Penasaran Sejarah Komodo yang Tersohor dan Kekinian Disebut Terancam Punah, Ternyata ada Peran Ilmuwan Belanda

'Buaya Darat Raksasa' Komodo (Istimewa)

JAKARTA,  WongKito.co -  Penasaran bagaimana satwa khas Indonesia, Komodo tersohor dan kekinian dikabarkan terancam punah. Berdasarkan laporan dari  The Guardian Sabtu, 05 September 2021 kepunahan  Komodo disebabkan karena efek lingkungan, baik karena pemanasan global maupun kerusakan akibat ulah manusia . 

Dipercaya sudah ada sejak zaman purba, lantas, bagaimanakan sebetulnya asal usul komodo? Selain itu, siapakan yang awal menjumpai hewan tersebut selain tentunya masyarakat setempat. Ternyata ada peran ilmuwan asal Belanda. 

 “Pieter Antonie "Peter" Ouwens (14 Februari 1849 – 5 Maret 1922) adalah ilmuwan Belanda yang menjadi Direktur “The Java Zoological Museum and Botanical Gardens” (Kebun Raya)  Bogor. Ia banyak dikenal atas tulisan penggambaran resmi pertama komodo (Varanus komodoensis) pada tahun 1912.”  Begitu tulis ensiklopedia bebas, Wikipedia.org.

Melansir Floresku.com, jejaring WongKito.co, Minggu (5/9/2021) selama berperan sebagai kurator Kebun Raya Bogor, Owens pernah menerima foto dan kulit Komodo dari Letnan  Jacques Karel Henri van Steyn van Hensbroek yang merupakan orang Barat pertama yang mengamati biawak raksasa yang disebutkan panjangnya mencapai 6-7 meter. Ouwens kemudian mengutus seorang kolektor ke Pulau Komodo yang kembali ke Jawa dengan 2 spesimen dewasa dan 1 spesimen muda. Peter Ouwens menyebut spesies tersebut Varanus komodoensis dalam jurnal tahun 1912. 

Dalam tulisannya yang berjudul "De Voornaamste Giftslangen Van Nederlandsch Oost-Indië' (1912) Peter Owens mencatat bahwa pada tahun 1910,  pemerintah kolonial Belanda menempatkan Letnan Jacques Karel Henri van Steyn van Hensbroek untuk bertugas di Pulau Flores di Indonesia bagian timur. Suatu ketika, van Steyn menerima kabar tentang "buaya darat" dengan ukuran luar biasa besar yang hidup di pulau terdekat Komodo. 

Penasaran dengan kabar dari masyarakat lokal, van Steyn pun  berangkat ke Pulau Komodo untuk menyelidiki sendiri. Ia kembali dengan sebuah foto dan kulit binatang itu, yang ia kirimkan kepada Peter Ouwens, yang saat itu menjabat sebagai direktur Java Zoological Museum and Botanical Gardens di Buitenzorg (sekarang Bogor). 

Hewan itu bukan buaya dalam bentuk apa pun, tetapi biawak besar. Peter Ouwens menyadari bahwa hewan ini baru dalam ilmu pengetahuan dan menerbitkan deskripsi formal pertama tentang hewan tersebut, yang sekarang kita kenal sebagai komodo, Varanus komodoensis (Ouwens, 1912).

Foto pertama Komodo yang dibuat oleh van Steyn Hensbroek (Sumber: Ouwens, 1912). Buletin de Institut Botanique de Buitenzorg (Sumber: Biodiversity Heritage Libray/thequardian.com)

Meskipun fosil varanid raksasa telah dikenal sejak pertengahan 1800-an, penemuan bahwa kadal raksasa masih ada di antara kita, meskipun di beberapa pulau terpencil di Asia Tenggara yang jauh, disambut dengan pesona dan kegembiraan. 

Kemudian, ahli zoologi berangkat untuk mengumpulkan lebih banyak specimen. Beberapa di antaranya bahkan dibawa kembali ke Eropa hidup-hidup, dan berbagai aspek biologi dari binatang langka itu mereka pelajari dengan cermat. 

Penemuan tersebut bahkan dikatakan menjadi inspirasi di balik film King Kong. Tetapi baru pada tahun 1969, ketika seorang herpetologis di Museum Sejarah Alam Florida, Walter Auffenberg, pindah bersama keluarganya ke Pulau Komodo. Auffenberg adalah orang pertama yang melakukan studi dalam kurun waktu panjang pertama tentang Komodo. Bersama dengan asistennya Putra Sastrawa, Auffenberg menandai dan mempelajari lebih dari 50 Komodo liar, dan menghasilkan manuscript berjudul  “The Behavioral Ecology of the Komodo Monitor.

