Sabtu, 22 Januari 2022 11:30 WIB
Penulis:Redaksi Wongkito
Editor:Redaksi Wongkito
JAKARTA -- Pemerintah berhasil menekan emisi karbon pembangkit listrik sepanjang tahun 2021 hingga 10,37 juta ton atau mencapai 210,8% dari target sebesar 4,92 juta ton. Emisi karbon terus dipangkas guna mencapai visi energi bersih 2060.
Direktur Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan reduksi emisi karbon dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Pada 2020 lalu, Kementerian ESDM menargetkan angka penurunan emisi karbon di pembangkit sebesar 4,71 juta ton dan realisasinya mencapai 186% atau 8,78 juta ton dari target yang ditetapkan.
Baca Juga :
"Ini menyangkut (kontribusi Indonesia) ke nasib dunia, dari segi pembangkitan terus diupayakan untuk ditekan. Dari target 2021, kami mencatat lebih dari 200 persen capaiannya,” ujarnya dalam keterangan pers, Jumat, 21 Januari 2022.
Rida menjelaskan, pada tahun ini Kementerian ESDM telah menetapkan angka 5,36 juta ton pada reduksi emisi karbon pembangkit litsrik.
"Angka ini akan kita kawal selama 2022 nanti," imbuhnya.
Guna terus menekan emisi karbon, lanjut dia, pemerintah pun telah menyusun prinsip pelaksanaan netralitas karbon dan peta jalan transisi energi, salah satunya melalui penerapan pajak karbon dan perdagangan karbon mulai 1 April 2022 nanti.
Pemerintah menerapkan skema cap and trade and tax secara khusus diberlakukan bagi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara dengan kapasitas 25-100 megawatt dan rencananya akan mulai efektif diimplementasikan pada 2023 mendatang.
Secara rinci, pemerintah membagi penetapan Batas Atas Emisi GRK (BAE) pada tiga klasifikasi, yaitu PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 400 MW, PLTU non Mulut Tambang dengan kapasitas 100-400 MW, dan PLTU Mulut Tambang dengan kapasitas di atas 100 MW.
Rida menerangkan, pembagian ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pelayanan penyediaan listrik kepada masyarakat. Lantaran memiliki kapasitasnya kecil, namun secara fungsi PLTU dengan kapasitas 25-100 MW tersebut merupakan tulang punggung suplai kelistrikan di luar Pulau Jawa.
“Jangan sampai mengurangi pelayanan penyediaan listrik, karena karbon tinggi kemudian ditutup dan gelap gulita, itu buat kita tidak elok. Kalau ini ditutup karena alasan emisi, sementara penggantinya belum ada, jangan sampai seperti itu," pungkasnya.
Dia menambahkan, Kementerian ESDM sendiri tengah menyiapkan regulasi berupa Rancangan Peraturan Menteri ESDM tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) pembangkit tenaga listrik.
Adapun usulan mekanismenya yakni Surat Persetujuan Teknis Eemisi (PTE) pada PLTU batu bara diterbitkan oleh Menteri ESDM melalui Ditjen Ketenagalistrikan.
Kemudian, surat PTE diberikan kepada unit instalasi PLTU batu bara dalam satuan ton karbon dioksida ekuivalen dan berdasarkan dari nilai batas atas emisi (ton CO2e/MWh) yang dikalikan produksi bruto (MWh) yang direncanakan pada awal tahun.
“Trading dilakukan antarpeserta uji coba dengan penerapan maksimum trading dari unit pembangkit surplus dibatasi sebesar 70 persen dan offset ditetapkan dari aksi mitigasi pembangkit EBT (energi baru terbarukan) sebesar 30 persen," ungkap Rida.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Daniel Deha pada 22 Jan 2022