Palembang
Sabtu, 16 September 2023 18:02 WIB
Penulis:Nila Ertina
Editor:Susilawati
STIGMA dan diskriminasi menjadi bagian yang masih dihadapi kelompok minoritas atau marginal, pun begitu terjadi dengan komunitas waria.
Stigma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.
Sedangkan arti kata diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya).
Stigma dan diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat di Nusantara sudah seharusnya tidak terjadi mengingat founding fathers telah merumuskan bentuk atau format negara yang akan dikelola setelah kemerdekaan dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Keberagaman Indonesia menjadi kekayaan yang dimiliki dan tentunya menjadi salah satu landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga menjadi pemersatu bangsa.
Baca Juga:
Lalu bagaimana cara untuk menghalau stigma itu? seperti diketahui, komunitas waria menjadi salah satu individu atau kelompok yang kerap kali mengalami korban stigma atau diskriminasi.
"Adel sejak menempuh pendidikan di sekolah dasar memang sudah berbeda dengan umumnya laki-laki, bahkan ibu saya sempat menyalahkan diri," kata Novianti kakak kandung seorang waria bernama, Adelia, belum lama ini.
Ia bercerita bagaimana ketika kecil Adelia sering di bully bahkan akhirnya berhenti sekolah pada saat SMP karena tidak kuat lagi diperlakukan tidak adil oleh kawan-kawan di lembaga pendidikan tempat ia belajar.
"Awalnya kami sempat kecewa karena tingkah laku dia yang feminin, tapi itu dulu," ujar ia bercerita dengan semangat.
Meskipun tidak mudah menerima Adel, tapi lambat laun ia mengakui dia dan keluarga sadar bahwa adiknya tersebut harus dibela dan tetap dikasihi sebagai keluarga dan manusia tentunya sehingga stigma dan diskriminasi yang datang dari luar dapat dihalau.
Apalagi, Novi mengungkapkan sejak adiknya mengekspresikan diri sebagai waria dia juga menunjukan sisi positif lainnya bekerja dengan kerasnya.
"Harus diakui kini adikku menjadi tulang punggung keluarga, mencukupi kebutuhan ibu dan bapak yang sudah berusia sepuh," ujar dia.
Bahkan ibundanya yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga (PRT) sudah berulang kali diminta berhenti sama Adel agar beristirahat saja dan sudah disiapkan warung kecil-kecilan di rumah. Tetapi sang ibu enggan berhenti karena kalau di rumah merasa sering sakit-sakit badan akibat kurang bergerak.
Adelia (38) setiap hari bekerja menjadi instruktur senam dan juga terlibat dalam bisnis kekinian Wedding Organizer atau WO. "Adikku orangnya ringan tangan, bukan hanya keluarga yang dibantu tetapi siapapun yang membutuhkan bantuan terutama tenaganya pasti dibantu," tutur Novi.
Ia bercerita bagaimana kini adiknya tersebut sering dipanggil ibu-ibu untuk sama-sama bikin pempek atau makanan lainnya.
Karena rajin dan kreatif Adel pun disayang siapapun yang mengenalnya, tak heran kalau dia juga punya ibu angkat seorang bidan, tutur dia.
Apalagi, Adelia tambah Novi telah membuktikan meskipun mengekspresikan diri sebagai waria, tidak berprilaku negatif tetapi justru sebaliknya bertanggung jawab dan sangat menyayangi keluarga serta dapat bergaul dengan baik, efeknya stigma yang melekat pun mulai memudar.
"Kini tidak adalagi orang yang merasa risih atau mencibir ketika bertemu Adelia, tetapi menjadikan adikku sebagai bagian dari keluarga mereka," kata Novi dengan senang.
Saat ini, hal yang paling penting bagi Novi, ia selalu mengingatkan anak-anaknya untuk terus menyayangi pamannya tersebut. Kelak saat paman kesayangan mereka tersebut lanjut usia tetap mengasihi dan mengurus sang paman karena selama ini, dia memperhatikan keponakan dengan tulus bahkan kebutuhan anak-anaknya yang tidak bisa dipenuhi ia dan suami biasanya diberikan oleh Adelia.
Perlakuan Diskriminatif
Dalam jurnal berjudul Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Waria, ditulis Dosen Sosiologi Universitas Hasanuddin, Firman Arfanda, S.ST dan Dr. Sakaria, M.Si diawali dengan menjelaskan waria adalah kaum marginal yang mendapat tekanan secara struktur dan kultur.
Jurnal yang terbit 2015 tersebut mengungkapkan masyarakat pada umumnya yang memiliki struktur normatif seperti ‘yang dianggap baik’, ‘yang dianggap seharusnya’ dan ‘yang menyangkut kepercayaan’.
Stigma masyarakat tentang waria sudah menyalahi normatif yang ada yaitu ‘yang dianggap seharusnya’. Seorang laki-laki seharusnya menjadi laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan seharusnya menjadi perempuan dengan kefeminimannya serta keduanya diposisikan untuk berpasangan.
Menyangkut hal tersebut dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya dan hukum, waria terkadang mendapat perlakuan tidak adil, seperti pengucilan dari masyarakat atau sulitnya mengakses lapangan kerja dalam sektor formal.
Hal ini jelas berbeda dengan apa yang terkandung dalam UUD 45 yang menyebutkan beberapa hak
warga negara terkait dengan hak asasi manusia yaitu :
1) Pasal 28D ayat (1) UUD 45 amandemen kedua: ”Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”.
