COP29
Kamis, 21 November 2024 00:02 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Redaksi Wongkito
PALEMBANG, WongKito.co - Solidaritas Perempuan (SP) Palembang menyuarakan tuntutan keadilan iklim di tengah berlangsungnya perundingan iklim global atau COP29 Baku, Azerbaijan, dalam aksi bencana ekologis bersama jaringan di halaman Kantor DPRD Kota Palembang, Rabu (20/11/2024).
Koordinator Program SP Palembang, Wira Santika menegaskan, agenda COP29 utamanya menanggulangi krisis iklim global. Pihaknya menyayangkan, delegasi Indonesia Hashim Sujono Djojohadikusumo yang hadir pada sidang plenary 12 November lalu mempunyai kepentingan investasi bertameng ambisi mencapai target nol emisi di tahun 2060.
Alih-alih menjadi ruang intervensi menuntut tanggung jawab negara utara yang banyak berkontribusi dalam parahnya krisis ikim di Indonesia, kerabat Presiden Prabowo itu dinilai tidak mencerminkan komitmen terhadap keadilan iklim. “Sangat tidak mewakili, COP29 menjadi solusi iklim palsu dengan dalih investasi untuk kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya dibincangi wongkito.co di lokasi.
Baca Juga:
SP Palembang memberi catatan penting berkaitan dengan perdagangan proyek iklim di Sumsel, terutama geothermal. Proyek tersebut secara faktual lebih mengedepankan keuntungan ekonomi untuk investor saja dengan mengabaikan dampak sosial dan ekologis.
Wira menyebutkan, ada satu daerah di Sumsel yang bersinggungan langsung dengan geothermal. Warga di sana, terutama perempuan mulai merasakan adanya perubahan pada lingkungannya, misal gagal panen. Namun, mereka belum sadar itu adalah bentuk perubahan iklim dan dampak dari aktivitas proyek yang merusak sumber daya alam.
“Mereka hanya tahu ada pembangunan energi terbarukan di sana. Ada proyek tambang yang bisa membuat kaya, padahal keuntungan ekonomi bukan untuk masyarakat tapi pebisinis dan investor. Karena itu, perlu penyadaran masyarakat terkait aktivitas yang menyumbang perubahan iklim. SP Palembang hadir untuk peningkatan kapasitas itu,” jelas dia.
Seperti halnya proyek geothermal di Poco Leok dan PLTA Poso, proyek geothermal di Sumsel dinarasikan sebagai proyek transisi energi yang digadang-gadang sebagai energi bersih, tapi memiskinkan masyarakat, terutama perempuan. Karena itu, SP menolak pendanaan proyek geothermal karena menghancurkan ruang hidup. “Penyebab krisis iklim yang dirasakan di Sumsel ini karena maraknya pertambangan, ditambah proyek geothermal yang memperburuk,” ulas Wira.
Dari contoh proyek geothermal, SP menilai tidak akan pernah ada keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan lingkungan apabila pembangunan proyek transisi energi mengabaikan persetujuan masyarakat serta daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Baca Juga:
Menyikapi hal itu, SP secara nasional mendesak dan menuntut kepada pemerintah Indonesia agar menghentikan proyek transisi energi yang merebut hak hidup masyarakat, khususnya perempuan, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya.
“Perempuan merupakan kelompok yang paling rentan dan terus merasakan beban berlapis dalam menghadapi krisis iklim, sementara itu, pengetahuan perempuan dalam melakukan aksi adaptasi dan mitigasi iklim justru tidak pernah diakui dan diperhitungkan” kata Armayanti Sanusi dari Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan dalam siaran pers, 18 November 2024.
Sementara itu, Kepala Divisi Kampanye Walhi Sumsel, Febrian Putra Sopah sependapat, ada pihak-pihak yang menjadikan agenda COP hari ini sebagai ajang bisnis baru. Terkait krisis iklim di Sumsel, terutama di Kota Palembang, Walhi menyorotinya dari bencana ekologis yang terjadi seperti banjir. Pihaknya mendorong pihak DPRD Kota Palembang agar dapat mengawal Wali Kota Palembang terpilih pada Pilkada 2024 dapat menjalankan putusan PTUN yang mengamanatkan langkah-langkah nyata menanggulangi banjir. (yulia savitri)
3 hari yang lalu