KabarKito
Menyoal "Karantina" Pekerja, SERBUK Minta Dukungan Organisasi Buruh Asia Pasifik
SENIN (24/8) sore, tiba-tiba saya mendapat informasi dan sejumlah foto yang menggambarkan tiga orang dan seorang pekerja berada di lokasi terkunci dengan gembok.
Awalnya, saya mendapat informasi itu dari jaringan pribadi atau japri, tak lama kemudian informasi yang sama disebarkan orang lain di grup diskusi puluhan jurnalis.
Sampai malam kembali ada yang menyampaikan informasi dan foto tersebut di grup WA lainnya.
Saya hanya berujar ngeri kalau memang benar saat ini masih ada kejadian karantina seperti itu.
Informasi tersebut menyebutkan sebanyak 20 buruh yang bekerja di PLTU Sumsel I yang berlokasi di Muaraenim, Sumatera Selatan telah lima bulan dikarantina tanpa boleh keluar.
Bahkan ada keluarga mereka meninggal, sama sekali tidak boleh keluar dari lokasi tersebut.
Sekretaris Jenderal di Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (SERBUK), Khamid Istakhori yang selama ini mengadvokasi buruh PLTU Sumsel I mengatakan tindakan karantina tersebut sangat tidak manusia.
Bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dijelaskannya karantina adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang yang terpapar penyakit menular sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan meskipun belum menunjukkan gejala apapun.
Lalu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tersebut juga mengatur kewenangan untuk karantina tersebut dilakukan oleh pejabat karantina kesehatan, bukan oleh perusahaan, jelas Khamid.
Praktiknya, karantina atau lebih tepat disebut kurungan tersebut, dia menambahkan bukan dilakukan pejabat yang berwenang dari Dinas Kesehatan atau Satgas Penanggulangan COVID-19 setempat.
"Bahkan kami sudah mendatangi Dinkes Muaraenim, dan mereka sama sekali tidak mengetahui adanya karantina di lokasi PLTU tersebut, karena pemberlakuan karantina sesuai ketentuan berlaku hanya bagi pekerja asing," kata dia.
Terkait dengan karantina sebanyak 20 orang tenaga kerja tersebut, Khamid menjelaskan saat pemogokan pada 9-23 Maret 2020 yang dilakukan Serikat Pekerja PT GPEC, mereka ini tetap bekerja.
Sementara pekerja lainnya melakukan aksi mogok dan berunjukrasa ke instansi terkait di Pemkab Muaraenim.
Sejak aksi pemogokan itu, mereka di "kurung" di area perusahaan dengan kondisi memrihatinkan, bahkan seperti tahanan saja sehingga sangat tidak manusia, pintu digembok dan sekeliling lokasi dipagari seng.
Selain itu, pekerja juga sama sekali tidak boleh keluar lokasi, bahkan ada keluarga yang sakit dan meninggal pun mereka tidak boleh keluar, kata Khamid disampaikan melalui pesan suara, Senin (24/8) malam.
"Ini permasalahan kemanusiaan yang sangat serius!, merupakan praktik pelanggaran hak azasi manusia," tegas dia.
Karena itu, saya sudah menyampaikan kondisi tersebut ke Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) di Jakarta, aliansi buruh internasional se Asia Pasifik dan organisasi buruh sekawan lainnya tingkat Asia.
"Kejadian ini, bukan sekedar upaya mengantisipasi penyebaran COVID-19 tetapi masalah besar yang harus segera diadvokasi karena pekerja diberlakukan sangat tidak manusiawi," kata dia.
Dia menambahkan, terhadap calon tenaga kerja yang akan diterima berkerja, perusahaan juga menerapkan ketentuan karantina 14 hari sebelum bekerja.
Dalam surat pernyataan yang wajib ditandatangi calon pekerja tersebut, jika telah selesai karantina selama 14 hari, tenaga kerja juga dilarang untuk keluar lokasi perusahaan sampai pemerintah menetapkan pandemi COVID-19 telah berakhir.
Kemudian, bagi yang melanggar ketentuan tersebut, surat pernyataan itu juga menegaskan akan merumahkan pekerja dengan tanpa mendapatkan upah dan dilarang menuntut hak apapun, tambah dia.
Hal itu, jelas bukan hanya melanggar Undang-Undang Karantina tetapi juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Karenanya, pembebasan kaum buruh ini harus segera dilakukan agar mereka bisa kembali beraktivas normal dan kembali bisa berkomunikasi dan bertemu keluarga serta hak sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan dipenuhi perusahaan.
Sementara Humas PT GPEC (PLTU Sumsel I) Herida menegaskan pihaknya melakukan prosedur dan protokol kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku selama pandemi COVID-19.
"Kami paham terkait metode melakukan tes COVID-19, dan tes kesehatan dilakukan terhadap setiap pekerja tidak ada pengecualian," kata dia ketika dikonfirmasi melalui WA, Senin (24/8) malam.
Dia menjelaskan, diawali dengan rapid tes, lalu dikarantina selama 14 hari, selama karantina ini dilakukan tes swab.
"Semua itu, adalah prosedur yang kami terapkan kepada pekerja dan pembiayaannya ditanggung oleh perusahaan, tentunya demi keamanan lingkungan kerja. Ada yang salah?," tegas dia.
Herida menambahkan, terkait dengan pembatasan keluar area perusahaan, ia mengakui betul, tapi kalau ada alasan untuk keluar karena ada kejadian, seperti orang tua sakit dan meninggal.
"Itu, bisa dibicarakan, tergantung kepentingannya," ujar dia. Terakhir dia mengingatkan untuk jangan membesar-besarkan masalah ini karena proyek ini termasuk Proyek Strategis Nasional yang ditargetkan harus cepat selesai. (Nila Ertina)