Rabu, 28 Juli 2021 20:23 WIB
Penulis:Nila Ertina
Mungkin kita termasuk yang bosan dan sangat jenuh menghadapi pandemi COVID-19 yang masih melanda secara global. Terdapat berbagai ketimpangan, kebijakan pemerintah yang dilematis, aktivitas dibatasi, dan hal lainnya.
Namun sebagai muslim yang taat, bagaimana sikap terbaik yang harus di ambil, terlebih pendemi belum dapat diprediksi kapan akan berakhir.
Sebenarnya apa hikmah yang ada di baliknya?
Pandemi COVID-19 adalah cobaan dari Allah swt. Biasanya, suatu cobaan turun untuk membedakan mana hamba yang benar-benar beriman kepada-Nya dan mana yang sebaliknya.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: مَا كَانَ اللهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ ... (آل عمران : 179)
Artinya: “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang beriman menetapi kondisi yang kalian alami (sekarang, yaitu bercampurnya orang yang ikhlas beriman dan yang tidak ikhlas beriman), sehingga Allah akan memisahkan orang buruk (munafik) dari orang baik (mukmin).” (QS Ali ‘Imran: 179).
Ayat ini berkaitan dengan Perang Uhud. Salah satu peperangan yang paling menguji keimanan umat Islam. Saat itu banyak cobaan yang Allah turunkan, seperti banyak sahabat yang mati syahid dan pasukan musuh yang mendominasi peperangan setelah pasukan pemanah dari umat Islam terkecoh. Bahkan, Rasulullah saw sendiri dikepung oleh musuh hingga hampir saja terbunuh.
Imam Fakhruddin ar-Razi dalam Mafâtîhul Ghaib menjelaskan, saat perang Uhud pasukan kaum muslimin terdiri dari dua kelompok, yaitu pasukan yang betul-betul beriman dan pasukan yang munafik. Pasukan yang betul-betul beriman mengikuti peperangan sampai selesai, meskipun berbagai cobaan datang bertubi-tubi.
Sementara pasukan munafik mundur perang saat Allah menurunkan cobaan. Bahkan, tidak sedikit pasukan munafik yang mundur sebelum berperang. (Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, juz IX, halalaman 114).
Demikian pula Pandemi Covid-19 yang merupakan cobaan dari Allah swt, bisa jadi untuk membedakan antara muslim sejati dan yang bukan. Untuk itu, perlu kiranya kita memahami sebenarnya apa rahasia Allah menurunkan cobaan ini dan bagaimana sikap terbaik yang seharusnya diambil.
Saat cobaan turun kepada manusia beriman, ada tiga kemungkinan. Pertama, cobaan sebagai penghapus dosa. Kedua, cobaan sebagai pengangkat derajatnya di sisi Allah. Ketiga, cobaan sebagai balasan atas dosa yang telah diperbuat.
Cobaan Menjadi Pelebur Dosa Salah satu tujuan Allah menurunkan cobaan adalah menjadi pelebur dosa bagi hamba-hamba-Nya. Semakin besar cobaan, semakin banyak pula dosa yang dilebur. Rasulullah saw bersabda: مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُهَا، إِلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ. (متفق عليه)
Artinya: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya, melainkan dengan semuanya itu Allah akan melebur kesalahan-kesalahannya.” (Muttafaq ‘Alaih) Namun penting dicatat, menurut Syekh ‘Izzudin bin Abdissalam (wafat 1262 M), tidak semua cobaan kemudian secara otomatis menghapus dosa.
Hanya cobaan yang dihadapi dengan rasa ridha dan ikhlas kepada Allah yang dapat melebur dosa. (Asy-Syatibi, al-Muwâfaqât, juz II, halalaman 221).
Sementara menurut al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat 1449 M), cobaan sendiri sebenarnya mampu menghapus dosa sesuai besar musibah yang dialami. Jika dibarengi rasa ridha, maka akan menjadi nilai plus sebagai pahala.
Seumpama orang itu tidak memiliki dosa, maka cobaan itu akan menjadi pahala baginya, sesuai besar cobaan yang diterima. (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bâri, juz XIII, halaman 9).
