Merdekakah Kita di Tengah Kerusakan Lingkungan?

Nurhasanah warga terdampak banjir limbah batubara

Oleh Nila Ertina

NURHASANAH (52) memandangi ladangnya yang kini tidak bisa lagi ditanami padi maupun sayuran, padahal dahulu menjadi mata pencariannya.

Ladang sebidang sebelumnya menjadi andalan dia memenuhi kebutuhan hidup keluarga tetapi kini hanya bisa dipandangi saja.

"Jangankan menanam padi atau sayuran, pohon pisang saja tidak lagi subur dan mati secara perlahan," kata Nurhasanah lirih.

Ladang warga Desa Muaramaung, Merapi Kabupaten Lahat akhir tahun lalu, tepatnya 27--28 Desember 2019 terendam banjir berupa lumpur tambang batubara.

Bukan hanya ladang dan kebun, rumah warga pun saat itu diterjang banjir limbah batubara.

Akibatnya, sebanyak 56 kepala keluarga pekarangan dan rumahnya kini tidak lagi bisa kembali bersih seperti semula.

Begitu juga dengan lahan perkebunan buah, karet dan ladang milik warga yang biasa ditanami padi bergantian dengan palawija kini rusak. Jumlahnya mencapai 120 bidang yang kini tak lagi bisa digunakan.

Sampai kini, Nurhasanah bersama puluhan kepala keluarga lainnya tetap bertahan untuk meminta ganti atas kerusakan lingkungan dengan angka yang sesuai.

Masalah warga desa yang berada tidak jauh dari lokasi empat perusahaan tambang batubara dan PLTU Keban Agung tersebut, sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2010.

Diawali dengan tercemarnya Sungai Kungkilan yang merupakan sumber air bagi masyarakat desa untuk mengairi ladang dan kegiatan mandi maupun mencuci.

Sungai Kungkilan juga andalan bagi warga, untuk memenuhi kebutuhan air bersih untuk minum dan memasak.

Namun, kini akibat pencemaran hilir sungai sudah tidak layak lagi untuk mengaliri sawah juga menyiram tanaman, apalagi untuk dikonsumsi.

Bahkan, ketika sejumlah pemuda desa melakukan ekspedisi ke hulu sungai, air dihulu pun kondisinya sangat mengkhawatirkan. Tak adalagi ekosistem sungai yang berkembang biak.

Sebagian air berwarna hitam pekat dan berbau, padahal dulu Sungai Kungkilan adalah sumber penghidupan warga desa.

Di tengah kondisi pandemi COVID-19 saat ini, bukan hanya Nurhasanah yang terpaksa hanya meratapi nasib karena tidak bisa berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak.

Perempuan-perempuan desa lainnya juga kondisinya tidak jauh berbeda, hanya berharap pada yang maha kuasa untuk tetap dikuatkan berjuang menuntut hak sampai terealisasi.

Meskipun sudah 75 tahun Indonesia merdeka tetapi kemenangan dalam menuntut hak atas kerusakan lingkungan, baik kebun dan ladang, sungai yang tercemar bukan perkara muda bagi warga.

Terus Berjuang Tuntut Penggantian

Kerusakan lingkungan tidak hanya berdampak pada timbulnya permasalahan ekonomi di tengah masyarakat Desa Muaramaung, tetapi juga menimbulkan masalah lain berupa terganggunya kesehatan pernapasan akibat pencemaran udara.

Syahwan pemuda Desa Muaramaung mengatakan beroperasinya perusahaan batubara dan PLTU di wilayah tersebut juga telah menyebabkan warga desa kini banyak mengeluhkan gangguan pernapasan.

Bagaimana tidak, limbah pembakaran batubara bukan hanya berbentuk padat tetapi juga mencemari udara.

Pun begitu dengan bekas limbah batubara yang membanjiri pemukiman warga dan ladang akhir tahun lalu, kini sudah berubah jadi debu-debu yang setiap saat terhirup orang dewasa maupun anak-anak, kata dia.

Dia mengisahkan, tuntutan ganti atas kerugian warga telah mereka suarakan usai banjir limbah batubara.

Namun, hingga kini belum ada kesepakatan dari empat perusahaan yang telah berulangkali di mediasi terkait realisasi tuntutan warga, ungkap dia.

Warga kini sulit untuk mencari nafkah karena lebih dari seratus bidang ladang tidak bisa diolah lagi menjadi lahan produktif seperti sedia kalah.

Dimana setiap bidang lahan tersebut paling sedikit sekitar 0,25 hektare. Memang ada warga yang telah tergiur janji oknum sehingga hanya menerima Rp1,5 juta per bidang. Terakhir ada juga 10 warga yang menerima Rp6 juta per bidang.

Sisanya 36 KK kini bertahan untuk mendapatkan pengantian yang sesuai dengan kerusakan parah lahan dan rumah mereka serta dampak tidak bisa bertani lagi.

Upaya mediasi telah dilakukan beberapa kali, warga pun pada Juni dan Juli melakukan aksi menuntut hak dan menagih janji dengan menutup akses jalan menuju empat perusahaan tambang batubara di wilayah tersebut.

Hingga hari ini, 17 Agustus 2020, belum ada titik temu terkait dengan tuntutan warga sebesar Rp2,3 miliar yang sangat realistis karena kebun karet, kebun jahe, tanaman padi dan sayuran kini hanyalah tinggal cerita lampau.

Sementara perusahaan terus mengeksploitasi kekayaan alam dan menghimpun pundi-pundi kekayaan mereka.

"Kami tidak akan menyerah, kami terus berjuang karena salah satu bukti kemerdekaan bagi kami adalah hak atas kerugian dipenuhi perusahaan," ujar Syahwan.

Dia juga meminta agar pemerintah membuka secara luas informasi terkait kerusakan alam dan lingkungan.

Dengan juga berperan dalam mendorong dan memfasilitasi masyarakat untuk terus menjaga kelestarian lingkungan dan menyetop izin usaha yang tak berpersepektif lingkungan jangka panjang, sebut dia.

Bagikan

Related Stories