Selasa, 24 Juni 2025 10:50 WIB
Penulis:Nila Ertina
JAKARTA – Perang Israel-Iran dan ketegangan geopolitik global yang terjadi saat ini, membuat isu perbincangan fokus pada permasalahan tersebut. Padahal salah satu dampaknya adalah risiko terhadap rantai pasok pangan, sehingga penting sekali bagi anak muda untuk juga memperhatikan hal tersebut.
Hal itu, dijelaskan Pengamat pertanian Syaiful Bahari menjelaskan, meski Indonesia masih mampu memroduksi sejumlah komoditas utama, seperti beras dan jagung secara mandiri, potensi gangguan pasokan bahan bakar dan bahan baku impor menjadi ancaman nyata terhadap stabilitas harga pangan dalam negeri.
Namun, sungguh ironis, generasi muda terutama kelompok usia 18 hingga 35 tahun masih cenderung tidak sadar terhadap inflasi pangan yang berlangsung dalam 2-3 tahun terakhir.
“Bahkan kenaikan harga beras dari Rp10 ribu ke Rp15.000r per kilogram itu dianggap biasa. Padahal itu naik hampir 50 persen dalam waktu singkat. Masyarakat kita belum cukup melek inflasi,” kata Saiful kepada TrenAsia.id pada Senin (23/6/2025).
Baca Juga:
Ia mengungkapkan, kesadaran finansial dan literasi ekonomi di kalangan generasi muda masih cenderung minim, terutama soal inflasi yang berasal dari pangan. Mereka disebut Saiful lebih peduli pada harga kopi atau biaya konser dibanding harga kebutuhan pokok harian yang sebenarnya lebih berdampak terhadap stabilitas keuangan rumah tangga.
Dihubungi terpisah, pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian menyebut tidak semua anak-anak muda yang tinggal di perkotaan melek digital memahami isu inflasi dan isu kebijakan publik lainnya.
Namun mereka dinilai relatif sering terpapar informasi dibandingkan yang tidak melek digital sama sekali karena berita di medsos sangat bertebaran.
"Mayoritas penggunaan internet penduduk indonesia untuk hiburan dan komunikasi. untuk mencari informasi atau belajar itu masih relatif sedikit. jadi memang anak-anak muda ini harus aktif mengawal isu kebijakan publik," jelasnya
Saiful mengatakan, dari sisi fenomena belanja daring atau online juga menggeser pola konsumsi. Banyak anak muda kini lebih memilih berbelanja bahan pangan melalui e-commerce atau layanan antar.
Namun, menurut Saiful, perbedaan harga antara online dan offline kini tidak lagi signifikan. “Harga di online dan offline sekarang tipis bedanya. Bahkan di beberapa platform, harga bisa sama. Kompetisi justru terjadi pada biaya pengiriman dan kecepatan logistik.” jelasnya
Dampaknya, pasar tradisional makin sepi pembeli, sementara produsen dan distributor dipaksa mengikuti tren digital agar tetap bertahan. Namun Saiful menambahkan, inflasi pangan bukan berasal dari platform mana produk dijual, melainkan dari kenaikan biaya input dan logistik yang menekan seluruh rantai distribusi.
Berbeda dengan Saiful, Eliza menyebut belanja online memang mendominasi tren anak muda. Eliza mengatakan hampir 60% generasi Z dan milenial berbelanja kebutuhan pangan melalui platform online.
Namun yang menjadi perhatiannya adalah tren belanja anak muda ini bergantung daerahnya. Di mana anak-anak muda yang daerahnya ada akses internet dan layanan ekspedisi, mereka dengan mudah mengakses internet.
"Terlebih lagi tingkat penetrasi internet kita relatif tinggi yakni 77% pada 2025. alasan berbelanja online ini karena banyaknya promosi agresif (diskon, cashback, gratis ongkir)," ujarnya
Untuk beberapa daerah dengan infrastruktur digital yang terbatas, Eliza menyebut berbelanja di pasar tradisional atau offline ini masih digemari. Ketimpangan infrastuktur digital antara jawa luar jawa masih begitu tinggi, bahkan sesama daerah di pulau jawa saja masih ada yg blank spot.
"Pasar tradisonal misalnya tetap menjadi pilihan untuk beli kebutuhan pangan, papan karena karena harga lebih kompetitif dibandingkan supermarket atau platform online untuk di daerah yang memang infrastruktur digitalnya kurang memadai," tuturnya.
Saiful menyayangkan pemerintah kerap merespons gejolak harga dengan kebijakan administratif, seperti menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET). Tapi kenyataannya, harga pasar tetap lebih tinggi dari HET yang ditetapkan.
“Kalau harga gabah ditetapkan Rp6.500, rendemen 50% maka harga beras minimal Rp13.000. Bagaimana mungkin HET-nya Rp12.500? Produsen pasti rugi,” kritik Saiful.
Baca Juga:
Ia menambahkan, kebijakan harga kerap hanya menyelesaikan satu sisi, namun memunculkan masalah baru di sisi lain petani senang karena harga gabah naik, tapi konsumen menjerit karena harga beras makin tinggi.
Diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk mengatasi risiko inflasi pangan yang makin membebani masyarakat, terutama generasi muda yang secara sosial dan finansial masih rentan.
Beberapa solusi yang disarankan:
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.id oleh Debrinata Rizky pada 24 Jun 2025