ini sengaja dibuat demikian untuk meningkatkan kemungkinan para penggemar bisa mengidentifikasi atau menyukai salah satu dari anggota grup tersebut.
Langkah pertama dimulai dengan mencari anak-anak polos yang juga memenuhi standar kecantikan Korea—sesuatu yang kini semakin mudah karena banyak anak yang bercita-cita menjadi bintang YouTube sebagai tujuan hidup mereka.
Langkah kedua adalah membuat anak-anak tersebut menandatangani kontrak yang sangat merugikan, atau yang sering disebut kontrak budak, yang berlaku hingga mereka dewasa. Banyak trainee K-pop yang memulai pelatihan sejak usia sembilan tahun, dan tak jarang mereka menandatangani kontrak dengan durasi lebih lama dari usia mereka saat itu.
Rata-rata kontrak trainee K-pop berlangsung antara 7-13 tahun. Ketentuan dalam kontrak tersebut sangat berat dan sangat menguntungkan pihak agensi. Para trainee harus terlebih dahulu melunasi seluruh biaya pelatihan yang ditanggung oleh agensi sebelum bisa menikmati hasil dari pendapatan mereka sendiri.
Langkah ketiga adalah menempatkan anak-anak ini dalam program pelatihan intensif selama tiga hingga lima tahun—termasuk diet ekstrem, rutinitas olahraga yang keras, dan sebagainya.
Dalam kamp pelatihan ini, para trainee kehilangan kehidupan normal mereka. Setiap aspek dalam kehidupan mereka dikontrol secara ketat, mulai dari makanan dan pakaian, hingga waktu tidur, larangan berkencan, dan aktivitas santai. Beberapa di antara mereka bahkan ditekan atau dipaksa untuk menjalani operasi plastik.
Hanya sekitar 10% dari trainee K-pop yang berhasil debut sebagai penyanyi atau bergabung dalam sebuah grup. Dan bagi mereka yang berhasil pun, kehidupan mereka justru sering kali menjadi lebih berat setelahnya.
Sisi Gelap di Dunia K-pop
Begitu seorang artis Korea berhasil meraih ketenaran, tekanan yang mereka hadapi menjadi jauh lebih intens. Kehidupan mereka pun semakin dikendalikan secara ketat.
Salah satu contoh paling ekstrem dari hal ini adalah apa yang dikenal sebagai paper cup diet, yang secara ironis telah menjadi bagian dari standar kehidupan seorang bintang K-pop. Dalam pola makan ini, artis hanya diperbolehkan mengonsumsi sembilan gelas kertas berisi makanan setiap harinya.
Tak mengherankan, tekanan ini memberikan dampak besar bagi banyak orang di industri tersebut. Banyak dari mereka mengalami gangguan citra tubuh, masalah makan, hingga gangguan mental yang serius. Semua ini berakar dari praktik media yang sangat menuntut dan tidak manusiawi dalam industri hiburan Korea.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Distika Safara Setianda pada 13 April 2025.