 Hewan Endemik

Menurut Natural History Notebooks (nature.ca), Komodo adalah hewan endemik yang hanya ditemukan di pantai utara Flores dan di pulau-pulau terdekat seperti Komodo, Rinca, Gili Motang dan Nusa Kode (Purwandana et al., 2014), dan sejumlah kecil berada di pantai utara Flores, sekitar wilayah Pota, Manggarai Timur. 

Komodo, juga disebut biawak Komodo, adalah spesies kadal terbesar di dunia. Ini adalah spesies purba: fosil paling awal yang diketahui dari genus Varanus muncul sekitar 40 juta tahun yang lalu.

Kadal ini dapat mencapai panjang hingga 3 m (10 kaki) atau lebih, dan beratnya dapat mencapai 126 kg (277 lb). Jantan lebih besar dari betina, yang jarang melebihi 2,5 m (8,2 kaki). Komodo dapat hidup lebih dari 50 tahun di alam liar. Komodo dewasa memiliki  ekor yang kokoh, lengan yang kekar dengan cakar besar dan gigi bergerigi tajam serta lidahnya yang penuh seringmenjulur keluar.

Melalui artikel bertajuk, “Komodo Dragons Kill With Venom“  Bryan Fry dari University of Melbourne Australia menyatakan, Komodo termasuk spesies reptil yang berbahaya dan mematikan. Kemampuan mematikan tersebut didapat lantaran kuatnya gigitan serta racun berbisa yang muncul dari ribuan kelenjar pada gusinya. Beberapa orang menyebutnya sebagai ribuan bakteri mematikan yang ada di liur mulutnya. 

Tetapi ada sanggahan dari beberapa ilmuan peneliti racun dari University of Melbourne di Australia mengatakan bahwa “semua bakteri itu adalah dongeng ilmiah,” kata Bryan Fry.

Sebagai karnivora bertubuh besar, komodo dewasa melahap binatang herbivora besar seperti rusa dan babi, yang mereka sergap di sepanjang jalan setapak, dilengkapi dengan burung dan mamalia kecil, dan turis sesekali. Menurut warga lokal,  turis terakhir yang pernah disantap Komodo adalah  seorang Swiss. Itu terjadi pada tahun 1974.

Komodo dewasa dapat mengkonsumsi hingga 80 persen dari berat tubuhnya dalam satu kali makan. Ia memiliki dua organ sensorik yang sangat berkembang yang memungkinkan naga mendeteksi bangkai yang membusuk dari jarak sejauh 10 km (6,2 mil). Ini terutama pemulung, tetapi juga akan menguntit hewan mulai dari hewan pengerat kecil hingga kerbau besar. Itu terletak tidak bergerak dan disamarkan di sepanjang jalur permainan untuk yang tidak waspada, yang cenderung sangat muda, tua dan sakit. Dalam sebuah serangan, ia menerjang korbannya dengan kecepatan yang menyilaukan dan menjepitnya dengan gigi rahang yang bergerigi. Pembunuhan biasanya dilakukan oleh banyak komodo dan sangat sedikit yang terbuang.

Perkawinan terjadi di atau di sekitar lokasi makan. Pada bulan September, sekelompok 15 hingga 30 telur dikubur di sarang yang digali oleh cakar naga betina yang kuat. Tukik muncul dari sarang 8 atau 9 bulan kemudian dan segera memanjat pohon terdekat untuk menghindari dimakan oleh orang dewasa. Mereka hanya akan turun ke dasar hutan kira-kira setahun kemudian.

Binatang pemalu

Namun terlepas dari fisiknya yang menakjubkan, komodo adalah makhluk pemalu yang akan menghindari pertemuan dengan manusia. 

Di beberapa lokasi, para turis  harus mengumpannya dengan  seekor kambing selama 3 hari sebelum Komodo muncul. 

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) total jumlah Komodo pada 2018 sebanyak 2.897 ekor dan pada tahun 2019 bertambah menjadi 3.022 ekor atau bertambah 125 individu. Konsentrasi populasinya berada di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Hanya sebanyak 7 individu di Pulau Padar, 69 individu di Gili Motang, dan 91 individu di Nusa Kode.

Namun IUCN dalam rilisnya yang terbit melalui theguardian.com (5/9) perusakan habitat yang terus berlanjut mengancam distribusi mereka yang sudah terbatas, dapat membuat biantang purba tersebut  semakin rentan terhadap kepunahan.

Fosil kepala Komodo purba, ‘Kakek’ dari Komodo ‘modern’ yang ditemukan di Benua Australia (Sumber: theguardian.com)

Berasal dari Benua Australia

Sebagian besar makanan Komodo ‘modern’ terdiri dari hewan yang bukan asli daerah tersebut. Kepulauan Sunda Kecil, di mana Flores dan pulau-pulau lainnya menjadi bagiannya, tidak pernah terhubung ke daratan Asia. 

