Jumat, 20 Desember 2024 09:21 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA - Peningkatan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) dilakukan pemerintah dengan berupaya menciptakan sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Namun, hingga 2023, realisasi bauran EBT baru mencapai 13,09%, masih jauh di bawah target sebesar 17,87%.
Sedangkan pada semester pertama 2024, kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT yang telah terpasang hanya memenuhi 66,6% dari target tahunan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2024 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), pemerintah menargetkan bauran energi EBT mencapai minimal 23% pada 2025.
Untuk mencapainya, berbagai upaya terus dilakukan, termasuk peningkatan kapasitas terpasang, produksi, dan konsumsi EBT. Tidak hanya itu, pemerintah juga sedang merancang regulasi baru yang lebih ambisius, menetapkan target bauran EBT sebesar 60% pada 2050 dan sekitar 70% pada 2060.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan bahwa pemerintah bersama PT PLN (Persero) akan menyusun Rancangan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2035. Rencana strategis ini bertujuan menjadi panduan kerja sama antara pemerintah, PLN, dan pengembang pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP).
Baca Juga:
Kolaborasi dengan IPP diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penyediaan energi yang merata, andal, dan berkelanjutan. Selain itu, teknologi modern dari IPP juga dapat menekan biaya produksi listrik, yang pada akhirnya berdampak positif pada tarif listrik untuk konsumen.
Pendanaan pembangunan infrastruktur pembangkit listrik berbasis EBT menjadi salah satu tantangan terbesar. Menurut Chatib Basri, Menteri Keuangan pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, keterbatasan ruang fiskal negara membuat pembiayaan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sulit dilakukan. Jika PLN harus membiayai sebagian besar pembangunan, mereka perlu melakukan pinjaman besar-besaran.
Di sinilah IPP memiliki peran penting sebagai mitra strategis. IPP dapat menarik investasi melalui skema pembiayaan hijau seperti green bond atau green financing, yang khusus digunakan untuk proyek-proyek berkelanjutan. Hal ini membantu pemerintah menjaga stabilitas fiskal sembari mengalokasikan APBN untuk sektor lain.
Sebagai gambaran, pengembangan infrastruktur energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan hingga 2025 diperkirakan membutuhkan investasi sebesar US$14,2 miliar atau sekitar Rp22,78 triliun (kurs Rp16.032 per US$). Kehadiran IPP memungkinkan pemerintah mengurangi beban fiskal negara.
Dengan energi listrik yang memadai, target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto menjadi lebih realistis.
"Pemerintah membutuhkan suplai energi besar untuk mengejar target tersebut, dan IPP dapat memainkan peran penting di sini," jelas Chatib melalui keterangan yang diterima TrenAsia, Kamis, 19 Desember 2024.
Proyek pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT juga dipryeksikan menciptakan lapangan kerja baru bagi ribuan tenaga kerja di sektor energi. Energi terbarukan yang lebih bersih dan murah dalam jangka panjang akan memberikan manfaat besar, termasuk pengurangan tarif listrik bagi masyarakat.
Baca Juga:
Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dinilai akan mendorong inovasi di sektor EBT. Teknologi modern yang diadopsi menciptakan peluang dalam rantai pasok dan manufaktur energi terbarukan, seperti produksi panel surya, turbin angin, hingga komponen kendaraan listrik.
Selain itu, investasi pada infrastruktur lain seperti jaringan transmisi, smart grid, dan penyimpanan energi hijau menjadi peluang besar untuk mendukung keberlanjutan energi.
Di luar sektor energi, pengembangan EBT juga dapat merangsang sektor lain seperti ekowisata berbasis ramah lingkungan. Dengan adanya infrastruktur yang memadai, Indonesia dapat menjadi salah satu negara terdepan dalam pengembangan energi terbarukan.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Idham Nur Indrajaya pada 20 Dec 2024