Tahun Depan, Harga Emas Diprediksi Turun tak Sampai Rp1 Juta Per gram

Ilustrasi

WongKito.co - Melambungnya harga emas selama pandemi COVID-19 merupakan lazim terjadi di tengah krisis namun harga emas tahun 2021 diprediksi tak lagi sampai Rp1 juta per gram karena adanya harapan dari vaksin COVID-19 yang akan mengakhiri pandemi.

Dilansir dari data Bloomberg, harga emas di pasar komoditas COMEX pada awal Maret mulai mengalami kenaikan. Tercatat pada tanggal 2 bulan itu harganya masih berada di level US$ 1.644 per troy ons. Lalu, angkanya bergerak naik dan mencapai puncak pada 6 Agustus di level US$ 2.069 per troy ons.

Setelah itu, pergerakannya cenderung stagnan. Perkembangan vaksin virus corona yang positif pada awal bulan lalu membuat harganya berangsur-angsur turun. Komoditas tambang itu kini bergerak di level US$ 1.700 hingga US$ 1.800 per troy ons dan belum kembali ke area US$ 2 ribu per troy ons seperti Agustus 2020.

Di Indonesia, hal serupa terjadi. Harga emas PT Aneka Tambang (Persero) Tbk alias Antam sempat menyentuh rekor tertinggi di Rp 1,065 juta per gram pada 7 Agustus. Kemudian, angkanya cenderung stagnan di atas Rp 1 juta per gram, sebelum akhirnya turun pada bulan lalu.

Kini harapan vaksin akan menghentikan pandemi muncul. Bahkan vaksin buatan Sinovac asal Tiongkok telah hadir di Indonesia pada akhir pekan kemarin. Emas Antam hari ini, Selasa (8/12/2020), naik Rp 6 ribu ke level Rp 966 ribu per gram.

Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra mengatakan kenaikan harga emas memang terlihat dari awal pandemi. Investor khawatir penularan virus corona yang berlangsung cepat dan menyebar ke banyak negara. “Pasar panik sehingga masuk ke aset safe haven," kata dia dilansir dari Katadata.

Kekhawatiran itu sekarang mulai mereda karena keberhasilan uji vaksin virus corona. Investor mulai melirik aset lain yang lebih berisiko dan memberi hasil tinggi, seperti pasar modal dan uang.

Namun, 2021 masih mengundang sejumlah persoalan. Pelaku pasar masih mencermati kelancaran distribusi dan efektivitas vaksin. Stimulus fiskal dan moneter dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok, juga dalam pantauan.

“Distribusi vaksin yang lancar dapat mendorong pelemahan harga emas,” kata Ariston.

Bagaimana Proyeksi Harga Emas di Tahun Depan?

Selain kehadiran vaksin, pemulihan hubungan ekonomi AS dan Tiongkok juga akan membuat harga emas turun. Dengan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden AS terbaru, pasar berspekulasi perang dagang kedua negara akan berujung damai.

Ariston memperkirakan harganya di pasar spot tidak akan melebihi level tertinggi tahun ini. Kisarannya di level US$ 1.700 per troy ons. “Dapat dibilang tahun depan fase konsolidasi untuk emas,” ujarnya. Untuk Indonesia, perkiraanya harga logam mulia ini akan stagnan di level Rp900 ribu hingga Rp980 ribu per gram.

Analis Asia Valbury Futures Lukman Leong memproyeksi harga emas masih kuat secara teknikal maupun fundamental. Harapan stimulus dan meningkatnya kasus Covid-19 akan mendorong nilai komoditas tambang ini, meskipun tertahan kenaikan bursa saham dan perkembangan vaksin. "Sangat terbuka kemungkinan emas kembali di atas Rp 1 juta per gram,” ujarnya.

Antam melihat prospek bisnis emasnya sangat baik di masa mendatang. “Konsumen melihat komoditas ini sebagai instrumen investasi sekaligus alat lindung nilai,” ujar Senior Vice President Corporate Secretary Antam Kunto Hendrapawoko.

Seperti tahun ini, di 2021 perusahaan akan memaksimalkan produksi dan penjualan emas dari tambang perusahaan. “Kami berharap tren positif ini akan terus berlanjut,” ucapnya.

