Kamis, 28 Agustus 2025 14:48 WIB
Penulis:Susilawati
emite pertambangan nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO) / Vale.com
JAKARTA – Danantara Investment Management resmi masuk sebagai investor strategis dalam proyek smelter nikel berteknologi High-Pressure Acid Leach (HPAL) di Sulawesi Tengah senilai US$1,42 miliar atau sekitar Rp23,34 triliun.
Proyek ini digarap bersama GEM Limited asal China dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dengan kapasitas produksi 66.000 ton Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) per tahun.
Kesepakatan itu ditandai melalui penandatanganan pokok perjanjian (Head of Agreement/HoA) antara Danantara dan GEM Limited, perusahaan publik global yang bergerak di bidang metalurgi hijau dan ekonomi sirkular. HoA ini menjadi kerangka kerja awal bagi potensi investasi bersama dalam pengembangan smelter HPAL yang mendukung agenda hilirisasi mineral Indonesia.
CEO Danantara Indonesia Rosan Roeslani menegaskan bahwa kemitraan ini menjadi tonggak penting bagi strategi perusahaan dalam mengakselerasi transformasi sosial-ekonomi melalui investasi berkelanjutan.
“Dengan bekerja sama dengan pelopor global metalurgi hijau, kami memajukan agenda hilirisasi sekaligus memastikan keberlanjutan dan inovasi tetap menjadi prioritas,” ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu, 27 Agustus 2025.
Lebih lanjut, Rosan menyebut kolaborasi ini akan mengintegrasikan riset, pemanfaatan energi hijau, serta sistem daur ulang siklus tertutup. Langkah tersebut diharapkan mampu menciptakan nilai jangka panjang bagi Indonesia sekaligus memperkuat posisi Danantara dalam investasi strategis sektor mineral.
Baca juga:
Menurut riset Wood Mackenzie (2024), permintaan nikel kelas I yang digunakan dalam baterai kendaraan listrik (EV) diperkirakan melonjak hampir dua kali lipat dalam satu dekade, mencapai lebih dari 2,5 juta ton pada 2035. Hal ini menjadi pendorong utama maraknya investasi smelter HPAL di Indonesia, termasuk proyek Danantara–GEM–Vale.
Namun, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengingatkan bahwa ledakan proyek smelter berpotensi menimbulkan risiko oversupply jika tidak diimbangi strategi pasar yang jelas. Pasalnya, lebih dari 50% kapasitas nikel sulfat dunia diproyeksikan bakal terkonsentrasi di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.
Selain itu, ketergantungan besar terhadap mitra Tiongkok juga disoroti sejumlah analis internasional. Data S&P Global mencatat, lebih dari 70% teknologi dan pendanaan smelter HPAL di Indonesia saat ini berasal dari perusahaan-perusahaan China. Situasi ini menimbulkan pertanyaan soal kedaulatan industri dan diversifikasi mitra jangka panjang.
Di sisi lain, kehadiran Vale Indonesia yang juga bermitra dengan perusahaan global seperti Ford Motor Company dan Sumitomo Metal Mining memberi warna berbeda. Menurut CRU Group, strategi diversifikasi mitra dan teknologi Vale membuat perseroan relatif lebih aman dari risiko ketergantungan tunggal, sekaligus memberi akses langsung ke rantai pasok EV global.
Strategi ekspansi Vale Indonesia berfokus pada diversifikasi produk serta teknologi pengolahan nikel. Berikut sejumlah proyek smelter andalan perseroan yang tengah berjalan:
Smelter tertua INCO ini menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk menghasilkan nickel-in-matte. Dikelola bersama Vale Canada Limited dan Sumitomo Metal Mining, fasilitas ini menjadi tulang punggung pendapatan perusahaan. Fokus utama ke depan adalah efisiensi biaya dan penguatan keberlanjutan operasi.
Dengan investasi sekitar US$1,4 miliar, proyek ini melibatkan GEM Hong Kong International Co. Ltd. dan Danantara Investment Management milik Rosan Roeslani. Menggunakan teknologi HPAL, smelter ini akan memproduksi MHP, bahan utama nikel baterai. Proyek ini menjadi pintu masuk INCO ke rantai pasok kendaraan listrik global.
Nilai investasinya mencapai US$4,5 miliar, dengan mitra strategis Zhejiang Huayou Cobalt Co. dan Ford Motor Company. Proyek HPAL ini juga menghasilkan MHP. Kehadiran Ford sebagai pembeli langsung memastikan jaminan pasar yang solid bagi produk INCO.
INCO menggandeng Taiyuan Iron & Steel (TISCO) dan Shandong Xinhai Technology (Xinhai) untuk menggarap proyek bernilai US$2,48 miliar. Smelter ini akan memproduksi feronikel, melengkapi portofolio produk di luar nikel kelas baterai.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Ananda Astri Dianka pada 28 Aug 2025