JAKARTA, WongKito.co – Ajang politik 5 tahunan pemilihan umum, sudah di depan mata. Pada 14 Februari tahun 2024 masyarakat Indonesia akan memilih presiden baru, salah satu agenda yang akan harus diselesaikan oleh presiden baru Indonesia adalah transisi energi,” ujar Firdaus Cahyadi, Indonesia Team Lead Interim 350.org,
“Ironisnya, hingga kini tidak ada calon presiden peduli terhadap skema pendanaan transisi energi JETP (Just Energy Transition Partnership),” tegas dia, dalam siaran pers Rabu (20/12/2023).
Baca Juga:
- Ini Respons Dirut Garuda Terkait Laporan Sekarga ke Bareskrim Polri
- Sering dengar Kemudahan Gunakan Fitur Transaksi Mandiri Contactless, Simak Yuk
- Dukung Wirausahawan Muda, Hana Financial Group Lakukan ini
Ia mengungkapkan, November pemerintah baru Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP. “Parahnya, dokumen itu tidak mencerminkan keadilan dalam transisi energi,” ujar Firdaus Cahyadi, “Komposisi pendanaan transisi energi di dalam CIPP JETP didominasi utang dari negara-negara kaya yang lebih dahulu dan besar dalam mencemari atmosfir dengan gas rumah kacanya.”
Menurut dia, dalam dokumen JETP juga tidak secara khusus mengalokasikan pendanaan untuk aspek ‘Just’ (justice/keadilan). “Di KTT G20 Bali, kita semua berharap JETP akan berbeda dengan pendanaan transisi energi lainnya karena ada aspek ‘Just’ atau keadilan di dalamnya,” jelasnya, “Namun, dokumen CIPP JETP justru menunjukan bahwa aspek ‘Just’ atau keadilan itu telah dihilangkan, JETP tak lebih hanya jebakan utang baru yang mengatasnamakan transisi energi.”
Menurut Firdaus Cahyadi, dokumen CIPP JETP, yang justru mencerminkan ketidakadilan transisi energi, harus mendapatkan respon dari capres 2024. “Apakah jika mereka terpilih menjadi Presiden Indonesia akan membatalkan skema pendanaan JETP, yang tidak mencerminkan keadilan transisi energi itu atau tetap melanjutkan, tapi dengan cara yang berbeda sehingga aspek keadilannya lebih mengedepan?”, tanyanya.
Baca Juga: