PLN Rilis Skema Tagihan Listrik Agar tak Bengkak

ilustrasi

JAKARTA, WongKito.co – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN merilis skema penghitungan tagihan untuk menghindari serta melindungi pelanggan dari lonjakan tagihan.

Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril mengatakan skema tersebut diharapkan dapat menjawab keluhan pelanggan yang mengalami lonjakan tagihan listrik hingga berlipat-lipat.

“Dengan skema perlindungan terhadap lonjakan tersebut, PLN mengatur kenaikan lonjakan tagihan pada bulan Juni maksimum naiknya adalah 40% dari tagihan bulan sebelumnya supaya tidak memberatkan konsumen,” kata Bob dalam keterangan pers, Kamis, 4 Juni 2020.

Dia menambahkan sisa dari tagihan yang belum terbayar di bulan Juni atau 60% dari lonjakan tagihan tersebut akan dibagi rata selama tiga bulan ke depan.

Bob menyebutkan dengan skema ini, pihaknya harus melakukan pemeriksaan data setiap pelanggan satu per satu untuk memastikan supaya kebijakan tersebut tepat sasaran pada pelanggan yang mengalami lonjakan tidak normal.

“Oleh karena itu, tagihan pelanggan yang biasanya sudah bisa dilihat pada tanggal 2 atau 3 pada tiap awal bulan, baru bisa diterbitkan dan bisa diakses pada tanggal 6 Juni,” jelasnya.

Bob menjelaskan lonjakan tagihan yang dialami pelanggan dikarenakan selama dua bulan terakhir pihaknya menanggih biaya listrik berdasarkan penghitungan rata-rata pemakaian tiga bulan terakhir sebagai akibat dari pemberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah wilayah.

Alhasil, tagihan listrik pada bulan April dan Mei mengalami lonjakan drastis pada sejumlah pelanggan. Maka dari itu, Bob menyampaikan PLN berupaya memberikan jalan keluar terbaik bagi pelanggan yang tagihannya melonjak.

Selain itu, kata Bob, PLN juga masih terus melakukan pengecekan ulang terhadap pelaksanaan pemberian subsidi pembebasan tagihan listrik untuk pelanggan golongan rumah tangga, bisnis kecil, dan industri kecil berdaya 450 VA dan diskon 50% bagi pelanggan rumah tangga 900 VA bersubsidi.

Dia menyebutkan pihaknya terus melakukan pengecekan tersebut untuk memastikan bahwa stimulus kelistrikan yang diberikan oleh pemerintah benar-benar tepat sasaran.

Dikatakannya, PLN juga sudah menyiapkan posko pengaduan tambahan untuk menambah kekuatan layanan pelanggan yang sudah ada sebelumnya, sehingga setiap pelanggan dapat dilayani dan dijelaskan dengan baik.

“Ini adalah upaya kami untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan di tengah situasi pandemi yang sulit seperti sekarang,” kata dia.

Kompensasi dari Pemerintah Rp90,42 Triliun

Sementara itu, pemerintah segera membayar dana kompensasi kepada PLN dan PT Pertamina (Persero) sebesar Rp90,42 triliun karena merupakan kewajiban pemerintah setelah melalui audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan tidak terkait program pemulihan ekonomi dampak COVID-19.

“Kami tidak mengklaim kompensasi Pertamina dan PLN sebagai bagian dari pemulihan ekonomi nasional. Itu kewajiban pemerintah yang harus dibayar,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu dalam keterangan pers daring di Jakarta, Kamis, 4 Juni 2020.

Menurut dia, kompensasi itu masuk dalam komponen belanja negara sebagai bentuk dukungan pemerintah kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam APBN 2020.

Adapun rinciannya adalah Pertamina mendapatkan kompensasi sebesar Rp45 triliun terdiri dari kompensasi dalam Perpres No 54 tahun 2020 sebesar Rp7,17 triliun dan kompensasi dalam dukungan tambahan sebesar Rp37,83 triliun.

Sedangkan PLN, mendapatkan kompensasi sebesar Rp45,42 triliun terdiri dari kompensasi dalam Perpres 54 tahun 2020 sebesar Rp7,17 triliun dan kompensasi dalam dukungan tambahan sebesar Rp38,25 triliun.

Untuk PLN, diusulkan akan dibayar kompensasinya secara penuh dan Pertamina dibayar 50% tahun ini dan sisanya diangsur hingga tahun 2022.

“Kompensasi itu ketika realitanya mungkin lebih tinggi dari yang ditetapkan dari UU APBN,” katanya.

Febrio menyebut selama bertahun-tahun pemerintah belum membayar kompensasi kepada dua BUMN tersebut karena masih dianggap mampu menanggung beban.

Namun di sisi lain keduanya juga perlu didukung karena menyangkut posisi mereka sebagai perusahaan global.

“Ketika dia berada di pasar global, ia menjadi representasi pemerintah juga, dia ada peran sovereign, jika kondisi keuangan tidak baik, itu menjadi contingency liability bagi pemerintah sehingga pemerintah memasukkan itu sebagai bagian pertimbangan,” katanya. (SKO)

 

Bagikan

Related Stories