songket di new york fashion week
Senin, 26 Mei 2025 10:12 WIB
Penulis:Nila Ertina
DI Jalan Ki Gede Ing Suro, Palembang, berdiri sebuah rumah dengan ornamen tradisional Suku Palembang, Rumah Limas.
Rumah tersebut, yang kini menjadi Museum Zainal Songket menjadi tempat pertama, Zainal Arifin belajar menenun helai demi helai benang menjadi kain yang tidak hanya indah, tetapi juga menyimpan sejarah dan filosofi budaya, warisan leluhur.
Sudah lebih dari 40 tahun Zainal menekuni dan melestarikan songket, yang awalnya, keahlian menenun diturunan dari sang ibu, Cek Ipah.
Dulu, selepas menamatkan bangku kuliah, Zainal merantau ke Jakarta. Bukan hanya berbekal ijazah, melainkan ilmu tenun yang diwariskan ibunya.
Ia menjajakan kainnya dari rumah ke rumah pada tahun 1980-an, berharap satu lembar songket bisa mengubah nasib. Penolakan demi penolakan diterima, tapi semangat Zainal tak pernah padam.
"Saat itu orang Jakarta lebih kenal batik, belum tahu apa itu songket. Tapi dari situ saya mulai memperkenalkan," cerita Kiagus Imron, pengelola Museum Songket menuturkan cerita asli dari Zainal Arifin yang juga ayahnya, belum lama ini.
Pameran pertama di ibukota Jakarta, Zainal yang kini juga dikenal dengan maestro Songket Palembang menjadi titik balik.
Motif dan Filosofi
Songket yang dulu hanya dikenal di kampung halamannya kini mulai mendapat tempat di hati masyarakat luas. Hingga terkenal sampai ke-33 Negara melalui sebuah museum sebagai bentuk melestarikan songket lama.
Nama "Cek Ipah" yang awalnya menjadi merek dagang, kemudian diganti menjadi Zainal Songket atas saran para pelanggan. Bukan tanpa alasan yang jelas atau melupakan jasa sang ibunda, tapi agar lebih merepresentasikan sosok di balik karya itu sendiri.
Imron menjelaskan bahwa dalam satu kain songket terdapat filosofi yang luar biasa. Ada sebanyak 32 motif berbeda, salah satunya, motif Nago Besaung. Dulu motif ini hanya boleh dikenakan oleh bangsawan atau pejabat. Simbol naga bermakna merepresentasikan kekuatan, keberanian, dan kegagahan para pemimpin.
"Ada pula motif Bintang Mawar Berante, yang melambangkan penyatuan dua keluarga dalam ikatan pernikahan. Bintang Berante itu seperti rantai yang menyatukan dua belah pihak pengantin wanita dan laki-laki," jelas Imron.
Namun, keindahan songket bukan hanya terletak pada motifnya saja. Proses pembuatannya yang tidak mudah menjadikan setiap kain bernilai tinggi. Dimulai dari pencelupan benang, penguluran, pencukitan, penyambungan, hingga ditenun secara manual dengan kurun waktu tiga bulan.
"Tidak semua bisa cepat, karena kekuatan manusia ada batasnya. Apalagi kalau motifnya rumit. Justru disitulah letak nilainya," ujar dia.
Harga songket pun beragam, mulai dari dua jutaan rupiah. Meski belum diekspor secara resmi, peminat dari luar negeri seperti Malaysia kerap datang langsung ke Palembang untuk memesan. Mereka mengagumi kehalusan dan makna dalam setiap kain songket buatan Zainal.
Museum Pribadi
Museum Zainal Songket adalah museum pribadi yang didirikan pada tahun 2014, yang menjadi pusat edukasi dan pelestarian budaya songket Palembang.
Museum ini memiliki ratusan koleksi songket yang unik dan langka, dengan motif yang berbeda-beda.
Museum Zainal Songket bermula dari kumpulan kain songket milik keluarganya yang sudah diwariskan turun-temurun. Alih-alih menyimpan di rumah atau sebuah peti, Zainal berinisiatif membuka museum pribadi agar orang bisa datang melihat, dan belajar tentang ragam motif serta filosofi di balik setiap helai kain tenun itu.
Imron kini mengelola museum milik sang ayah, Kiagus Zainal Arifin karena kecintaannya terhadap budaya Palembang mengalir kuat dalam darahnya.
Berawal dari koleksi pribadi warisan orang tuanya, ia kemudian terpanggil untuk memperkenalkan keindahan dan filosofi kain songket kepada masyarakat luas.
"Tiap orang Palembang pasti kenal songket, tapi belum tentu tahu sejarahnya. Malu kalau budaya sendiri malah nggak kita rawat," kata Imron.
Songket itu bukan cuma kain mewah. Setiap motifnya ada makna, ada kisah adat, filosofi hidup, bahkan doa-doa untuk pemiliknya.
Imron bertutur dalam perjalanannya, menjaga eksistensi songket bukan perkara mudah. Selain harga bahan baku yang kian mahal, regenerasi perajin tenun menjadi tantangan besar. Itulah sebabnya, di area belakang museum, Imron memberdayakan 15 orang muda Palembang untuk belajar menenun.
Menenun tidaka bisa dipaksa, butuh hati tenang. Karenanya suasan kerja sangat menentukan hasil tenunan, kalau lagi suntuk biasanya penenun berhenti dulu
Rawat Songket
Imron juga punya cara menjaga merawat koleksinya. Ia memilih tidak menyalakan pendingin ruangan atau AC demi menjaga suhu ruang tetap stabil. Menurutnya, udara dingin bisa membuat kain lembab dan cepat rusak. Beberapa kain bahkan dibiarkan terbuka, agar pengunjung bisa menyentuh langsung teksturnya.
Eksistensi Museum Zainal Songket kini semakin diakui,, tak jarang, wisatawan dari Jepang, Taiwan, hingga Eropa datang khusus untuk melihat langsung proses pembuatan kain tradisional ini.
Pengunjung dari luar negeri biasanya takjub, di zaman serba digital masih ada orang yang mau bikin tenun manual.
Imron mempunyai rencana membangun ruang edukasi khusus bagi anak-anak sekolah, mahasiswa dan masyarakat umum memperluas museum dan menambah koleksi. Dalam 3 tahun ke depan. Ia berharap seluruh Masyarakat Palembang antusias belajar budaya sendiri.
"Jangan sampai kita lupa dengan budaya sendiri dan tidak peduli dengan warisan leluhur kita. Mari kita lestarikan budaya songket Palembang dan jadikan sebagai kebanggaan kita semua," kata dia.( Tia Apriyani, Mahasiswi Prodi Jurnalistik UIN Palembang, Angkatan 2023)
2 tahun yang lalu