2) Pasal 28D ayat (2) UUD 45 amandemen kedua:” Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
3) Pasal 28D ayat (3) UUD 45 amandemen kedua:” Setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sriwijaya, Najmah, PhD menjelaskan perjuangan kesetaraan bagi komunitas waria mesti terus dilakukan.
"Walaupun kekinian mulai terkikis tetapi stigma masih belum bisa lepas dari waria. Akibatnya mereka sering kali mendapatkan diskriminasi di lingkungan masyarakat," kata akademisi yang konsen terhadap perjuangan kelompok marginal termasuk waria dan penyintas HIV ini.
Dia menjelaskan masyarakat masih cenderung menyamaratakan dan mengganggap bahwa semua waria itu buruk dan jahat, padahal tidak semua seperti itu.
Akibatnya, kerap kali masih ditemukan adanya waria yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. Dimana umumnya diskriminasi dilakukan karena rasa tidak suka atau rasa benci yang disebabkan oleh identitas yang berbeda, ujar dia.
Sebagai bagian dari masyarakat yang telah bergaul dengan waria, diakui Najmah mayoritas waria yang ditemuinya memiliki etika yang baik, bersolidaritas tinggi dan juga kreatif.
Waria pun kini secara ekonomi, telah menunjukan identitasnya dengan membangun usaha-usaha kecantikan atau salon, bahkan ada yang menjadi pegawai perusahaan, tambah dia.
Populasi Kunci
Himpunan Waria Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (HWMKGR) Sumatera Selatan mencatat ada sekitar 200 waria yang menjadi anggota organisasi masyarakat tersebut. Namun, bisa dipastikan jumlah waria di daerah tersebut lebih dari 1.000 orang.
"Saat ini, dari 17 kabupaten/kota di Sumatera Selatan HWMKGR telah terbentuk 13 cabang," kata Ketua HWMKGR Sumatera Selatan, Heryanto, belum lama ini.
Ia mengakui waria termasuk salah satu populasi kunci penyebaran Human Immunodeficiency Virus (HIV) karena itu salah satu program yang menjadi konsentrasi HWMKGR terus berupaya memutus penyebaran virus tersebut.
Caranya, selain terus melakukan penjangkauan dan pendampingan kepada waria penyintas HIV pihaknya juga melaksanakan berbagai kegiatan untuk meningkatkan perekonomian anggota.
Catatan dari buku dengan judul "Aku, Keluargaku dan Lingkungan Sosialku" Perjuangan Tanpa Jeda bagi Waria di Kota Palembang yang diterbitkan Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Sriwijaya dan HWMKGR mayoritas waria setelah berorganisasi kini meninggalkan pekerjaan sebelumnya, di dunia malam.
Meninggalkan "dunia malam" tentunya bukan tanpa alasan karena waria kini bisa menunjukan kemampuan dan kreativitasnya serta keahlian dalam usaha yang digeluti mereka, terutama salon kecantikan.
Tak hanya itu, kesadaran untuk mengantisipasi terjangkit penyakit seksual dan paparan HIV kini juga menjadi bagian penting dalam upaya waria tetap bertahan hidup sehat dengan ekonomi yang baik.
Heryanto menambahkan kalau dulu perlu waktu lama untuk menyadarkan waria mengunakan pengaman ketika berhubungan seksual. Bahkan, petugas penjangkauan memberi kondom tidak digunakan.
"Tetapi kini, mereka yang minta. Hal itu, menjadi bukti kalau kesadaran menjaga kesehatan dalam berhubungan seks semakin meningkat," kata pemilik usaha salon kecantikan dan bisnis pakaian pengantin khas Palembang ini.
Koordinator Program Yayasan Intan Maharani, Fadillah menjelaskan kalau kini stigma dan diskriminasi terhadap waria cenderung tidak lagi ditemukan khususnya di Kota Palembang.
"Tak hanya itu, dari penjangkauan petugas di lapangan waria maupun transgender kini jarang ditemukan reaktif ketika dilakukan VCT. Kalaupun ada yang reaktif paling banyak dua orang dari puluhan yang dites," kata dia.
Kondisi tersebut, menurut Yayak panggilan akrab perempuan yang telah belasan tahun bekerja di lembaga yang fokus pada isu kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS tentunya sangat mengembirakan karena kerja-kerja pendampingan terhadap waria untuk pencegahan HIV mulai berhasil.
Kerja sama dengan OPD
Dari sisi pemenuhan hak sebagai warga negara, masih banyak waria yang belum mendapatkan kemudahan atau bahkan dipersulit saat mengurus kartu identitas diri atau e-KTP. Tidak demikian dengan waria atau transgender di Kota Palembang.
"Kami bersama organisasi masyarakat sipil lainnya telah menjalin kerja sama dengan dinas dan instansi terkait sehingga mudah berurusan terkait dengan hak warga negara," kata Heryanto.
Baca Juga:
Dia menjelaskan kalau pihaknya juga telah melakukan pendampingan terhadap anggota yang mengurus e-KTP, BPJS KIS maupun program PKH di Dinas Sosial Kota Palembang.
"Kalau urus KTP, kami sudah ada petugas khusus yang mendampingi anggota komunitas langsung datang ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palembang," ujar dia.
Pegawai di dinas biasanya sudah sangat tahu kalau ada komunitas yang mengurus e-KTP langsung menyegerakan, tidak ada istilah ditunda apalagi dipersulit.
Semua itu, berkat kerja sama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya yang tentunya terus berjuang bersama untuk mendapatkan pelayanan tanpa stigma maupun diskriminasi untuk beragam komunitas marginal sehingga terciptanya kesetaraan dan berdaya.(Nila Ertina FM)
2 hari yang lalu