Catahu WCC Palembang: Pelajar Paling Banyak jadi Korban Kekerasan Seksual

Sabtu, 01 Januari 2022 17:26 WIB

Penulis:Nila Ertina

Editor:Nila Ertina

Ilustrasi kekerasan seksual
Ilustrasi kekerasan seksual (Magdalena.co)

PALEMBANG, WongKito.co - Catatan akhir tahun Women’s Crisis Centre (WCC) Palembang mengungkapkan pelajar paling banyak menjadi korban kekerasan seksual sepanjang tahun 2021, sesuai dengan data pendampingan lembaga tersebut.

Direktur WCC Palembang, Yesi Ariyani mengatakan sepanjang Tahun 2021, Divisi Pendampingan WCC Palembang telah melakukan pendampingan 108 kasus kekerasan seksual.

Dimana, korban kekerasan paling banyak didampingi WCC adalah pelajar dan mahasiswa dengan jumlah mencapai 43 kasus, kata dia, dalam siaran pers, Sabtu (1/1/2022).

Adapun bentuk kekerasan yaitu Kekerasan Seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan Dalam Pacaran (KDP), Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Beragam Bentuk Kekerasan lainnya, kata dia, dalam siaran pers, Sabtu (1/1/2022).

Baca Juga:

Dia menjelaskan Kasus kekerasan seksual, diantaranya  berupa perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual dan intimidasi/serangan bernuansa seksual dan kekerasan seksual lainnya.

Dengan usia korban paling banyak 13-18 tahun atau berstatus pelajar, ujar dia.

Selain pelajar, ibu rumah tangga tambah Yesi juga paling banyak menjadi korban kekerasan yaitu mencapai 26 kasus.

"Pelakunya, mayoritas orang dekat atau yang kenal dengan beragam profesi atau pekerjaan, seperti buruh, wiraswasta, pelajar, bahkan juga dosen atau guru serta pelajar dan mahasiswa," kata dia.

Yesi mengatakan korban yang mengalami kekerasan seksual, juga mengalami satu atau lebih kekerasan lainnya, terutama psikis, fisik, atau ekonomi.

"Kekerasan seksual yang bermuara dari adanya ketimpangan relasi gender, terus bertahan kuat karena berlakunya penilaian moralitas yang cenderung mempersalahkan dan menstigma korban," kata dia.

Sahkan RUU TPKS

Pendampingan  terhadap korban terus dilakukan WCC Palembang.

"Kami juga mendesak disahkannya Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ( UU TPKS), demi keadilan, kebenaran, pemulihan dan jaminan tak berulang bagi korban kekerasan seksual," kata dia.

Dia mengungkapkan fakta menunjukan perempuan yang terjebak dalam lingkaran kekerasan dalam rumah tanngga (KDRT), ternyata juga menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.

Data WCC Palembang menunjukkan bahwa korban KDRT di masa pandemi COVID-19 ini mengalami kekerasan fisik maupun psikis yang kelihatan lebih  parah  dibanding sebelumnya.

Tekanan terjadi baik karena  kondisi ekonomi keluarga yang secara drastis mengalami penurunan, maupun karena adanya  pembatasan  ruang  gerak  maupun  beban  domestik yang  bertambah  sehingga  meningkatkan stres dan memicu kekerasan dalam rumah tangga yang lebih parah.

Diharapkan melalui pendataan yang berkesinambungan dari tahun ketahun, kita dapat terus memantau seberapa besar dan kompleks masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak sebagai persoalan kita bersama, sekaligus menilai sejauh mana pemerintah telah maju (atau mundur) dalam menangani dan mengatasi bentuk pelanggaran hak asasi manusia perempuan dan anak yang meluas ini, ungkap Yesi.

Ke depan, dia menambahkan upaya mendorong terbitnya UU TPKS akan terus dilakukan.

"Undang-undang tersebut sangat penting untuk korban kekerasan seksual yang hingga kini bak gunung es terus terungkap meskipun kalau dihitung presentasenya masih belum seberapa," ujar dia.(ert)