HAKTP 2025: Kerja Layak Bebas Kekerasan Tak Akan Terwujud Tanpa Demokasi

Selasa, 25 November 2025 16:05 WIB

Penulis:Redaksi Wongkito

Editor:Redaksi Wongkito

IMG-20251125-WA0003.jpg
Peringatan HAKTP 2025, Perempuan Mahardhika melakukan Aksi Nasional Serentak (ist/Perempuan Mahardhika)

JAKARTA, WongKito.co - Pada momen Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang diperingati secara global setiap 25 November hingga 10 Desember, Perempuan Mahardhika melakukan Aksi Nasional Serentak dengan tema ‘Kerja Layak dan Bebas Kekerasan Tidak Akan Terwujud dalam Rezim Anti Demokrasi’, Selasa (25/11/2025). 

Aksi Nasional yang digelar di empat kota yakni Jakarta, Samarinda, Palu, dan Manokwari ini bertujuan untuk memperkuat komitmen gerakan perempuan mengakhiri segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Perempuan Mahardhika menilai, Pemerintah Indonesia perlu bergerak untuk mengikis ketidaksetaraan relasi gender dan mengarusutamakan perspektif anti kekerasan terhadap perempuan ke berbagai aspek kehidupan bernegara baik itu ekonomi, politik, sosial dan budaya. Pemerintah Indonesia harus mengakui dan mengusut tuntas berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari pelanggaran HAM masa lalu untuk mencegah pola keberulangannya di masa kini.

Perempuan Mahardhika juga menegaskan bahwa kerja layak adalah hak fundamental bagi setiap orang. Pemerintah Indonesia harus menempatkan penciptaan lapangan kerja dan pemenuhan jaminan sosial sebagai inti dari pembuatan kebijakan ekonomi dan rencana pembangunan. Pertumbuhan ekonomi tanpa lapangan pekerjaan adalah pengabaian terhadap hak asasi. 

“Pemerintah Indonesia harus menghentikan segala bentuk intimidasi dan ancaman pada aktivis yang memperjuangkan kerja layak. Melindungi dan menjamin hak kebebasan berpendapat, berorganisasi serta berserikat,” tulis Perempuan Mahardhika dalam pernyataan sikapnya, Selasa (25/11/2025).

Selain itu, Perempuan Mahadhika memastikan, kerja layak bebas kekerasan tidak akan terwujud tanpa demokrasi dan lingkungan yang lestari. 

Pemerintah Indonesia harus menghentikan proyek-proyek strategis nasional yang membabat hutan dan merampas kehidupan masyarakat yang hidup di dalamnya. Pemerintah Indonesia harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi, ancaman pada pejuang lingkungan dan mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM yang menarget pejuang lingkungan.

“Kami menyadari bahwa berbagai tuntutan di atas akan selalu kalah dengan logika ekonomi politik yang menempatkan akumulasi keuntungan di atas kelestarian lingkungan dan pemenuhan HAM. Oleh karenanya, melalui semangat Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan ini, kami menyatakan bahwa kami mau perubahan sistem! Kami menyerukan kepada kawan-kawan perempuan untuk ayo berorganisasi, bergerak bersama berjuang untuk perubahan sistem!” tegasnya.

Desak Akhiri Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

Aksi Nasional ini bertujuan untuk memperkuat komitmen global yang dimotori oleh gerakan perempuan dalam mengakhiri segala bentuk penyiksaan dan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.

Peristiwa penyiksaan dan pembunuhan terhadap tiga sosok perempuan yang melawan kediktatoran Presiden Trujillo dan dikenal dengan Mirabal Bersaudara pada 25 November 1960 merupakan pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu strategi rezim diktator dalam menundukkan perempuan untuk mengontrol tatanan sosial bagi kepentingan penguasa.

Di Indonesia, peringatan HAKTP tersebut memiliki relevansi yang kuat dimana saat ini telah terjadi kemunduran atau ‘arus balik’ demokrasi dalam pemerintahan Prabowo - Gibran yang semakin menunjukkan pola-pola kekuasaan otoriter. Sejumlah lembaga internasional yang berfokus pada indeks demokrasi seperti Freedom House, Global State of Democracy Indices, dan Economist Intelligence Unit, skor demokrasi Indonesia tercatat menurun. Kemunduran ini terlihat dalam beberapa fenomena yang menonjol seperti “perburuan aktivis”, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas dan konflik di Papua.

“Dalam konteks dunia kerja, perburuan aktivis dan situasi penyempitan ruang demokrasi terlihat jelas dalam kasus PHK yang menyasar aktivis Serikat Buruh dan inisiator pemogokan pabrik. Pada satu bulan terakhir, terdapat kasus PHK pada pengurus serikat di beberapa wilayah seperti Simalungun - Sumatera Utara, Ketapang - Kalimantan Barat dan Serang - Banten,” jelasnya.

Perempuan Mahardhika mengingatkan, di Bekasi, 24 buruh yang 23 di antaranya pengurus dan anggota serikat di-PHK sepihak tanpa peringatan dan tanpa kompensasi. PHK yang menyasar aktivis buruh menjadi metode yang seringkali digunakan untuk memberangus hak kebebasan berserikat (union busting).

