Selasa, 26 Agustus 2025 08:48 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
JAKARTA, WongKito.co — Ribuan massa kembali memadati kawasan Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta, Senin (25/08/2025). Aksi demonstrasi tersebut dipicu kekecewaan publik terhadap serangkaian kebijakan yang dinilai semakin menjauh dari prinsip keadilan sosial.
Hal itu mulai dari isu kenaikan harga kebutuhan pokok, regulasi pro-penguasa dan oligarki, hingga maraknya pungutan pajak. Massa aksi turun ke jalan untuk menuntut wakil rakyat kembali berpihak pada kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kelompok tertentu.
Meletusnya aksi demonstrasi juga dipicu kenaikan penghasilan anggota DPR yang dinilai tidak mencerminkan asas keadilan. Pendapatan anggota DPR periode 2024-2029 kini tercatat tak kurang dari Rp100 juta per bulan, menyusul tambahan sejumlah tunjangan.
Minimnya transparansi dan ruang partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan membuat demonstrasi cenderung terus berulang. Padahal, kebijakan finansial yang inklusif menjadi salah satu aspek pendorong ekonomi yang berkelanjutan.
Alih-alih menemui pendemo, anggota DPR malah buru-buru menyelesaikan rapatnya agar tak terjebak di Senayan.
“Mengingat situasi terus bergulir di luar, ini yang kami khawatirkan kalau terlalu lama, nanti akhirnya kami sulit keluar dari kompleks parlemen," kata Wakil Ketua Komisi I Dave Laksono di Gedung DPR, Jakarta, Senin, dikutip dari Antara.
Abaikan Aspek Berkelanjutan
Jika dirunut, masih ada setumpuk kebijakan pemerintah yang tak hanya membebani ongkos besar pada masyarakat, tapi juga mengabaikan aspek keberlanjutan dan mengorbankan lingkungan. Dampaknya jarang dihitung dalam laporan keuangan negara, padahal biayanya nyata dirasakan publik sehari-hari.
Misalnya, polusi udara di kawasan urban. Studi Greenpeace bersama Universitas Indonesia (2022) memperkirakan kerugian ekonomi akibat polusi di Jabodetabek mencapai Rp21,5 triliun per tahun atau setara 1,7 kali defisit BPJS.
Biaya ini mencakup pengeluaran rumah tangga untuk berobat penyakit pernapasan, hilangnya jam kerja produktif, hingga kematian dini.
“Kualitas udara baru-baru ini di Jakarta menunjukkan bahwa tindakan pemerintah terhadap polusi udara masih jauh dari optimal,” kata Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dikutip dari greenpeace.org.
Contoh lain, deforestasi dan tata ruang yang abai lingkungan telah memperburuk banjir di berbagai daerah. Petani dan pedagang kehilangan hasil panen, rumah, bahkan lahan warisan. Kerugian akibat banjir di Kalimantan Selatan tahun 2021, menurut BNPB, mencapai lebih dari Rp1,3 triliun, mayoritas ditanggung masyarakat lokal.
Angka tersebut belum termasuk kerugian sosial yang tidak terukur seperti trauma dan migrasi paksa. Ada pula konflik lahan dan pencemaran di sekitar wilayah tambang dan perkebunan besar. Limbah industri yang merusak sungai memaksa nelayan dan petani kehilangan mata pencaharian.
Sementara itu, riset Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengungkap ekploitasi pasir laut menyebabkan kerusakan serius dan biaya pemulihan (reklamasi) sebesar Rp 465.000 per meter kubik untuk perusahaan dalam negeri, dan Rp 930.000 per meter kubik untuk ekspor luar negeri. Jika ambil contoh kuota 50 juta meter kubik, maka biaya pemulihannya mencapai Rp16,74 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira, menilai sudah saatnya Indonesia menerapkan ekonomi restoratif. Menurut dia, pendekatan itu perlu untuk memberikan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan.
“Sudah saatnya Indonesia menemukan kekuatannya sendiri, tanpa mengikuti model ekonomi mainstream,” kata Bhima beberapa waktu lalu.
Tulisan ini telah tayang di TrenAsia.com oleh Chrisna Chanis Cara pada 25 Agustus 2025.