Krisis iklim
Minggu, 22 Oktober 2023 13:25 WIB
Penulis:Nila Ertina
PALEMBANG, WongKito.co - Hiruk pikuk politik terutama isu calon presiden sampai kini dinilai Climate Rangers Jakarta belum sama sekali mengangkat isu krisis iklim.
“Ketidakpastian penanganan krisis iklim dan transisi energi semakin kuat menjelang pilpres 2024, karena tidak satupun calon presiden yang memiliki komitmen terhadap dua isu tersebut,” kata Koordinator Climate Rangers Jakarta Ginanjar Ariyasuta, belum lama ini.
Ginanjar menambahkan anak-anak muda mulai muak dengan tingkah laku elite yang berbicara tentang kepentingan mereka sendiri yang tercerabut dari akar persoalan rakyat.
“Krisis iklim dan transisi energi adalah persoalan yang menyangkut hajat hidup rakyat, tapi mereka nampak cuek saja,” tegasnya.
Baca Juga:
Ia mengatakan Gerakan Power Up dipilih anak-anak muda untuk dilakukan yang merupakan bagian dari gerakan masyarakat sipil internasional yang mendesak elite politik membuat kebijakan serius meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan berbasis komunitas.
Keengganan elite politik dalam berkomitmen secara lebih serius terhadap penanganan krisis iklim dan transisi energi terkait erat dengan aliran dana kampanye dari industri fosil (migas dan batu bara).
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira konflik kepentingan yang menghasilkan kebijakan penghambat transisi energi bermula dari belum transparannya dana kampanye para kandidat pemilu.
“Hasil studi CELIOS menunjukkan sebanyak 89 persen pemilih berusia muda menginginkan adanya percepatan penutupan PLTU batu bara, dan sebanyak 60 persen menginginkan agar energi terbarukan semakin mendominasi dalam bauran energi nasional," kata Bhima.
Tapi desakan dari generasi muda seringkali diabaikan, kalah dengan kepentingan pelaku usaha di sektor fossil yang mendanai para kandidat pemilu.
“Dana-dana gelap energi kotor sebagian sulit dilacak. Alhasil pemilih muda seringkali hanya dijadikan target suara, sementara tidak diakomodir aspirasinya dalam bentuk program aksi yang nyata oleh para kandidat elektoral. Kampanye terkait transisi energi misalnya hanya senyap terdengar dalam berbagai kesempatan penampilan para Capres dan Caleg di publik,” kata dia lagi.
Co-Inisiator Bijak Memilih Andhyta Firselly Utami mengungkapkan pentingnya memiliki kerangka yang tepat dalam menilai dan memilih partai maupun calon presiden yang akan mendorong kebijakan sesuai harapan kita.
“Sebagai seseorang yang sudah bekerja di isu ekonomi dan lingkungan dalam 10 tahun terakhir, saya melihat bahwa kita memasuki momentum baru, di mana diskusinya sudah harus naik kelas dari ‘apakah perlu mengambil langkah serius’ (jawabannya sangat perlu) menjadi ‘bagaimana mendesain solusi yang tepat dan sesuai untuk menyelesaikan tantangan ini dalam konteks Indonesia.” Capres harus berkompetisi dalam rencana siapa yang paling baik.
“Melalui inisiatif Bijak Memilih, kami bertujuan agar masyarakat, khususnya pemilih muda dengan persentase suara terbanyak, dapat membuat pilihan yang didasarkan oleh kerangka berpikir yang tepat dan informasi yang berkualitas, bukan hanya sekedar viralitas,” ujar dia.
Baca Juga:
Sementara itu, Campaigner 350 Indonesia Suriadi Darmoko mengungkapkan bahwa Indonesia sudah memiliki banyak komitmen untuk melakukan aksi iklim.
“Ada banyak pekerjaan rumah bagi Presiden terpilih terutama untuk melakukan aksi iklim secara cepat dan berkeadilan melalui transisi energi dan meningkatkan bauran energi terbarukan di dalam bauran energi nasional.
Terobosan yang ditawarkan para bakal calon presiden untuk mencapai target-target transisi energi sangat penting untuk kita diketahui karena saat ini kita belum melihat bagaimana komitmen-komitmen yang sudah ada akan dikerjakan. Misal, kerangka kebijakan apa yang akan dibangun untuk mengakselerasi transisi energi ? bagaimana pelibatan masyarakat dalam transisi energi ? dan banyak pertanyaan lain yang mesti dijawab oleh para bakal calon yang sekaligus harus dikerjakan kelak ketika terpilih.(*)