Cobaan Mengangkat Derajat Manusia
Saat Allah menurunkan suatu cobaan, adakalanya Allah ingin mengangkat derajat seorang hamba di sisi-Nya. Rasulullah saw bersabda: أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً الْأَنِبْيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلٰى حَسَبِ (وَفِي رِوَايَةٍ قَدْرِ) دِيْنِهِ. فَإِنْ كَانَ دِيْنُهُ صَلَبًا اِشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهِ رِقَةٌ اُبْتُلِيَ عَلٰى حَسَبِ دِيْنِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتىٰ يَتْرُكَهُ يَمْشِيْ عَلَى اْلأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةُ . (رواه الترمذي، وقال: هذا حديث حسن صحيح)
Artinya: “Manusia yang paling dashyat cobaannya adalah para nabi, kemudian orang-orang mulia selevel di bawah mereka, lalu orang-orang mulia selevel di bawah mereka. Orang diuji menurut ukuran (dalam suatu riwayat ‘kadar’) agamanya. Jika agama kuat, maka cobaannya pun dashyat; dan jika agamanya lemah, maka ia diuji menurut ukuran agamanya. Maka cobaan tak henti-hentinya menimpa seseorang sampai ia membiarkannya berjalan di muka bumi tanpa punya kesalahan lagi.” (HR. At-Tirmidzi dan ia berkata: “Ini hadits hasan shahih.”)
Hadits ini menjelaskan, semakin tinggi derajat hamba di sisi Allah, semakin berat pula cobaan yang dipikulnya. Karena itu, seorang nabi sebagai hamba paling tinggi derajatnya di sisi Allah mendapat cobaan yang paling besar. Contoh saja Nabi Muhammad saw, dalam perjalanan hidupnya cobaan demi cobaan menimpanya, bahkan kerapkali ancaman keselamatan jiwa menerpa saat berdakwah di tengah kaumnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar denga mengutip Ibnul Jauzi (wafat 1201 M) menjelaskan, orang yang sudah ma’rifat billâh begitu mendapat cobaan besar maka akan menerimanya dengan lapang tanpa beban. Sebab, ia tidak melihat seberapa besar cobaan yang diterima, melainkan nilai pahala di baliknya.
Menurut Ibnul Jauzi, hamba yang tinggi derajatnya akan menganggap sepenuh dirinya adalah milik Allah. Sebagai pemilik Allah bebas melakukan apa saja terhadapnya. Sebagai hamba yang dimiliki, ia hanya bisa menerima perlakuan pemiliknya.
Lebih tinggi lagi, ketika seorang hamba sudah disibukan dengan mahabbah atau cinta kepada Allah, maka ia tidak akan meminta cobaan yang tengah dialaminya dihilangkan. Sementara puncak derajat tertinggi adalah ketika seorang hamba justru meminta cobaan atas kemauannya sendiri.
Ia merasakan kenikmatan di balik cobaan demi cobaan. (Al-‘Asqalani, Fathul Bâri, juz X, halaman 117). Cobaan Menjadi Balasan Dosa Terkadang Allah menurunkan cobaan untuk menjadi balasan atas dosa yang diperbuat manunsia. Rasulullah saw bersabda: وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيُحْرَمُ الرِّزْقَ بِالذَّنْبِ يُصِيبُهُ (رواه ابن ماجه)
Artinya: “Sesungguhnya seseorang akan dihalangi rejekinya karena dosa yang dilakukannya." (HR Ibnu Majah) Hadits di atas menjelaskan, akibat dosa yang diperbuat seseorang bisa diberi cobaan dari Allah, seperti kesusahan dalam mencari rejeki.
Berkaitan hadits di atas Mula al-Qari (wafat 1605 M) dalam Mirqâtul Mafâtîh menjelaskan, hadits ini ditunjukan bagi umat Islam. Ketika seorang muslim bermaksiat, Allah akan menurunkan cobaan kepadanya. Harapannya, cobaan dapat penjadi penyebab dosanya terlebur. (Mula al-Qari, Mirqâtul Mafâtîh, juz IX, halaman 145).
Setelah mengetahui tiga tujuan Allah menurunkan cobaan, semoga kita lebih bijak lagi dalam menghadapi berbagai musibah. Terutama musibah pandemi Covid-19 sekarang ini. Pandemi adalah cara Allah menghapus dosa sekaligus mengangkat derajat hamba-hamba-Nya. Wallâhu a’lam.(nu.or.id)