Di tengah situasi kemunduran demokrasi seperti di atas, kekerasan terhadap perempuan terus terjadi dan berulang dengan pola yang semakin ekstrim. Dari sinergi data yang dilakukan oleh Kementerian PPPA, Komnas Perempuan dan FPL terjadi peningkatan laporan kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 35.533 kasus pada Januari sampai dengan Desember 2024, meningkat 2,4% dari tahun sebelumnya. 

Kasus femisida atau pembunuhan perempuan sebagai bentuk kekerasan berbasis gender yang paling ekstrim tercatat sebanyak 290 kasus pada 2024. Ironisnya, perhatian pemerintah pada darurat situasi kekerasan terhadap perempuan masih sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari lambatnya implementasi kebijakan yang bertujuan untuk mengikis ketidaksetaraan relasi gender dan melindungi perempuan, seperti UU PKDRT dan UU TPKS. 

Di sisi yang lain pemerintah enggan mengakui kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan di masa lalu sebagai bentuk kekerasan negara. Sebagai contoh adalah pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal fakta perkosaan massal yang menarget perempuan etnis Tionghoa pada tragedi kerusuhan 1998 atau pengusutan tuntas kasus pembunuhan dan perkosaan pada Marsinah yang saat ini telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan Lebih Rendah

Pengabaian pemerintah pada situasi darurat Kekerasan Terhadap Perempuan dan ketiadaan pengakuan atas pelanggaran HAM pada perempuan di masa lalu semakin menunjukkan karakter pemerintahan yang otoriter dan berkepentingan untuk melanggengkan ketidaksetaraan relasi gender guna memperkuat kontrol seksual dan penundukan terhadap perempuan.

“Berdasarkan segala situasi itu, maka dapat dipahami bahwa jauh sebelum memasuki dunia kerja, perempuan telah mengalami proses penundukan yang terjadi secara sistematis. Oleh karenanya tidak mengherankan jika kita melihat tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah daripada laki-laki yaitu hanya 56,7% dibandingkan laki-laki yang mencapai 84,34% (Februari 2025),” sebutnya. 

Minimnya perlindungan sosial dan diskriminasi di tempat kerja menjadi faktor utama yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi tersebut seperti cuti melahirkan 6 bulan yang baru dinikmati sebagian kecil pekerja di sektor formal, minimnya pelayanan perawatan anak, minimnya penghargaan dan promosi pada pekerja perempuan.

Perempuan lebih banyak bekerja pada sektor dengan relasi kerja informal. Sebanyak 64,25% dari total keseluruhan pekerja informal pada tahun 2023 adalah perempuan. Sektor pekerjaan ini memiliki relasi kerja dengan upah yang lebih rendah, jam kerja tidak menentu, target kerja yang tidak manusiawi serta minimnya perlindungan atas jaminan sosial. 

Alhasil, pekerjaan yang seharusnya bisa digunakan sebagai katalisator bagi perempuan untuk mendapatkan penghidupan yang layak dan juga rasa berharga justru menjadi tempat yang melanggengkan diskriminasi dan kekerasan yang telah melekat pada hidup perempuan. Watak industri di Indonesia yang masih bertumpu pada ekstraktivisme seperti pengerukan tanah, penebangan hutan, dan pengeboran laut juga memperkuat proses penyingkiran perempuan dari ruang kehidupan dan semakin melemahkan posisi perempuan.

Program Swasembada Pangan dan Energi yang menjadi prioritas dalam pemerintahan Prabowo - Gibran saat ini adalah program yang pada kenyataannya melegitimasi pembabatan hutan secara besar-besaran dan penyingkiran manusia yang ada didalamnya. Di Merauke, Papua Selatan saja program food estate sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional diperkirakan akan membabat lahan seluas 2,29 juta hektar atau 70 kali luas Jakarta. 

Selain itu, pembentukan Batalyon Infanteri Teritorial Pembangunan setidaknya sebanyak 500 Batalyon menjadi strategi yang melekat untuk mensukseskan mega proyek pangan dan energi di berbagai wilayah. Terlihat jelas watak industri ekstraktif yang ditopang dengan kekuatan militer dan pendekatan kekerasan. Tidak mengherankan jika program pembangunan penopang pemerintahan Prabowo - Gibran hari ini berdiri di atas kerusakan lingkungan,
penghancuran hak-hak masyarakat adat, dan kriminalisasi pejuang yang mempertahankan wilayahnya dari gerusan mega proyek tersebut.

Komitmen Pemerintah untuk menjawab tantangan krisis iklim seperti pajak karbon dan regulasi emisi pun pada akhirnya menjadi solusi palsu karena logika pembangunan yang dijalankan lebih mengedepankan akumulasi keuntungan ketimbang kelestarian lingkungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Pembabatan hutan secara massif akan mengurangi kemampuan bumi menyerap CO2, menyebabkan lebih banyak gas rumah kaca di atmosfer dan pemanasan global.

Kerja layak dan bebas kekerasan yang diperjuangkan oleh perempuan tidak akan tercapai di tengah masifnya kerusakan lingkungan yang terjadi yang secara langsung juga menyingkirkan perempuan dan masyarakat adat dari ruang kehidupannya. (*)