Menurut van den Bergh et al., (2009) sampai jaman Pleistosen Akhir (Pleistosen dimulai dari 129.000 tahun lalu, hingga 11.700 tahun lalu, red) . satu-satunya herbivora besar yang ada di pulau-pulau itu adalah gajah kerdil. Rusa dan babi diperkenalkan ke pulau-pulau tersebut oleh manusia modern sekitar 4-5.000 tahun yang lalu. 

Hal ini menyebabkan beberapa ilmuwan berpendapat bahwa Komodo telah berevolusi dari nenek moyang yang berukuran kecil, dan hanya berevolusi dengan ukuran tubuh yang lebih besar setelah kedatangan mereka ke kepulauan Flores. Dengan tidak adanya mamalia karnivora, ukuran tubuh yang lebih besar akan memungkinkan komodo mengisi relung predator puncak dalam perburuan gajah kerdil (Diamond, 1987).

Namun, selama beberapa dekade terakhir, interpretasi evolusi ukuran tubuh Komodo ini telah berubah, terutama karena temuan fosil kadal monitor besar dan raksasa di seluruh Indonesia dan Australia. 

Fosil tertua Varanus komodoensis berasal dari Pliosen akhir ( sekitar 3 juta tahun yang lalu) di daratan Australia, dan ukurannya sudah mirip dengan komodo yang masih hidup (Hocknull et al., 2009). Hal ini menunjukkan bahwa komodo berasal dari Australia bersama berbagai megafauna berkantung, bukan terisolasi di Komodo atau Flores. Selain itu, bahan Australia menunjukkan bahwa Komodo mencapai ukuran besar di awal evolusi mereka.

Hal itu dikukuhkan oleh hasil studi baru yang dilakukan Australian National University mengungkap sejarah dari kadal atau ‘buaya darat’ raksasa, Komodo. Studi itu menunjukkan, meskipun terkenal di Indonesia, komodo kemungkinan berasal dari Australia, seperti yang diprediksi oleh temuan fosil sebelumnya.

Dari Australia, Komodo menyebar ke arah barat, tetapi kapan ini terjadi tidak diketahui. Fosil dari wilayah tengah Flores yang panas menunjukkan bahwa Komodo pertama kali muncul di pulau itu sekitar satu juta tahun yang lalu, dan hidup bersama gajah kerdil, kura-kura raksasa, dan tikus raksasa, dan terus berlanjut selama ribuan tahun.

Bukti fosil dari Timor dan Sumba menunjukkan bahwa ketika varanid menyebar ke barat dari Australia ke Asia pada awal Pleistosen, mereka menyebar ke beberapa spesies. Varanid bahkan mungkin telah melewati garis Wallace dan mencapai Jawa, sebagaimana dibuktikan oleh fosil varanid dari pulau yang memiliki kemiripan dengan komodo (Hocknull et al., 2009). 

Pada saat yang sama, radiasi varanid di Australia memunculkan varanid yang lebih besar, Varanus priscus, (juga dikenal sebagai Megalania) yang panjangnya mungkin mencapai 7 meter (Molnar, 2004), menjadikannya kadal darat terbesar yang pernah ada. .

Tak satu pun dari raksasa lacert ini selamat dari era Pleistosen. Untuk varanid Jawa dan Timor, hanya segelintir tulang yang mengingatkan kita akan keberadaan mereka, dan waktu kepunahan mereka masih belum diketahui. Di Australia, Varanus priscus hidup berdampingan sebentar dengan manusia pertama di benua itu (Price al., 2015), sebelum menghilang pada Pleistosen Akhir, sehingga sangat mungkin bahwa manusia pertama di Australia melihat salah satu raksasa ini.

Di Flores, bukti dari Liang Bua, sebuah gua kapur di Manggarai bagian tengah, menunjukkan bahwa Komodo hidup berdampingan dengan gajah kerdil, hominin kecil (Homo floresiensis), bangau dan burung pemakan bangkai raksasa hingga 50.000 tahun yang lalu (Sutikna et al., 2016). Tetapi karena sesama penduduk pulau punah, populasi Komodo menyusut secara signifikan. 

Saat ini, populasi kecil Komodo bertahan hidup di sekitar Pota, pantai utara Pulau Flores dan di pulau-pulau terdekat yang pernah terhubung ke Flores selama permukaan laut rendah. Di sana, kadal purba raksasa terakhir bertahan hidup. Tapi untuk berapa lama lagi?

(MA dan MAR dari berbagai sumber)

Tulisan ini telah tayang di floresku.com oleh redaksi pada 05 Sep 2021 

Bagikan

Related Stories