Berapa Produksi Emas Dunia?

Selama pandemi, permintaan akan komoditas emas terus meningkat. Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso mengatakan hal ini membuat nilai komoditas tambang itu tidak pernah turun secara jangka panjang.

Pandemi COVID-19 telah membuat angkanya bertahan tinggi. “Pemakaian gawai dan peralatan digital lainnya yang meningkat membuat penggunaan emas makin meningkat, selain untuk perhiasan," ujarnya.

Beberapa ahli sempat membicarakan tentang puncak produksi emas di dunia beberapa waktu lalu. Hasil diskusinya, melansir dari BBC, tren produksi emas dunia cenderung menurun.

Menurut data Dewan Emas Dunia (WGC), pada 2019 produksi tambang emas dunia turun 1% menjadi 3.531 ton dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan tahunan ini merupakan yang pertama sejak 2008.

Juru bicara Dewan Emas Dunia Hannah Brandstaetter mengatakan pertumbuhan pasokan tambang diproyeksi akan terus menurun dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini mengingat cadangan yang ada telah habis, sedangkan upaya untuk menggenjot penemuan besar baru semakin sulit. “Namun, anggapan bahwa produksi telah mencapai puncak masih terlalu prematur," kata dia.

Bahkan ketika puncak emas terjadi, para ahli mengatakan tidak mungkin terjadi penurunan dramatis dalam produksi. Sebaliknya, penurunan produksi bisa dilihat secara bertahap dalam beberapa dekade. "Produksi tambang memiliki garis datar, dan kemungkinan besar akan menurun, tetapi tidak secara dramatis," tambah Ross Norman dari MetalsDaily.com.

Di Indonesia, sejak 2015 hingga 2019, produksinya cenderung berfluktuasi. Dalam kurun waktu tersebut, selama tiga tahun berturut-turut produksi emas Indonesia mampu melebihi target pemerintah, seperti terlihat pada grafik Databoks berikut ini.

Namun jumlahnya menurun pada 2019. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat penurunannya terjadi karena merosotnya produksi emas PT Freeport Indonesia yang hanya 28 ton.

Pada semester I-2020, Freeport mengalami peningkatan produksi emas. Angkanya mencapai 321 juta pon di atau naik 18,88% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Siapa Saja Produsen Utama Emas Dunia?

BBC menulis sumber emas terbesar dalam sejarah adalah Witwatersrand Basin di Afrika Selatan. Tambang ini menyumbang sekitar 30% dari produksi emas dunia.

Sumber utama emas lainnya adalah tambang Mponeng yang sangat dalam di Afrika Selatan, tambang Super Pit dan Newmont Boddington di Australia, tambang Grasberg di Indonesia, serta tambang Nevada Gold Mines di AS.

Indonesia berada di posisi ke tujuh penghasil emas dunia. Kawasan tambangnya berada di Papua dan dikelola Freeport. Dari segi perusahaan, Nevada Gold Mines yang mayoritas dimiliki Barrick Gold, merupakan penambang emas tunggal terbesar di dunia yang memproduksi hingga 3,5 juta ons setahun.

Meskipun penemuan tambang emas baru masih dapat terjadi, namun menemukan cadangannya dalam skala besar menjadi semakin langka. Akibatnya, sebagian besar produksi saat ini berasal dari tambang tua yang telah berproduksi selama lebih dua dekade.

Selain itu, proses penambangan skala besar juga membutuhkan modal yang mahal. Banyak mesin-mesin berat dan keahlian untuk menambang area yang luas di dalam permukaan tanah.

Sekitar 60% operasi penambangan dunia saat ini merupakan tambang permukaan, sedangkan sisanya adalah tambang bawah tanah. “Penambangan semakin sulit karena banyak tambang besar dan tua seperti di Afrika Selatan. Cadangannya hampir habis," tambah Norman.

Pencapaian rekor harga emas tahun ini tak serta-merta mendorong peningkatan produksinya. "Mengingat skala operasi yang terlibat, perlu waktu untuk mengubah rencana tambang sebagai respons terhadap perubahan faktor eksternal, seperti harga emas," kata Brandstaetter. (*)

Bagikan

Related Stories