Ragam
Tolak Revisi UU TNI, ini Penjelasan Alissa Wahid dari Jaringan Gusdurian
YOGYAKARTA, WongKito.co - Penolakan terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus bergulir dari rakyat Indonesia dan organisasi masyarakat sipil, salah satunya adalah Jaringan Gusdurian.
Dalam beberapa hari terakhir DPR RI dan pemerintah membahas Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menuai protes dan kecaman dari masyarakat pro-demokrasi.
Meskipun mendapatkan penolakan, tetapi pembahasan RUU TNI disebut sudah rampung dan akan dibawa dibawa ke sidang paripurna, Kamis, 20 Maret 2025.
Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, dalam pernyatakaan sikap, Rabu, 19 Maret 2025 mengatakan ada banyak persoalan dalam agenda tersebut, mulai tidak adanya urgensi, diadakan di hotel mewah, hingga penjagaan oleh Komando Operasi Khusus Tentara Nasional Indonesia disebut (Koopssus TNI), yang merupakan salah satu unit pasukan elite yang dibentuk untuk menangani aksi terorisme.
Baca Juga:
- Maraknya Smishing, BRI Ajak Nasabah untuk Lebih Waspada
- Yuk Buat Meises Butter Cookies
- BPJS Kesehatan: Libur Lebaran Layanan Optimal dan Pemudik bisa Berobat di Faskes Terdekat
Dia menjelaskan salah satu kekhawatiran terbesarnya adalah RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI yang sudah dihapus di masa presiden KH Abdurrahman Wahid.
"Penghapusan Dwifungsi ABRI kemudian dirumuskan menjadi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai bagian integral reformasi TNI," ujar dia.
Alissa menuturkan pada masa Orde Baru, Dwifungsi ABRI diterjemahkan dalam tindakan masuknya tentara dalam segala sendi kehidupan. Dwifungsi ABRI menjadi alat untuk mencampuri urusan semua pihak tanpa terbendung lagi.
Orang sipil seolah-olah tidak mempunyai hak sama sekali untuk menentukan segala sesuatu tanpa izin ABRI, seperti pemilihan lurah dan sebagainya, tambah dia.
Masuknya ABRI untuk mengurusi semua bidang mematahkan inisiatif di bawah. Masyarakat merasa tidak ada gunanya lagi mencari alternatif karena akan dikalahkan alternatif dari militer. Hal ini merupakan praktik yang buruk dalam kehidupan berdemokrasi.
Dalam sistem demokrasi yang sehat, militer harus berada di bawah kontrol sipil dan tidak memiliki peran langsung dalam pemerintahan atau politik.
Hal itu, dikarenakan demokrasi mengutamakan supremasi sipil, yakni pemerintahan dijalankan oleh warga sipil yang dipilih secara demokratis. Dwifungsi militer akan mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil, sehingga melemahkan kontrol sipil atas angkatan bersenjata, kata Alissa.
Oleh karenanya Jaringan Gusdurian menyatakan sikap sebagai berikut:
Pertama, menolak revisi UU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI/Polri. Prajurit aktif harus fokus pada tugas pertahanan negara, bukan politik atau administrasi pemerintahan. Keterlibatan prajurit aktif dalam politik dapat mengurangi profesionalisme dan membuat tentara abai terhadap tugas utamanya sebagai penjaga kedaulatan negara. Selain itu, dengan kekuatan bersenjata dan posisi strategis dalam pemerintahan, tentara berpotensi menyalahgunakan kekuasaan, melanggar HAM, dan bersikap represif terhadap masyarakat.
Kedua, mengecam pembahasan RUU TNI yang tidak transparan dan cenderung menghindari pengawasan publik. Apalagi rapat tersebut menggunakan fasilitas mewah di tengah banyaknya jargon efisiensi yang berimbas pada memburuknya pelayanan publik di berbagai sektor.
Baca Juga:
- Tolak Danantara untuk DME, Sumatera Terang: Jadi Alat Melanggengkan Industri Batu Bara
- Hoaks:Tautan Kompensasi Rp 1,5 juta bagi Korban Blending BBM
- Yayasan Intan Maharani: Bahas Masalah Komunitas dan Siapkan Rencana Aksi
Ketiga, mengajak Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk menempatkan kepentingan bangsa dan negara dengan menolak bentuk-bentuk pelemahan demokrasi. Menyetujui RUU TNI yang berpotensi menghidupkan kembali Dwifungsi TNI/Polri adalah bentuk pengkhianatan pada reformasi.
Keempat, mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawal demokrasi dan semangat reformasi yang menjunjung tinggi supremasi sipil.
Kelima, mengajak seluruh penggerak Gusdurian untuk melakukan konsolidasi nasional bersama jejaring masyarakat sipil di berbagai titik guna mengamati dinamika sosial dan politik serta menyiapkan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan demokrasi.(ril)