Riset SETARA Institute: Palembang Masuk 10 Kota dengan Toleransi Terendah

Ilustrasi: aktivitas di Sungai Musi, Palembang (palembang.go.id)

PALEMBANG, WongKito.co - Hasil riset SETARA Institute yang merupakan organisasi nonpemerintah yang konsens pada menghormati keberagaman, mengutamakan solidaritas dan menjunjung tinggi martabat manusia merilis laporan Indeks Kota Toleran (IKT) di Indonesia.

SETARA Institute merilis sebanyak 94 kota pada IKT dengan berdasarkan pada riset pengukuran kinerja kota yang meliputi pemerintah kota dan elemen masyarakat dalam mengelola keberagaman, toleransi dan  inklusi sosial. Pengukuran IKT mengombinasikan paradigma hak konstitusional  warga sesuai jaminan konstitusi, hak asasi manusia sesuai standar hukum HAM  internasional dan tata kelola pemerintahan yang inklusif,  hasilnya dipublikasikan pada, Selasa (30/1/2024).

Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan menjelaskan hasil penelitian menunjukan sebanyak 10 kota dengan tingkat toleransi tertinggi, seperti Singkawang, Bekasi dan Salatiga.

Sedangkan 10 kota dengan IKT terendah diantaranya adalah Sabang, Bandar Lampung dan Palembang, kata dia dalam siaran pers yang diterima, Rabu (31/1/2024).

Menurut dia penelitian dilaksanakan dengan menerapkan konsep toleransi ke dalam sejumlah variabel sistemik kota yang dapat memengaruhi perilaku sosial antar identitas dan entitas warga meliputi empat parameter.

Adapun empat parameter tersebut adalah regulasi pemkot, tindakan aparatur pemkot, prilaku antar entitas termasuk warga dengan warga, pemerintah dengan warga serta relasi sosial dalam heterogenitas demografis warga kota, tambah dia.

Peneliti SETARA Institute, Ikhsan Yosarie menambahkan, temuan terhadap kota dengan skor toleransi tertinggi adalah inovasi dan terobosan yang dilakukan kota-kota, yang pada pokoknya menuju pelembagaan toleransi dan tata kelola pemerintahan inklusif merupakan capaian progresif-kolektif yang menjadi temuan penelitian ini.

Tahun 2023 menjadi tahun dimana kota-kota memastikan pelembagaan pemajuan toleransi ke dalam bentuk produk hukum daerah. Visi toleransi yang sebelumnya berada pada level narasi dan program insidental, di tahun 2023 telah bertransformasi menjadi kebijakan dan program sistemik yang dituangkan dalam peraturan daerah, peraturan walikota dan program-program strategis berkelanjutan.

Capaian pada 10 kota teratas adalah dampak keterpenuhan tiga aspek kepemimpinan yang dibutuhkan dalam memperkuat ekosistem toleransi di sebuah kota: kepemimpinan kemasyarakatan (societal leadership),  kepemimpinan politik (political leadership) dan kepemimpinan birokrasi (bureaucratic leadership).

Sedangkan temuan pada kota dengan skor toleransi terendah, terdapat temuan positif bahwa kota-kota pada peringkat 10 terbawah ini telah melakukan berbagai upaya untuk membenahi diri, mulai membangun ekosistem 
toleransi terutama melalui perluasan partisipasi dan peran yang diambil elemen masyarakat.

Hal tersebut terpotret melalui temuan rata-rata skor pada 10 kota terbawah yang mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya.

Pada IKT 2022, zona 10 kota terendah berada pada rata-rata skor 4,17. Skor tersebut naik 5 pada IKT 2023 menjadi 4,33. Dengan kata lain, meskipun masih berada di papan bawah, kota-kota tersebut mulai berbenah.

Namun demikian, perlu juga dipahami bahwa 10 kota dengan skor terendah, hingga saat ini masih menghadapi tantangan pada aspek kepemimpinan politik dan kepemimpinan birokrasi yang kurang kondusif dalam pemajuan toleransi, sekalipun kepemimpinan sosial toleransi mulai tumbuh.

