Absennya Transisi Energi Berkeadilan dalam Agenda Indonesia Dihargai “Fossil of the Day”

Senin, 17 November 2025 14:57 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

IMG_20251115_110300.jpg
Solidaritas Perempuan Palembang menyebut COP 30 bukan cuma soal teknis dan investasi besar, tapi soal akar persoalan dari krisis Iklim. (wongkito.co/yulia savitri)

Belém, WongKito.co - Koalisi masyarakat sipil global menyematkan penghargaan “Fossil of the Day” bagi Indonesia pada 15 November 2025. Ini untuk pertama kalinya Indonesia diberikan penghargaan tersebut sejak berlangsungnya Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP)-UNFCCC.

Penghargaan yang diberikan oleh Climate Action Network (CAN) International merupakan sindiran pedas terhadap Indonesia karena memasukkan para pelobi bahan bakar fosil dalam tim delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim ke-30 atau COP30-UNFCCC yang sedang berlangsung di Belém, Brasil. 

CAN menyatakan, Indonesia adalah contoh paling buruk bagi negara berkembang yang mencontoh negara maju memasukkan pelobi industri fosil ke dalam tim delegasi. CAN International adalah koalisi beranggotakan lebih dari 1.900 organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan transisi energi berkeadilan bagi masyarakat sedunia.

CAN International menyatakan, keberadaan pelobi energi fosil telah mengintervensi negosiasi Pasal 6.4 terkait pasar karbon. Intervensi yang disebutkan CAN termasuk langkah menyalin poin-poin pembicaraan para pelobi, terkadang kata demi kata dan menyajikannya seolah-olah milik Indonesia sendiri. Intervensi tersebut bertentangan dengan sains dan merusak integritas lingkungan tepat ketika mekanisme Pasal 6.4 seharusnya melindunginya.

Country Director Greenpeace untuk Indonesia Leonard Simanjuntak menyatakan, dalam konteks politik nasional, oligarki industri fosil selalu berusaha menunda bahkan menghalangi transisi energi berkeadilan dan pencapaian target-target iklim Indonesia. 

“Kehadiran 46 orang pelobi industri fosil sebagai bagian dari delegasi Indonesia memperlihatkan secara telanjang pemihakan pemerintah pada oligarki industri fosil. Sikap pemerintah jelas mencederai dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas, yang sudah mengalami berbagai dampak bencana iklim yang semakin hari makin parah dan meluas,” kata Leonard.

Head of Campaign and Public Engagement Trend Asia Arip Yogiawan menilai, keterlibatan pelobi industri fosil Indonesia dalam COP30 tidak mencerminkan upaya serius dalam mengatasi krisis iklim. Menurutnya, kehadiran para lobi industri fosil menyebabkan isu-isu krusial seperti ketidakdilan yang ditimbulkan masifnya industri nikel menjadi terabaikan dalam ruang perundingan. 

“Kehadiran para pelobi fosil menunjukkan agenda ekstraktivisme lebih kuat ketimbang agenda untuk mendorong keadilan antargenerasi,” katanya.

Jumlah pelobi dari industri fosil di COP30 meningkat pesat. Organisasi Kick Big Polluters Out mencatat jumlah pelobi industri yang diberikan akses ke COP30 mencapai 1.600 orang. Ini artinya satu dari setiap 25 orang adalah seorang pelobi. Ini angka tertinggi selama berlangsungnya COP.

Koordinator Climate Rangers Ginanjar Ariyasuta menilai, angka tersebut menunjukkan semakin melemahnya integritas proses negosiasi iklim terutama ketika pintu-pintu kian terbuka bagi pelaku utama pemicu krisis iklim. 

Dia menilai kondisi tersebut akan membebani generasi muda karena harus membereskan masalah ini di masa depan. 

“Setiap ruang yang diberikan kepada industri fosil di COP adalah ruang yang direbut dari masa depan kami. Bagaimana orang muda bisa berharap hidup di masa depan yang adil, lestari dan sejahtera jika pelaku krisis justru diberi panggung untuk mengarahkan pembahasan?” kata Ginanjar. (*)