Artikulasi dua tantangan kepemimpinan ini mewujud pada masih menguatnya favoritisme atas kelompok 
sosial keagamaan tertentu dan formalisme keberagamaan yang digagas dan diinstitusionalisasi ke dalam tubuh kota melalui peraturan-peraturan yang berbasis agama. Aneka produk hukum berbasis agama tentu telah dan terus berpotensi menimbulkan tindakan diskriminatif.

Inilah yang oleh Komnas Perempuan (2009) disebut sebagai pelembagaan diskriminasi. Produk-produk hukum ini masih eksis di Aceh, Padang, Depok dan Cilegon, demikian papar dia.

Sementara skor rata-rata nasional sejak publikasi IKT pertama tahun 2015 terus mengalami peningkatan. Di tahun 2015 skor rata-rata berada di angka 4,75 dan angka tertinggi di tahun 2021 dengan skor 5,24. Sementara rata-rata nasional pada tahun 2023 adalah 5,06. Dengan demikian, meskipun sempat terjadi penurunan rata-rata nasional antara tahun 2021 ke 2022, tetapi progresivitas yang terjadi selama tahun 2023 memicu kenaikan rata-rata nasional dari tahun sebelumnya.

Angka 5,06 untuk rata-rata nasional dari skala 1-7 menunjukkan bahwa toleransi di Indonesia cukup baik dan menunjukkan status improving berkelanjutan.

Penelitian IKT 2023 menemukan 63 produk hukum baru yang progresif menopang ekosistem toleransi di kota-kota, dengan rincian 11 peraturan daerah, 16 peraturan walikota, 34 peraturan dan keputusan turunan teknis, dan 
2 rancangan perda yang segera dibahas dan disahkan.

Berikut ini enam rekomendasi SETARA Institute, Pertama. Pemerintah pusat, terutama Kementerian Dalam Negeri, 
Kementerian Hukum dan HAM dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila perlu melakukan peninjauan ulang terhadap produk hukum daerah yang diskriminatif, baik produk hukum daerah terdahulu maupun produk hukum daerah yang terbit dalam beberapa tahun terakhir. Aneka produk hukum tersebut tersebut nyata-nyata menjadi landasan pacu tumbuh suburnya praktik intoleransi, baik dilakukan aktor negara maupun non-negara.

Kedua. Pemerintah pusat perlu mendesain dan menerbitkan peraturan di tingkat nasional, seperti Peraturan Presiden, yang menjadi rujukan kota-kota dalam membuat peraturan untuk memastikan kokohnya kerangka hukum pemajuan toleransi di kotalkabupaten. Tata kelola pemerintahan inklusif (inclusive governance) didorong 
sebagai prinsip utama dalam menjawab tantangan virus intoleransi yang berada pada lapis negara maupun non-negara. 

Ketiga. Pemerintah pusat, terutama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), mendorong maupun memfasilitasi kolaborasi antarkota/kabupaten dalam pemajuan toleransi melalui perencanaan pembangunan yang toleran-inklusif pada 2024-2025, dimana proses penyusunan RPJMN dan RPJMD akan berlangsung secara serentak. Kebutuhan ini sejalan dengan Visi Indonesia 2045 yang menaruh perhatian pada aspek toleransi, kohesi sosial, inklusivitas, 
hingga kemajemukan. 

Keempat. Mendorong pemerintah provinsi untuk terlibat aktif dalam mengorkestrasi pembangunan ekosistem toleransi di wilayahnya, baik level kota maupun kabupaten. Produk hukum yang promotif terhadap toleransi pada tingkat provinsi perlu didorong agar diadopsi menjadi produk hukum level kabupaten/kota.

Kelima. Pemerintah pusat, provinsi dan kota/kabupaten memberikan dukungan anggaran memadai bagi FKUB dan bagi inisiatif-inisiatif pemajuan toleransi-inklusi di kota/kabupaten.

keenam. Mendorong kota-kota (dan kabupaten), baik antar pemerintah kota maupun elemen masyarakat sipil, untuk saling membangun kolaborasi dan gotong royong dalam rangka pemajuan toleransi.Kondisi ini terbukti berhasil dalam tular-menular pemajuan toleransi antar-kota.(ril)


Related Stories